Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sisi Lain Hari Kebangkitan Nasional

20 Mei 2024   09:25 Diperbarui: 20 Mei 2024   09:31 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tidak pernah benar-benar sendiri di atas bola raksasa bernama Bumi. Kita ditakdirkan, dengan satu atau beberapa cara, untuk bertemu dan bertemu dengan sesama penghuni bola raksasa yang berusia 14 milyar tahunan ini. Lead tulisan ini akan membawa kita kepada refleksi singkat berkenaan dengan satu peristiwa bersejarah - yang hari ini kita peringati - Hari Kebangkitan Nasional.

Simpulan ini mengemuka saat mengingat-ingat pelajaran sejarah di bangku SMP-SMA tentang peradaban dunia. Punden di Nusantara, candi di benua alit India, piramida di Mesir, zigurat di Mesoamerika dan sebutan lain dalam peradaban lainnya relatif memiliki kesamaan baik konstruk ataupun fungsi. Padahal teknologi informasi dan telekomunikasi belumlah seperti kita miliki dewasa ini. Lalu bagaimana leluhur kita mendapatkan gagasan yang sama dengan kendala jarak seperti itu? 

Terdapat beberapa pendekatan yang menarik untuk menalar fakta sejarah yang mengundang tanya ini. Dalam tulisan kali ini saya akan mencoba menalarnya.

Pertama, teori evolusi. Dalam perspektif evolusi Darwinian, kita berasal dari satu leluhur yang sama. Cara kerja otak kita pun tidak lepas dari proses evolusionari tersebut. Sehingga, saat ras manusia berdiaspora ke berbagai belahan Bumi, meskipun sesuai kondisi lingkungan mereka beradaptasi baik secara fisik maupun psikis, akan tetapi secara default ras ini memiliki fitur yang sama. Inilah yang bertanggung jawab terhadap adanya kesamaan - atau setidaknya kemiripan - dalam berkebudayaan dan berperadaban. Beginilah madzhab evolusionisme menawarkan sudut pandangnya.

Kedua, teori ekstraterestial. Lain Charles Darwin, lain pula Erich von Daniken. Von Daniken memilih teorinya sendiri. Ia dan beberapa ahli lainnya berteori bahwa ada satu atau beberapa ras cerdas dari luar Bumi yang mengemban tugas mulia mengajari leluhur kita. Dalam perspektif Danikenian inilah mengapa terdapat kesamaan sosok atapun citra dalam berbagai  tinggalan arkeologis, seperti relief 'wahana antariksa' di piramida dan zigurat, atau konsep lingga-yoni dan sebagainya dalam semua peradaban. Guru jagat inilah yang menyediakan semua informasi dan teknologi yang leluhur kita perlukan untuk menciptakan apa yang kemudian kita sebut sekarang sebagai keajaiban dunia. Inilah perspektif yang diajukan madzhab ekstrterestrialisme.

Madzhab esktraterestrialisme ini nampaknya terinspirasi oleh teori asal usul kehidupan di Bumi ala panspermia - bahwa kehidupan berasal dari debu kosmik. Sebuah penyerbukan silang yang setidaknya antartatasurya hingga bahkan antargalaktika. 

Ketiga, perspektif agama. Untuk perspektif agama, saya secara bebas merujuk pada ayat-ayat Qur'aniyah yang memiliki implikasi ke arah diskursus yang kita bicarakan. Melalui ayat-ayat Qur'aniyah, kita mendapatkan penerangan bahwa Tuhan sebagai Al-Khaliq, Sang Pencipta, mengembangkan ciptaan-Nya secara bertahap sebagaimana tersirat dalam sifat-Nya sebagai Rabb al-'alamin - Tuhan semesta alam. Kata rabba memiliki kedekatan makna dengan rabbaa yang mengandung arti mendidik atau menumbuhkembangkan. Tidak terlalu sulit nagi kita untuk mendaparkan jejak evolusi di dalam sifat Rububiyah atau Kemaha-menumbuhkembangkan Tuhan.

Hanya saja, dalam ayat lainnya, Tuhan juga mengisyaratkan bahwa Dia memberikan batasan waktu tertentu atau ajal kepada setiap kaum atau ras manusia secara kolektif, yang bahkan menurut Al-Qur'an sendiri tak terbilang banyakanya yang lenyap tanpa jejak terkubur di masa lalu. "Berapa banyak kaum yang telah Kami binasakan sebelum mereka! Apakah kalian masih melihat salah satu dari mereka, atau bahkan mendengar dari mereka suara sekecil apa pun?" ungkap ayat ke-98 dari Surah Maryam.

Ayat di atas mengimplikasikan adanya pemusnahan satu generasi untuk kemudian digantikan dengan generasi yang baru. Hal ini mengisyaratkan adanya mekanisme pemusnahan teknologi dan piranti peradaban lainnya yang menjadi menjadikan kita sekarang. Kehidupan di Bumi nampaknya memiliki siklus reboot. Ambil contoh, piramida di Mesir yang padahal secara informasi kesejarahan terhitung cukup lengkap. Kita mengalami kesulitan untuk secara pasti mengetahui bagaimana piramida di Mesir dibangun. Teknologi dan sains yang pernah dimiliki leluhur kita yang membangunnya seakan lenyap dalam waktu. 

Lalu bagaimana agama menalar kenyataan adanya kesamaan manusia dalam berbudaya dan berperadaban sebagaimana disebutkan di atas? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun