Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Patronase

8 Juni 2024   12:29 Diperbarui: 8 Juni 2024   12:30 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dr. Abdus Salam https://www.famousscientists.org/

Pernah mendengar kisah lucu Abu Nawas dan Harun al-Rasyid?

Banyak sudah kita mendengar tentangnya. Sebagian benar-benar bagian dari sejarah. Namun, tidak sedikit yang dibuat-buat di waktu kemudian dan diatribusikan (dinisbahkan) kepada Abu Nawas dan raja kelima dalam wangsa Abbasiyah ini. Baik Abu Nawas (756-815) maupun Harun al-Rasyid (786-809) memang benar-benar ada dalam sejarah.

Kita tidak akan berbicara tentang lelucon yang terjadi di antara kedua tokoh kita melainkan satu hal serius yang dulu secara sungguh-sungguh pernah berlangsung dalam dunia Islam. Malah, keseriusan inilah yang membawa Islam kepada puncak keemasannya dalam sains dan peradaban. Apakah itu?

Patronase. Saat Al-Rasyid memberikan hadiah kepada Abu Nawas sebenarnya merupakan sebuah bentuk patronase raja kepada warganya. Bukan sekedar hadiah belaka. Al-Rasyid sendiri adalah inisiator pendirian perpustakaan Baitul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Perpustakaan ini di masa anak dan cucu Al-Rasyid berkembang bukan lagi sekedar tempat mengoleksi buku-buku dari berbagai belahan dunia yang diketahui saat itu (terutama Barat dan Persia), melainkan menjadi lembaga riset keilmuwan yang paling fenomenal dalam sejarah.

Para peneliti, penulis buku, ilmuwan dan orang-orang berilmu lainnya hidup makmur di bawah patronase kerajaan. Patronase adalah dukungan, dorongan, hak istimewa, atau bantuan keuangan yang diberikan oleh organisasi atau individu kepada orang lain. Dalam sejarah seni, patronase seni mengacu pada dukungan yang diberikan raja, paus, dan orang kaya kepada seniman seperti musisi, pelukis, dan pematung. 


1155 tahun kemudian. Pada tahun 1964, Dr. Abdus Salam, fisikawan Muslim Ahmadi asal Pakistan mendirikan the International Center for Theoretical Physicists (ICTP) di Trieste, Italy, dengan tujuan memberikan patronase kepada para ilmuwan di negara-negara berkembang. Hal ini Dr Abdus Salam lakukan 15 tahun sebelum ia memenangkan hadiah Nobel fisikanya tahun 1979. Salah satu tujuan ICTP adalah mendirikan pusat-pusat riset unggulan di seluruh dunia. Idenya adalah untuk membawa perpaduan unik antara pendidikan fisika dan matematika berkualitas tinggi serta pertemuan sains tingkat tinggi yang digagas ICTP lebih dekat kepada para ilmuwan di belahan dunia mana pun.

Tahun 1983, ICTP mendirikan akademi sains internasional The World Academy of Sciences (TWAS)--yang awalnya bernama Third World Academy of Sciences merujuk kepada impian Dr Abdus Salam memberikan patronase kepada ilmuwan dari negara-negara ketiga. TWAS sendiri secara unik seakan berarti The World of Abdus Salam. Sebuah anekdot yang tidak terlalu sulit untuk diterima menilik peran dari sosok yang mendapatkan atribusi atasnya. 

Seperti dikatakan sebelumnya, kita tidak akan membahas kisah jenaka Abu Nawas dengan Al-Rasyid. Setelah patronase, terkait Baitul Hikmah, sebuah kisah tragis terpanggungkan hampir 500 tahun setelah pendiriannya, pada abad ke-8. Adalah Hulagu Khan dari Mongol yang pada tahun 1258 M menginvasi Baghdad dan membumihanguskan Baitul Hikmah beserta seluruh literatur di dalamnya, bersama-sama dengan perpustakaan-perpustakaan lainnya di baghdad. Invasi destruktif Hulagu yang melenyapkan khazanah naskah dan karya dari para cendekiawan Muslim sekaligus mengakhiri masa keemasan peradaban Islam.

Dunia Islam meratapi kemalangan besar ini. Hanya saja dalam ungkapan Dr Abdus Salam, invasi Mongol sebenarnya hanyalah sebentuk interupsi dalam sejarah Islam. Sebab, dunia Islam sudah bergerak mundur sebelum itu sebagai buah dari kemunduran moral para penguasanya. Bukan hanya itu saja, penyebaran informasi yang keliru pun dilakukan oleh mereka yang dianggap cendikia. Sebuah ironi yang nanti seakan beririsan dengan tragedi Baitul Hikmah. Apa gerangan ironi tersebut? Yuk kita bincang!

Bermula dari Abdul Latif al-Baghdadi (1162--1231) dan Ali ibn Yusuf Qifthi (1172-1248) yang meriwayatkan pembakaran perpusatakaan Alexandria di Mesir oleh pasukan Muslim. Perpustakaan Alexandria dibangun oleh Ptolemy pada tahun 232 SM. Dan konon, menurut keduanya,  pembakaran oleh pasukan Muslim di bawah pimpinan Amr bin al-'Ash tersebut atas perintah Khalifah Umar bin Khattabb ra. Riwayat palsu ini kemudian dikutip oleh Gregory Bar Hebraeus (1226-1286). Secara umum tiga sumber pertama ini menuliskannya 600 tahun setelah penaklukan Mesir pada tahun 639-642 M. Lalu pada tahun 1663, Edward Pococke dari Universitas  Oxford mengampifikasi tuduhan ini di kalangan Barat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun