Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Benarkah Nabi Musa Gagap? Maaf, Tidak

21 Juli 2024   10:31 Diperbarui: 21 Juli 2024   10:42 34
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.firstthings.com/

Sepenggal Kisah dari Masa Kecil

Waktu kecil dulu, saya diceritai tentang kisah Nabi Musa as. Konon, karena Firaun menaruh curiga jika bayi laki-laki yang terhanyut dalam tabut lalu dibesarkan di tengah-tengah istananya adalah nemesis atas dirinya, maka ia ingin mengujinya. Salah satunya alasannya karena sang bayi tersebut selalu meraih mahkota sang raja. Para penasehat istana pun tidak sedikit yang berpikiran bahwa bayi ini akan dengan tumbuh cerdas dan mengambil alih posisi Firaun saat dewasa. "Sebaiknya, Paduka bunuh saja bayi ini!" saran mereka. 

Keputusan kemudian diambil untuk menguji kecerdasan Musa dengan memberinya sebuah mangkuk emas dan batu bara yang bercahaya lebih terang untuk melihat mana yang akan dipilihnya. Atas bimbingan Tuhan, dia mengambil batu bara itu, dan dengan demikian gagal dalam tes IQ primitif ini, nyawanya pun terselamatkan. Namun, dengan memasukkan jarinya yang terbakar ke dalam mulutnya, ia juga mencederai lidahnya, akibatnya kemampuan bicaranya terganggu secara permanen. "Nabi Musa adalah seorang nabi yang gagap dalam berbicara," begitu seseorang mengisahkan.

Entah mengapa saya tidak terlalu suka kisah tersebut. Mengapa Tuhan menggerakkan hati seseorang yang berpengaruh di istana untuk menenangkan hati sang raja bahwa adalah alami bagi seorang bayi untuk berusaha mengambil apa yang ia lihat? Terlebih mahkota dengan warna dan kemilau yang menarik. Terlalu menggoda untuk seorang bayi. Mengapa Tuhan yang Maha Bijaksana tidak menyembuhkan lidah bayi Musa dari luka bakar tersebut? Tidak mungkinkah untuk dipulihkan seiring seiring pertimbangan waktu?

Dan entah mengapa sejak dulu saya merasa akan ada satu penjelasan yang lebih bisa diterima berkenaan dengan gagapnya Nabi Musa.   

Sebuah Daras yang Menantang

Subuh tadi, saat bacaan Al-Qur'an masuk ke awal-awal Surah Al-Qashash, ingatan masa kecil kembali mengemuka. Rasa tidak suka atas tafsiran bahwa Nabi Musa gagap semakin kuat. Rasa tidak suka tentu sangat tidak ilmiah. Dan harusnya tidak masuk pertimbangan saat menalar sebuah kisah. Tetapi saya rasa ini sangat mengganggu. 

Namun, persepsi populer tentang Musa sebagai orang gagap masih tetap ada, ungkap penulis dengan nama pena Philologos dalam Did Moses Have a Speech Impediment?, seperti yang ditunjukkan oleh Asosiasi Gagap Yahudi yang baru saja dibentuk, sebuah organisasi swadaya masyarakat Amerika yang menyebut dirinya dalam bahasa Ibrani Mercaz K'vad Peh, "Pusat K'vad Peh." Kegagapan Musa bahkan dikatakan telah merugikan orang-orang Yahudi. 

Ketika ditawari oleh Tuhan pilihan negara mana pun di dunia, menurut sebuah midrash modern, Musa bermaksud meminta Kanada yang luas dan kaya, namun yang diberikan kepadanya adalah Kanaan yang kecil dan tak berpenghuni, sementara yang dapat diucapkannya hanya: "K-K-Kanaan-K-Kanaan-K-Kanaan...." "Namun, ada kemungkinan juga bahwa ia meminta Tanah Itsrael dan mendapatkan apa yang diinginkannya," lanjutnya. 

Saya tersenyum kecut sambil merutuk. Tersenyum karena pertahanan diri saya sangat rapuh untuk diserang tawa. Sementara merutuk karena saya tidak suka kisah kegagapan Musa. Apa indahnya di balik kegagapan seorang Musa? Sebuah kisah versi Israiliyyat yang, maaf, sangat tidak menarik. 

Sebuah pertanyaan menarik datang dari Gerald M. Siegel, profesor emeritus di Departemen Ilmu Bicara, Bahasa, dan Pendengaran di Universitas Minnesota. Ia menulis: 

Dalam Taurat [Keluaran 4:10], Musa pada awalnya menolak menjadi utusan Tuhan karena cara bicaranya, dengan mengatakan: "Tolonglah, ya Tuhan, aku tidak pernah menjadi orang yang pandai berkata-kata .... Aku adalah orang yang berat mulut dan berat lidah." Dari sini para rabi menyimpulkan bahwa Musa adalah seorang yang gagap, yang mana sebuah cerita dalam midrash mengaitkan hal ini dengan lidahnya yang terbakar di atas bara api ketika masih bayi. Namun mengapa memutuskan bahwa Musa gagap dan bukannya menderita gangguan bicara lainnya? Atas dasar apa penjelasan ini diberikan?

Sebenarnya, menurut Philologos, ada banyak sekali penafsiran para rabi mengenai kata Ibrani k'vad peh, "berat mulut", dan k'vad lashon, "berat lidah", yang digunakan oleh Musa untuk mendeskripsikan dirinya sendiri. Jika arti gagap telah menjadi yang paling diterima, hal ini mungkin karena hal ini ditemukan dalam tafsiran abad ke-11 dari Rabi Shlomo Yitchaki atau Rashi, seorang penafsir Alkitab yang paling populer di antara para penafsir Alkitab Yahudi. Seperti kebiasaannya, Rashi menerjemahkan bahasa Ibrani ke dalam bahasa Prancis abad pertengahan, dalam hal ini menggunakan kata benda balbus, gagap atau gagap (yang berasal dari kata kerja bahasa Prancis modern balbutier, gagap), yang kemudian para ahli glosarium menambahkan kata kerja bahasa Jerman Kuno Stammeler, gagap.

Penjelasan ini sedikit banyak melegakan hati. 

Gerald McDermott dalam Was Moses A Stutterer? menulis:

Dua frasa terakhir, "berat mulut dan berat lidah", adalah terjemahan harfiah dari bahasa Ibrani. Sebagian besar penafsir mengartikannya sebagai gagap. Namun beberapa rabi, yang menulis tentang kisah ini selama berabad-abad dalam Mishna dan Talmud, tidak berpikir demikian. Rabi abad kesebelas, Abraham Ibn Izra, mengira Musa mengalami hambatan dalam berbicara, tapi bukan gagap. Sang rabi menulis bahwa Musa tidak dapat menghasilkan semua suara normal dengan lidah dan bibirnya.

Saya merasa semakin lega. Terlebih saat, membaca pernyataan McDermott berikut ini:

Dua abad kemudian, Rabi Bahye ben Asher menjadi lebih spesifik: Musa tidak dapat mengucapkan bunyi "z", "s", "sh", dan "ts". Yang lebih menarik lagi, dia menjelaskan alasannya. Musa adalah seorang anak yang tampan (Alkitab mengatakan bahwa ia "tampan/ganteng" dalam Keluaran 2:2), dan suatu ketika ia meraih mahkota Firaun ketika mereka berdua bersama. Para penasihat Firaun menganggap hal itu sebagai pertanda buruk, dan menyarankan raja untuk membunuh anak itu. Yang lain menyarankan untuk melakukan sebuah tes. Jadi mereka membawa sebuah mangkuk emas dan bara api yang menyala terang, untuk melihat mana yang akan dia coba sentuh. Menurut sang rabi, seorang malaikat menuntun tangan Musa ke bara api, untuk menunjukkan kepada Firaun bahwa anak itu bukanlah ancaman. Bocah Musa kemudian memasukkan jari-jarinya yang hangus ke dalam mulutnya, yang merusak lidahnya.

Para penafsir Yahudi lainnya berpikir bahwa frasa bahasa Ibrani "berat lidah dan mulutnya" berarti ucapan Musa baik-baik saja, bahkan fasih. Ada juga yang mengatakan bahwa itu berarti dia berbicara dengan perlahan dan hati-hati, tanpa ciri khas fasih berbicara seperti orang yang sembrono. Seorang penerjemah bahasa Aram abad pertama mengatakan bahwa kata Ibrani untuk "berat" sebenarnya berarti "dalam", sehingga Musa sangat dalam dalam pidatonya. Penerjemah rabi lainnya mengatakan bahwa Musa tidak kelu lidah tetapi rendah hati, mengakui bahwa saudaranya, Harun, adalah pembicara yang lebih baik.

Dari sekian yang paling melegakan saya adalah pernyataan McDermott bahwa ada juga yang berpendapat bahwa masalah Musa adalah masalah bahasa. "Menurut Sigmund Freud, Musa adalah orang Mesir dan tidak dapat berbicara bahasa Ibrani. Sejarawan lain berpendapat bahwa Musa menguasai kedua bahasa tersebut, namun berbicara dalam bahasa Ibrani dengan aksen yang kental," ungkapnya. 

Melepaskan Diri dengan Kelegaan

Terlepas dari kenyataan bahwa sebagian besar penafsir selama berabad-abad menyimpulkan bahwa teks tersebut memang menunjukkan bahwa Musa terbata-bata,  bahkan sebagaimana diwakili Rabi Rashi dari abad ke-11 yang bersikeras bahwa Musa adalah seorang yang gagap. Namun, kisah tentang Musa yang berbicara kepada dua "orang Ibrani" yang sedang berkelahi, dan mengajak salah satu dari mereka bercakap-cakap (Al-Qashash:15-18 dan Keluaran 2:11-14), sebagai bukti bahwa Musa mengetahui bahasa Ibrani dan dapat dimengerti oleh rekan-rekannya sesama orang Yahudi.

Satu alternatif penjelasan berkenaan dengan 'gagap'-nya Nabi Musa yang saya ajukan adalah bahwa karena sejak bayi beliau dibesarkan di lingkungan istana Fir'aun maka Musa terbiasa dengan bahasa dan budaya Mesir alih-alih Yahudi. Untuk itu, saat perintah sebagai Rasul diberikan kepada beliau, adalah kendala bahasa dan budaya dengan Bani Israil yang kepada mereka beliau diutus yang menjadi kendala. Barangkali ke arah inilah kata-kata "lapangkanlah dadaku" dan "lepaskanlah simpulan dari lidahku".    

Atau kedua ungkapan ini juga dapat dimaknai sebagai kerikuhan Musa kepada Fir'aun yang bagaimanapun telah berbuat baik selama membesarkan dan mendidik beliau di dalam istananya. Rasa rikuh ini yang membuat dada beliau sempit dan lidah beliau kelu. Sementara Harun yang dibesarkan di tengah-tengah Bani Israil tentu jauh lebih fasih dalam berkomunikasi secara bahasa dan budaya. Ke arah ini pulalah nampaknya firman Allah ketika menasehati Musa dan Harun berkenaan dengan pola komunikasi dengan Firaun, "Berbicaralah kamu berdua kepadanya (Firaun) dengan perkataan yang lemah lembut, mudah-mudahan dia sadar atau takut (QS Thaha: 44)."

Perlu waktu memang untuk segala sesuatu. Termasuk untuk melepaskan diri dari kekesalan yang merunut ke masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun