Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Music Pilihan

Formulaik Versus Organik

7 Juli 2024   10:15 Diperbarui: 7 Juli 2024   10:22 136
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam Jazz(?) saya menutup  tulisan dengan sebuah seloroh bahwa jika musik klasik adalah musiknya para faqih, maka jazz adalah musiknya para sufi. Meski bersifat seloroh akan tetapi terdapat satu atau dua hal yang cukup serius untuk didiskusikan sebelum kemudian menyunggingkan senyuman.

Agar tidak terlalu lama menahan senyuman, dasar dari seloroh di atas adalah bahwa karakter dari genre musik klasik sangatlah formulaik. Maksudnya, sangat teratur dan terstruktur. Genre musik ini identik dengan harmoni yang cenderung tertakar dan baku. Begitu formulaiknya musik klasik hingga pemberian judul lagu saja ada semacam aturannya tersendiri. 

Musik klasik dengan keteraturan formatnya dapan dimainkan dua kali - atau bahkan lebih - dengan nyaris sama persis. Musik klasik bisa kita anggap sebagai written music yang umum dituangkan dalam sebuah partitur, yaitu bentuk tertulis dari komposisi musik yang berisikan simbol-simbol notasi musik untuk melambangkan nada, ritme, atau akor dari karya musik tersebut. 

Musik klasik seolah identik sebagai musik partitural. Karakter formulaik musik klasik semakin kuat dengan tradisi ini. Musik klasik kemudian identik dengan musik berkelas dan feodalistik.

Sementara musik jazz, menyukai kebebasan dalam bereksplorasi yang umumnya kita kenal sebagai improvisasi. Jazz is a playful music. Hal ini bukan berarti sebuah komposisi jazz tidak bisa dipartiturkan. Berbeda dengan musik klasik yang terstandar dan untuk dimainkan berungkali secara presisi, maka jazz kebalikannya, ia sejatinya hanya untuk dimainkan satu kali dan sangat bersenyawa dengan momentum saat musik itu dimainkan. Musik jazz sangatlah organik dalam ruang dan waktu saat ia diungkapkan. Kembali, bukan berarti genre musik ini tidak bisa dimainkan dua kali - apalagi lebih - melainkan memang tidak didesain untuk itu. Atas karakter inilah, menurut Josiah Boornazian dalam What is Jazz Music? The True Value and Meaning Behind Jazz, musik jazz sebagai musik yang demokratis, berkebinekaan, kreatif, meneguhkan kehidupan, menyenangkan secara unik, menantang dan memperkaya.   

Untuk alasan inilah saya menyebut musik klasik sebagai musik para ahli fiqih yang legalis sementara jazz sebagai musik para sufi yang esensiali. Mohon maaf, saya tidak bermaksud menempatkan yang satu lebih di atas yang lainnya. Keduanya memiliki keagungan sebagai anugerah musikal yang patut disykuri.  

Kembali kepada senyum yang sempat tertahap, jazz lebih terbuka untuk canda. Genre musik ini malah lekat dengan ledekan mengizinkan wrong note. Semakin 'salah' maka semakin 'benar'. Semakin 'jauh' maka semakin 'dekat'. Begitulah kaidah oksimorinik versi candaannya. Sebagai contohnya, kita bisa membandingkan rendisi All of Me yang dimainkan oleh Joscho Stephan dan Bireli Lagrene. Lagu yang ditulis Gerald Marks dan Seymour Simons pada tahun 1931, sebagaimana dilansir Jazziz Magazine, pertama kali direkam oleh aktris dan penyanyi Ruth Etting, yang juga dikenal sebagai "Lagu Romansa Amerika." Sementara menurut Kuvo Jazz, adalah penyanyi Belle Baker pada tahun 1931; yang karena tak lama sebelum penampilan tersebut, Baker kehilangan suaminya maka ia menangis tersedu-sedu saat menyanyikan lagu tersebut. All of Me yang dimainkan dua gitaris beraliran jazz Gipsi menggambarkan betapa lebarnya ruang bermain keduanya. Kemerdekaan seperti inilah yang membuat wrong note menjadi rightous note. Hehehe

Jazz juga terbuka dengan canda. Kembali saya berikan contohnya. Guthrie Govan saat memain Spain karya Chick Corea. Guthrie menyelipkan beberapa bagian kecil namun populer dari komposisi-komposisi klasik lalu kemudian kembali lagu utama untuk sekedar mencandai pendengarnya. Belum lagi atraksi call and response alias obrolan antar musisi dengan masing-masing instrumen yang dimainkannya. Selain membuat kita tersenyum-senyum, tidak jarang kita juga dibuat terkagum-kagum atas pertunjukan kemistrial yang mereka tampilkan.  

Tentu jazz juga seperti halnya musik klasik yang bisa menggugah nuansa majestik seperti saat Joey Alexander, pianis muda asal Bali, Indonesia melakukan improvisasi intro sebelum kemudian masuk ke lagu utama Autmn Leaves. Demikian juga yang Joey lakukan saat membuat intro lagu Round Midnight. Citra sendu saat musim gugur dalam Autumn Leaves dan syahdu dalam Round Midnight menggugah nuansa majetsik. 

Musik tidak untuk didikotomisasikan. Taksonomi musikal hanyalah sebatas identitas. Kelindan di antara keduanya perlu dilakukan untuk meruntuhkan dinding kekakuan formulaik dan kesembronoan organik. Penjelajah genre dipandang perlu untuk menciptakan ruang saling sapa antara keduanya. Lucas Brar hemat saya merupakan salah satu sosok dimaksud. Dengan gitar klasiknya Brar menerjang bukan hanya sekat-sekat antara klasik dan jazz, melainkan nyaris semua sekat yang mengkotak-kotakkan semesta musik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun