Pernah mendengar kisah lucu Abu Nawas dan Harun al-Rasyid?
Banyak sudah kita mendengar tentangnya. Sebagian benar-benar bagian dari sejarah. Namun, tidak sedikit yang dibuat-buat di waktu kemudian dan diatribusikan (dinisbahkan) kepada Abu Nawas dan raja kelima dalam wangsa Abbasiyah ini. Baik Abu Nawas (756-815) maupun Harun al-Rasyid (786-809) memang benar-benar ada dalam sejarah.
Kita tidak akan berbicara tentang lelucon yang terjadi di antara kedua tokoh kita melainkan satu hal serius yang dulu secara sungguh-sungguh pernah berlangsung dalam dunia Islam. Malah, keseriusan inilah yang membawa Islam kepada puncak keemasannya dalam sains dan peradaban. Apakah itu?
Patronase. Saat Al-Rasyid memberikan hadiah kepada Abu Nawas sebenarnya merupakan sebuah bentuk patronase raja kepada warganya. Bukan sekedar hadiah belaka. Al-Rasyid sendiri adalah inisiator pendirian perpustakaan Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Perpustakaan ini di masa anak dan cucu Al-Rasyid berkembang bukan lagi sekedar tempat mengoleksi buku-buku dari berbagai belahan dunia yang diketahui saat itu (terutama Barat dan Persia), melainkan menjadi lembaga riset keilmuwan yang paling fenomenal dalam sejarah.
Para peneliti, penulis buku, ilmuwan dan orang-orang berilmu lainnya hidup makmur di bawah patronase kerajaan. Patronase adalah dukungan, dorongan, hak istimewa, atau bantuan keuangan yang diberikan oleh organisasi atau individu kepada orang lain. Dalam sejarah seni, patronase seni mengacu pada dukungan yang diberikan raja, paus, dan orang kaya kepada seniman seperti musisi, pelukis, dan pematung.Â
1155 tahun kemudian. Pada tahun 1964, Dr. Abdus Salam, fisikawan Muslim Ahmadi asal Pakistan mendirikan the International Center for Theoretical Physicists (ICTP) di Trieste, Italy, dengan tujuan memberikan patronase kepada para ilmuwan di negara-negara berkembang. Hal ini Dr Abdus Salam lakukan 15 tahun sebelum ia memenangkan hadiah Nobel fisikanya tahun 1979. Salah satu tujuan ICTP adalah mendirikan pusat-pusat riset unggulan di seluruh dunia. Idenya adalah untuk membawa perpaduan unik antara pendidikan fisika dan matematika berkualitas tinggi serta pertemuan sains tingkat tinggi yang digagas ICTP lebih dekat kepada para ilmuwan di belahan dunia mana pun.
Tahun 1983, ICTP mendirikan akademi sains internasional The World Academy of Sciences (TWAS)--yang awalnya bernama Third World Academy of Sciences merujuk kepada impian Dr Abdus Salam memberikan patronase kepada ilmuwan dari negara-negara ketiga. TWAS sendiri secara unik seakan berarti The World of Abdus Salam. Sebuah anekdot yang tidak terlalu sulit untuk diterima menilik peran dari sosok yang mendapatkan atribusi atasnya.Â
Seperti dikatakan sebelumnya, kita tidak akan membahas kisah jenaka Abu Nawas dengan Al-Rasyid. Setelah patronase, terkait Baitul Hikmah, sebuah kisah tragis terpanggungkan hampir 500 tahun setelah pendiriannya, pada abad ke-8. Adalah Hulagu Khan dari Mongol yang pada tahun 1258 M menginvasi Baghdad dan membumihanguskan Baitul Hikmah beserta seluruh literatur di dalamnya, bersama-sama dengan perpustakaan-perpustakaan lainnya di baghdad. Invasi destruktif Hulagu yang melenyapkan khazanah naskah dan karya dari para cendekiawan Muslim sekaligus mengakhiri masa keemasan peradaban Islam.
Dunia Islam meratapi kemalangan besar ini. Hanya saja dalam ungkapan Dr Abdus Salam, invasi Mongol sebenarnya hanyalah sebentuk interupsi dalam sejarah Islam. Sebab, dunia Islam sudah bergerak mundur sebelum itu sebagai buah dari kemunduran moral para penguasanya. Bukan hanya itu saja, penyebaran informasi yang keliru pun dilakukan oleh mereka yang dianggap cendikia. Sebuah ironi yang nanti seakan beririsan dengan tragedi Baitul Hikmah. Apa gerangan ironi tersebut? Yuk kita bincang!
Bermula dari Abdul Latif al-Baghdadi (1162--1231) dan Ali ibn Yusuf Qifthi (1172-1248) yang meriwayatkan pembakaran perpusatakaan Alexandria di Mesir oleh pasukan Muslim. Perpustakaan Alexandria dibangun oleh Ptolemy pada tahun 232 SM. Dan konon, menurut keduanya,  pembakaran oleh pasukan Muslim di bawah pimpinan Amr bin al-'Ash tersebut atas perintah Khalifah Umar bin Khattabb ra. Riwayat palsu ini kemudian dikutip oleh Gregory Bar Hebraeus (1226-1286). Secara umum tiga sumber pertama ini menuliskannya 600 tahun setelah penaklukan Mesir pada tahun 639-642 M. Lalu pada tahun 1663, Edward Pococke dari Universitas  Oxford mengampifikasi tuduhan ini di kalangan Barat.
Padahal, sejarah Barat sendiri mencatat bahwa menurut Plutarch (46-120 M) pihak yang pertama yang harus disalahkan dalam tragedi terbakarnya perpustakaan Alexandria adalah  Julius Caesar. Dalam pengejarannya terhadap Pompeius ke Mesir pada tahun 48 SM, Caesar dihadang oleh armada besar kapal-kapal Mesir di pelabuhan Alexandria. Dia memerintahkan agar kapal-kapal itu dibakar. Armada tersebut hancur, namun api menyebar ke kota dan perpustakaan.
Philip Khuri Hitti (1886-1978), seorang orientalis dan Islamolog berdarah Amerika-Lebanon, berkenaan dengan tuduhan ini menyatakan bahwa pada waktu penaklukan Mesir oleh pasukan Muslim perpustakaan Alexandria sudah tidak ada lagi. "Perpustakaan Alexandria dibakar setidaknya empat kali dalam peperangan yang berbeda sebelum Muslim menaklukkan Mesir. Pertama kali pada tahun 89-88 SM, kedua kalinya oleh Julius Caesar pada tahun 48 SM, ketiga kalinya pada tahun 273 M, keempat kalinya pada tahun 391 M," tulis Hitti.
Sederhananya, 300 tahunan sebelum Khalifah Umar bin Khattab ra menaklukan Mesir, perpustakaan Alexandria sudah tinggal namanya saja. P.K. Hitti sendiri menyebut cerita tentang perintah pembakaran perpustakaan Alexandria oleh Khalifah Umar sebagai, "Kisah fiksi yang menarik tetapi sekaligus sejarah yang buruk." Dengan kata lain, sebuah kebohongan sejarah yang dibuat semenarik mungkin.Â
Sama seperti halnya, kisah perpustakaan Alexandria, Baitul Hikmah pun berakhir tragis. Keduanya secara mengenaskan menyimbolkan kematian moralitas. Penuturan licik terbakarnya Alexandria melambangkan kematian moralitas dalam bersejarah dengan mencipratkan noda tuduhan kepada sosok Khalifah Umar sebagai penyebab kehancurannya. Sementara kisah tragis Baitul Hikmah mengajarkan betapa matinya moralitas di kalangan penguasa mengundang murka Tuhan dalam wujud tangan kejam manusia yang telah meluluhlantakannya.
Al-Rasyid, sang Patron, barangkali tidak pernah menyangka bila yang telah didirikannya akan berakhir dengan tragis. Dan, sungguh menarik untuk membayangkan kelakar atau bahkan satir yang akan Abu Nawas ciptakan untuk itu. Akan tetapi yang paling menarik adalah membayangkan tradisi patronase tumbuh subur di lingkungan kita -- sekaligus mengembalikan makna patronase yang  secara peyoratif seringkali identik dengan klientilisme dalam politik.  Jejak yang nyata ada di belakang. Tinggal kapan kita akan mulai meneruskan jejak tadi dalam linimasa patronase?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H