Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Sekelumit Tentang Tahu dan Tidak Tahu

12 Juni 2024   06:24 Diperbarui: 12 Juni 2024   06:53 381
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dengan demikian, baik itu materi gelap dan energi gelap di luar sana, atau realitas sadar di sini, pemikiran ilmiah menerima sejumlah besar hal penting yang tidak ada sedikit pun bukti empiris langsung. Tampaknya, semakin halus sesuatu itu, semakin halus substansinya, semakin sedikit kita dapat mengandalkan indera fisik dan bukti empiris untuk mengaksesnya secara langsung, dan semakin kita harus mengandalkan pengukuran efeknya. Hal ini memberi kita panduan yang berharga dalam pencarian kita akan Tuhan. Tuhan, jika Dia ada, pastilah yang paling halus dari segala sesuatu. Dia adalah realitas yang mendasari segala sesuatu yang lain, esensi eksistensi yang sangat halus. Jika ilmu pengetahuan terbaik kita bahkan tidak dapat mendeteksi 95% dari alam semesta fisik, apakah ada yang benar-benar mengharapkan kita untuk mendeteksi Tuhan?"

Sains berangkat dari tidak tahu, lalu mencari tahu, kemudian meragukan kebertahuan kita dan terus berhadapan dengan pertanyaan baru atas singkapan demi singkapan misteri yang ada di depan kita. Ini adalah tugas sains yang dalam ungkapan Sokratiknya satu hal yang aku ketahui dengan pasti bahwa aku tidak tahu. Sementara agama kebalikannya, kita diberi tahu, lalu memaknai kebertahuan kita. Sains didasarkan pada keraguan. Agama kebalikannya ia didasarkan pada keyakinan. Keduanya saling melengkapi. Bila yang pertama kita sebut rasionalitas maka yang kedua adalah revelasi atau wahyu. 

Dmitri Mendeleyev ialah seorang ahli kimia dari Kekaisaran Rusia yang menciptakan tabel periodik berdasarkan peningkatan bilangan atom. Ia mendapatkan idenya dari sebuah mimpi sebagaimana ia ungkapkan, "Saya melihat dalam mimpi, sebuah meja di mana semua elemen ditempatkan pada tempatnya sesuai kebutuhan," tulisnya kemudian dalam suratnya. "Segera setelah bangun tidur, saya menuliskannya di atas selembar kertas. Hanya di satu tempat saja koreksi di kemudian hari tampaknya perlu."   

Apa yang membuat seorang ilmuwan harus percaya kepada sebuah mimpi yang kemudian menjadi dasar atas pekerjaan ilmiahnya? Lalu apa bedanya dengan keyakinan yang dimiliki oleh seorang Abu Bakar saat mendengar bahwa sahabatnya yang waktu belum mengaku nabi, yakni Muhammad saw? Bila mimpi Mendeleyev berdampak besar terhadap dunia sains, maka begitu pula keyakinan Abu Bakar atas kenabian sahabatnya yang kemudian terbukti sahabatnya tersebut berdampak besar terhadap dunia agama.

Tidak ada yang salah dengan tidak tahu, ragu atau berpikir kritis selama kita jujur dalam menyikapi ketidaktahuan, keraguan dan sikap kritis kita saat ada yang menawarkan jalan untuk mendapatkan kebertahuan, keyakinan dan bukti yang kuat atas semua itu. Bukankah ada semboyan di kalangan ilmuwan bahwa seorang ilmuwan itu boleh saja tetapi tidak boleh bohong?    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun