Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Abundance

27 Juni 2024   09:36 Diperbarui: 27 Juni 2024   15:00 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Barangkali tidak banyak yang akrab dengan kata jerah. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring memberikan keterangan pada lema jerah sebagai "sedang musim (tentang buah-buahan); sedang banyak berjangkit (tentang penyakit dan sebagainya)". Kata Inggris, abundace berarti kejerahan. Bila disebutkan kelimpahan, tentu banyak di antara pembaca tulisan ini lebih mengakrabinya. Hanya saja, secara semantik kejerahan memiliki makna lebih khusus dibanding kelimpahan.

Setidaknya dalam dua tahun terakhir, sebagai penikmat musik khususnya genre musik jazz dan lebih spesifiknya lebih kepada instrumen gitar, dua anak muda yang berasal dari dua negara yang berbeda, menarik pertahian saya. Mereka adalah Matteo Mancuso dan Max Ostro. Bila yang pertama berasal dari Italia, maka yang kedua datang dari Rusia.  Mancuso lebih tua 8 tahun dari Ostro. Keduanya merupakan gitaris yang handal dan dipuji sebagai (calon) virtuoso. Mancuso sendiri menyebut nama-nama gitaris muda berbakat lainnya seperti Christian Mascetta (Italia), Andre Nieri (Brasil) dan tentu saja Max Ostro - yang ia sebut sebagai 'bocah'.

"Lalu ada seorang anak dari Rusia. Dia bernama Max Ostro. Secara teknis, dia adalah salah satu pemain terbaik yang saya kenal, pastinya. Dia seperti perpaduan antara Bumblefoot dan Guthrie Govan. Dan dia memiliki banyak elemen legato dalam permainannya. Secara teknis, tentu saja, dia adalah salah satu yang terbaik yang pernah saya lihat di internet," ungkap Mancuso sebagaimana dilansir Music Radar. 

Mancuso benar. Dalam sebuah unggahan di kanal YouTubenya, saat Ostro ditanya, kalau ia punya kesempatan, dengan siapa dia ingin berkolaborasi, Ostro menjawab dengan Bumblefoot. Saya tidak terlalu mengikuti Bumblefoot. Saya lebih mengikuti Guthrie Govan. Pengaruh Govan jelas terlihat dan terasa dalam permainan Ostro. Mancuso sendiri, menurut laman Fretboard Frenzy, dalam kata-kata Tosin Abbasi sebagai virtuosonya para virtuoso atau dalam ungkapan Steve Vai  "evolusi gitar elektrik", atau Joe Bonamassa secara bombastis mengatakan bila Mancuso telah 'menemukan' kembali gitar.  

Bagi yang belum akrab dengan teknik permainan Mancuso, ia merupakan gitaris unik. "Tidak ada yang bisa memainkan gitar seperti Mancuso. Dia adalah 100 persen fingerstyle, dan baik saat memainkan lead rock atau jazz, dia bergantian antara dua teknik memetik gitar klasik; appoggiato, di mana tangan yang memetik disangga, dan toco libero, di mana tangan yang memetik tidak disangga," tulis Johnatan Horsley di  Music Radar.      


Kembali kepada kata jerah. Kata ini terlintas dalam benak sudah cukup lama. Terutama saat menemukan talenta-talenta luar biasa dalam apa yang oleh Tom Chi disebut sebagai The Palette of Being (Palet Keberadaan). Begitu berlimpah. Dalam perspektif keagamaan hal ini semakin menguatkan keyakinan saya atas kemahaciptaan Tuhan, Al-Khaliq. Pada saat yang bersamaan, masih dalam perspektif keagamaan, muncul kesadaran yang berawal dari pertanyaan mengapa kejerahan ini seakan hanya dapat dipersepsi oleh sebagian dari kita? Dengan kata lain, mengapa kejerahan ini terkesan subyektif bahwa setiap (atau sekelompok) orang boleh jadi mempersepsi kejerahannya masing-masing?

The beauty is in the eye of the beholder, begitu kata Margaret Wolfe Hungerford  (1855-1897). Kecantikan itu terletak pada mata yang memandangnya. Inilah yang bertanggung jawab terhadap terdapatnya perbedaan antara seseorang dan lainnya dalam melihat kejerahan dalam semesta ciptaan Tuhan. Pun demikian halnya dengan sebuah talenta. Hanya orang dengan talenta tertentu yang dapat melihat talenta tertentu secara optimal sebagaimana kata-kata Robert Schumann,  "Perhaps only a Genius can truly understand Genius." Schumann tidak sendiri dalam asumsinya. 

Dalam literatur sufisme Islam, setidaknya pada abad ke-11 atau 700 tahun sebelum Schumann, banyak ditemukan ungkapan-ungkapan senada: Laa ya'rifu al-waliyya illa al-waliyyu (tidak ada yang akan mengenal seorang wali kecuali seorang wali). Atau dalam sebuah redaksi hadits Qudsi: Auliyaa'ii tahta qubaabii la ya'rifuhum ahadun ghayrii - Wali-wali-Ku di bawah perlindungan-Ku, tidak ada seorangpun yang mengenal mereka selain Aku.       

Kondisi inilah yang justru semakin membuat indah semesta yang kita tinggali. Keindahan 'Wajah' Tuhan melalui citra-Nya seperti fenomena kerohanian, seni (dalam konteks tulisan ini adalah musik), sains ataupun keindahan alam dapat dipersepsi secara personal-subyektif, kolektif bahkan universal. Hikmah dari sifat Al-Khaliq, yakni Sang Maha Pencipta yang tidak ada dua ciptaannya yang persis sama, unik dan distingtif, nampaknya mengimplikasikan ke arah ini. 

Satu hal lainnya yang patut kita syukuri adalah posisi kita sebagai manusia telah diberi anugerah berupa kesempatan untuk turut serta dalam proses kejerahan ini. Saya akan menggunakan kata-kata Tom Chi dalam paparannya di TEDxTaipei, Everything is Connected -- Here's How yang mana di dalamnya ia mengenalkan konsep The Palette of Being sebagaimana disebut sebelumnya. Chi antara lain menjelaskan:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun