Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Le Papillon: Antara Kupu-Kupu dan Perdebatan Evolusi

10 Mei 2024   09:07 Diperbarui: 10 Mei 2024   09:20 391
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.researchgate.net/

Dalam salah satu bincangannya di podcast, Dr. Ali Akbar arkeolog UI, saat berbicara tentang asal-usul manusia menyebutkan bahwa Darwin sendiri dalam buku legendarisnya The Origin of Species menyebutkan bila penciptaan kehidupan ini merupakan 'hembusan' Sang Pencipta dalam beberapa bentuk atau satu. Arkeolog yang saya kenal lewat penelitian Gunung Padang ini menyimpulkan bahwa manusia - menurut pernyataan Darwin sendiri - boleh jadi berasal dari salah satu rantai evolusi yang terpisah dari kera atau leluhur yang secara morfologis memiliki keserupaan dengan manusia. Saya coba kutipkan redaksi asilnya dari halaman 528-529:    

There is grandeur in this view of life, with its several powers, having been originally breathed by the Creator into a few forms or into one; and that, whilst this planet has gone cycling on according to the fixed law of gravity, from so simple a beginning endless forms most beautiful and most wonderful have been, and are being evolved -- Darwin (1859)

Pernyataan Darwin di atas termasuk yang langka kita ketahui. Darwin secara umum dikenal dengan pernyataan yang sebenarnya tidak pernah secara lugas ia nyatakan bahwa manusia berasal dari kera. Hanya saja, dalam buku keduanya The Descent of man (1871), ia membuka wacana bahwa leluhur manusia berasal dari bentuk yang lebih rendah. Gagasan utama dari buku kedua Darwin ini adalah bahwa manusia, seperti semua spesies lainnya, telah berevolusi dari waktu ke waktu melalui proses seleksi alam. Dia mengusulkan bahwa manusia memiliki nenek moyang yang sama dengan primata lainnya. Sebuah gagasan yang mengundang kegemparan sebagaimana tergambar dalam perdebatan bersejarah antara Thomas Huxley, sebagai jubirnya Darwin, dengan Uskup Oxford, Samuel Wilberforce pada 30 Juni 1860. Museum Sejarah Alam Universitas Oxford menyebut perdebatan ini sebagai benturan ideologi. Sementara laman American Scientist menyebutnya sebagai perdebatan bersejarah tentang evolusi.

Perdebatan Sepanjang Masa

Konon, saat Uskup Wilberforce telah bertanya kepada Huxley dengan sinis apakah "melalui kakeknya atau neneknya dia mengaku sebagai keturunan monyet", Huxley membisikkan sebuah kalimat kepada Sir Benjamin Brodie, "Tuhan telah menyerahkan dia ke tangan saya," dan kemudian menjawab, "Jika kemudian pertanyaan diajukan kepada saya apakah saya lebih suka memiliki seekor kera yang menyedihkan sebagai kakek atau manusia yang secara alamiah diberkahi dengan kemampuan yang luar biasa dan memiliki sarana yang besar untuk memengaruhi, akan tetapi malah menggunakan kemampuan dan pengaruh tersebut hanya untuk tujuan memasukkan ejekan ke dalam diskusi ilmiah yang serius, tanpa ragu-ragu saya akan memilih kera."

Perdebatan yang dipicu gagasan Darwin berlangsung hingga saat ini. Setidaknya ada dua kubu yang berseberangan: evolusionisme dan kreasionisme. Sebagai muslim saya mengelompokkan diri sebagai kreo-evolusionis. Manusia diciptakan dari leluhur manusia sebagaimana makhluk lainnya pun demikian. Masing-masing memiliki leluhurnya sendiri. Tesis ini merujuk kepada sifat Allah sebagai Al-Khaliq (Sang Maha Pencipta). Dia memiliki kemampuan yang tak terbatas dalam menciptakan makhluknya dengan karakter unik dan tak-terulang sama. Namun, adalah benar bawah setiap makhluk berubah, berevolusi sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu. Dalam ruang, setiap mahkluk diberikan kemampuan untuk melakukan adaptasi. Dalam waktu, setiap makhluk diberikan batasan waktu untuk ada atau untuk kemudian berhenti ada. Madzhab kreo-evolusionisme ini menegaskan bahwa evolusi berjalan dalam satu desain yang agung alih-alih arbitraris atau serampangan. Saat menyatakan ini saya terbuka untuk diejek sebagai terlalu bersikap diplomatis atau bahkan sinkretis. 

Saya tidak pernah risau akan hal seperti itu. Hal yang merisaukan justru ditimbulkan oleh makhluk lucu yang legendaris dalam lagu anak-anak: kupu-kupu. Hewan bermetamorfosis ini menggoda tanya. Apakah kupu-kupu dan ulat merupakan dua hewan yang berbeda? Metamorfosis ulat menjadi kupu-kupu menyudutkan kita pada implikasi evolusionis manusia berasal dari leluhur yang sama dengan kera. Secara umum kita ketahui bahwa ulat dan kupu-kupu adalah dua fase berbeda dari siklus hidup yang sama. Ulat adalah fase larva dari kupu-kupu. Setelah melewati periode sebagai ulat dan mengalami metamorfosis, mereka menjadi pupa, dan kemudian berkembang menjadi kupu-kupu dewasa. Jadi, meskipun keduanya memiliki penampilan yang sangat berbeda, mereka sebenarnya merupakan bagian dari satu spesies yang sama. Mengacu pada metamorfosis ini, bagaimana bila kita seperti halnya kupu-kupu yang berubah dari ulat, berasal dari leluhur yang sama dengan kera?

Saya tidak sendiri. Robert Krulwich juga bertanya hal yang sama: Are Butterflies Two Different Animals in One? The Death And Resurrection Theory. 

Berikut ini, tulis Krulwich, adalah pemikiran yang berbahaya dan gila dari seorang ahli biologi yang sangat bijaksana (dan sangat terkemuka), Bernd Heinrich. Dia berpikir tentang ngengat dan kupu-kupu, dan bagaimana mereka berubah bentuk secara radikal saat mereka tumbuh, dari makhluk kecil seperti cacing dan ulat menjadi makhluk yang indah di udara. Ia bertanya-tanya, mengapa hewan-hewan yang bisa terbang ini memulai kehidupan mereka sebagai cacing yang tidak bersayap dan merayap? Bayi bebek memiliki sayap. Bayi kelelawar memiliki sayap. Mengapa bayi kupu-kupu tidak?

Bernd Heinrich memberikan jawaban seperti ini:

"Perubahan radikal yang terjadi," katanya, "memang bisa dibilang melibatkan kematian yang diikuti dengan reinkarnasi."

"Bentuk dewasa serangga ini sebenarnya adalah organisme baru," tandas Heinrich.

Siklus Kematian dan Kebangkitan?

Krulwich melanjutkan. Banyak serangga memulai hidup sebagai makhluk berbentuk cacing, berkaki, dan berbentuk tabung yang menghabiskan banyak waktu untuk makan. Kita menyebutnya belatung atau belatung atau ulat, dan mereka diprogram oleh seperangkat gen yang berada dalam DNA mereka, yang dieja dalam huruf-huruf kimiawi, A, C, T, dan G.

Fase ulat. https://www.npr.org/
Fase ulat. https://www.npr.org/

Perhatikan, Krulwich telah meletakkan gen instruksi "ulat" di sisi kiri DNA. Instruksi di sisi kanan, untuk sementara, tidak aktif. Jadi ulat tumbuh dan tumbuh sampai suatu hari, ulat memintal selimut sutra (kepompong) atau kepompong yang lebih keras atau wadah kepompong yang menggantung di sebuah ranting.

Fase Kepompong. https://www.npr.org/
Fase Kepompong. https://www.npr.org/

Fase ini, menurut Heinrich, "jeda yang seperti kematian." Di dalam, ulat-ulat ini menyusut, menanggalkan kulitnya, dan organ-organnya larut. Bagian dalam tubuh mereka berubah menjadi bubur. Sebagian besar sel mereka mati. Namun, bersembunyi di dalam goo adalah beberapa sel (yang disebut sel dewasa atau sel "imajinal") yang pada saat ini langsung beraksi, menata ulang semua protein yang mengambang bebas dan nutrisi lainnya dan mengubah apa yang dulunya ulat menjadi ngengat. Nah, inilah yang oleh Heinrich disebut sebagai 'kebangkitan'!

Fase Kupu-kup. https://www.npr.org/
Fase Kupu-kup. https://www.npr.org/

Apa yang terjadi, kata Heinrich, adalah bahwa bagian ulat DNA telah dimatikan, dan instruksi kupu-kupu telah dinyalakan. "Memang ada dua set instruksi genetik yang sangat berbeda yang sedang bekerja, ungkap Heinrich, dan peralihan ini, mematikan 'ulat' dan menghidupkan 'kupu-kupu', berarti 'sebagian besar dari satu tubuh mati dan kehidupan baru dibangkitkan dalam tubuh yang baru,'" kutip Krulwich dalam tulisannya tersebut.

Jadi, bila pandangan lama mengatakan bahwa selama jutaan tahun, hewan berevolusi dengan kebiasaan berpindah dari satu set instruksi ke instruksi lainnya, maka menurut pandangan baru adalah bahwa ini bukan satu hewan yang secara bertahap berubah bentuk, melainkan instruksi untuk dua hewan yang berbeda yang diapit bersama. "Perubahan ini sangat radikal," kata Heinrich sebagaimana dikutip Krulwich, "tanpa kesinambungan dari satu ke yang lain, sehingga bentuk dewasa dari inset ini sebenarnya adalah organisme baru."

Walaupun jejak evolusi Darwinian masih kental terasa, dan itu berarti perdebatan masih jauh dari kata berakhir, setidaknya satu sudut pandang berkenaan dengan ulat dan kupu-kupu terbuka untuk dibincang. Dan lagu anak-anak berbahasa Prancis, Le Papillon pun mengalun di kepala:

Pourquoi le diable et le bon Dieu?
C’est pour faire parler les curieux. 

Mengapa mesti ada iblis dan Tuhan Yang Baik?
Ini untuk membuat orang yang penasaran berbincang.

Kolega saya di sekolah, seorang guru bahasa Prancis, memberi tahu saya bila karakter orang-orang Prancis adalah gemar beretorika. Seperti tercermin dalam Le Papillon, nampaknya anak-anak didik kita harus belajar mengajukan tanya dan mencari jawabannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun