Padahal, sejarah Barat sendiri mencatat bahwa menurut Plutarch (46-120 M) pihak yang pertama yang harus disalahkan dalam tragedi terbakarnya perpustakaan Alexandria adalah Julius Caesar. Dalam pengejarannya terhadap Pompeius ke Mesir pada tahun 48 SM, Caesar dihadang oleh armada besar kapal-kapal Mesir di pelabuhan Alexandria. Dia memerintahkan agar kapal-kapal itu dibakar. Armada tersebut hancur, namun api menyebar ke kota dan perpustakaan.
Philip Khuri Hitti (1886-1978), seorang orientalis dan Islamolog berdarah Amerika-Lebanon, berkenaan dengan tuduhan ini menyatakan bahwa pada waktu penaklukan Mesir oleh pasukan Muslim perpustakaan Alexandria sudah tidak ada lagi. "Perpustakaan Alexandria dibakar setidaknya empat kali dalam peperangan yang berbeda sebelum Muslim menaklukkan Mesir. Pertama kali pada tahun 89-88 SM, kedua kalinya oleh Julius Caesar pada tahun 48 SM, ketiga kalinya pada tahun 273 M, keempat kalinya pada tahun 391 M," tulis Hitti.
Sederhananya, 300 tahunan sebelum Khalifah Umar bin Khattab ra menaklukan Mesir, perpustakaan Alexandria sudah tinggal namanya saja. P.K. Hitti sendiri menyebut cerita tentang perintah pembakaran perpustakaan Alexandria oleh Khalifah Umar sebagai, "Kisah fiksi yang menarik tetapi sekaligus sejarah yang buruk." Dengan kata lain, sebuah kebohongan sejarah yang dibuat semenarik mungkin.
Sama seperti halnya, kisah perpustakaan Alexandria, Baitul Hikmah pun berakhir tragis. Keduanya secara mengenaskan menyimbolkan kematian moralitas. Penuturan licik terbakarnya Alexandria melambangkan kematian moralitas dalam bersejarah dengan mencipratkan noda tuduhan kepada sosok Khalifah Umar sebagai penyebab kehancurannya. Sementara kisah tragis Baitul Hikmah mengajarkan betapa matinya moralitas di kalangan penguasa mengundang murka Tuhan dalam wujud tangan kejam manusia yang telah meluluhlantakannya.
Al-Rasyid, sang Patron, barangkali tidak pernah menyangka bila yang telah didirikannya akan berakhir dengan tragis. Dan, sungguh menarik untuk membayangkan kelakar atau bahkan satir yang akan Abu Nawas ciptakan untuk itu. Akan tetapi yang paling menarik adalah membayangkan tradisi patronase tumbuh subur di lingkungan kita -- sekaligus mengembalikan makna patronase yang secara peyoratif seringkali identik dengan klientilisme dalam politik. Jejak yang nyata ada di belakang. Tinggal kapan kita akan mulai meneruskan jejak tadi dalam linimasa patronase?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H