Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Membaca Sejarah Pembangunan Piramida Mesir di Hari Buruh

1 Mei 2024   07:23 Diperbarui: 1 Mei 2024   07:28 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat kedua anak saya masih berusia 4 dan 6 tahunan, saya menemukan sebuah film dokumenter tentang pembuatan piramid di Mesir. Film yang disutradarai Jonathan Stamp tersebut berjudul Building the Great Pyramid. Deskripsi filmnya sendiri begitu meyakinkan. "Berdasarkan penemuan arkeologi terbaru dan menggabungkan rekonstruksi dramatis, pengambilan gambar di lokasi, dan efek komputer CGI yang canggih, film ini melakukan perjalanan ke masa lalu untuk mengungkap bagaimana struktur Piramida Agung dibangun."

Nakht, sang tokoh utama yang diperankan Abdalla Mahmoud, mengisahkan pengalaman dirinya yang sempat direkrut untuk ikut dalam proyek pembangunan salah satu piramid di Mesir. Ia pergi sebagai pekerja rekrutan bersama adiknya Deba (Hisham Abdullah). Ditegaskan bahwa berbeda dengan anggapan umum bahwa pembangunan piramid menggunakan tenaga budak belian, menurut Nakht mereka yang dipanggil atas nama raja untuk ikut serta dalam proyek tersebut adalah orang-orang terpilih yang direkrut dari berbagai provinsi di wilayah kerajaan Mesir. Dalam narasi di awal film juga disebutkan bahwa berkah dari sungai Nil yang berlimpah membuat orang-orang Mesir memiliki kesempatan untuk melakukan hal lain di luar mencari kebutuhan pokok, yakni membuat piramid. 

Secara teknis, kita juga disuguhi satu alternatif dalam memahami bagaimana piramid yang berbahan bongkahan  besar batu dibangun. Termasuk spirit di balik pembangunan salah satu monumen dalam sejarah peradaban manusia tersebut. Hingga saat ini seruan Kaem-ah, juru rekrut tenaga pembangun piramid saat masuk ke sebuah perkampungan, lekat dalam ingatan: Bismil Malik - atas nama raja! Lho kok Mesir kuno berbahasa Arab? Hehehe

22 tahun kemudian, saya menemukan cuitan menarik dari akun Optimus di media sosial X. Bunyinya sebagaimana berikut:

BAGAIMANA PIRAMIDA BESAR DIBANGUN. 

Membangun Blok Inti: 

1. Campurkan garam Natron, air, tanah liat kaolin dan kapur (abu bakaran pohon palem) hingga membentuk adonan semen. 

2. Biarkan adonan menguap untuk mendapatkan adonan semen. Pastikan campuran semen tidak terlalu kering (minimal 17% air). 

3. Bawa adonan semen dan masukkan ke dalam cetakan di atas piramida.

Gambar di bawah adalah hasil campuran semen dengan video yang menjelaskan keseluruhan prosesnya, tambahnya.

Akun X ini juga kemudian menyebutkan bahwa sumber cuitannya sepenuhnya merupakan hasil dari riset Marcell Fóti, seorang peneliti misteri-misteri kuno yang juga merupakan penemu teori Natron. Menurut Foti, teknik yang sama berlaku untuk pembuatan benteng Inka Sacsayhuaman di Peru. 

Hal senada kita temukan dalam sebuah laporan berjudul  The Surprising Truth Behind the Construction of the Great Pyramids yang dimuat laman U.S. National Science Foundation pada tanggal 18 Mei 2007.

Semua berawal saat Michel Barsoum,  seorang peneliti yang didukung National Science Foundation sekaligus peneliti  di bidang keramik yang dihormati dari Departemen Ilmu dan Teknik Material di Universitas Drexel, menerima panggilan telepon tak terduga dari Michael Carrell, seorang teman pensiunan kolega Barsoum, yang menelepon untuk bicara dengan profesor kelahiran Mesir tersebut tentang seberapa banyak yang dia ketahui tentang misteri seputar pembangunan Piramida Agung Giza, satu-satunya bangunan yang tersisa dari tujuh keajaiban dunia kuno. Teori yang diterima secara luas - bahwa piramida dibuat dari balok-balok batu kapur raksasa yang diukir dan dibawa oleh para pekerja ke atas bukit yang landai - tidak hanya tidak diterima oleh semua orang, tetapi, yang tak kalah penting, memiliki cukup banyak lubang.

Menurut si penelepon, misteri tersebut sebenarnya telah dipecahkan oleh Joseph Davidovits, direktur Institut Geopolimer di St Quentin, Prancis, lebih dari dua dekade yang lalu. Davidovits mengklaim bahwa batu-batu piramida sebenarnya terbuat dari bentuk beton yang sangat awal yang dibuat dengan menggunakan campuran batu kapur, tanah liat, kapur dan air. Hal ini tentu sangat mengejutkan Barsoum. 

Satu setengah tahun kemudian, setelah melakukan pengamatan mikroskop elektron pemindaian (SEM) yang ekstensif dan pengujian lainnya, Barsoum dan kelompok penelitiannya akhirnya mulai menarik beberapa kesimpulan tentang piramida tersebut. Mereka menemukan bahwa struktur terkecil di dalam batu selubung bagian dalam dan luar memang konsisten dengan batu kapur yang dilarutkan. Semen yang mengikat agregat batu kapur adalah silikon dioksida (bahan penyusun kuarsa) atau mineral silikat yang kaya kalsium dan magnesium. 

Batu-batu tersebut juga memiliki kandungan air yang tinggi - tidak biasa untuk batu kapur alami yang biasanya kering yang ditemukan di dataran tinggi Giza - dan fase penyemenan, baik pada batu selubung bagian dalam maupun bagian luar, bersifat amorf, dengan kata lain, atom-atomnya tidak tersusun dalam susunan yang teratur dan berkala. Batuan sedimen seperti batu kapur jarang sekali, bahkan tidak pernah, berbentuk amorf. 

Sampel kimiawi yang ditemukan para peneliti tidak ada di mana pun di alam. "Oleh karena itu," kata Barsoum, "sangat tidak mungkin bahwa batu selubung luar dan dalam yang kami teliti dipahat dari blok batu kapur alami." 

Mungkinkah piramid benar-benar dibuat dengan batu cetakan, dan bukan batuan alami?

Pernyataan Al-Qur'an 14 Abad Lalu

Dalam Surah Al-Qashash ayat ke-38, difirmankan:

https://quran.com/28?startingVerse=38
https://quran.com/28?startingVerse=38

Firaun menyatakan, "Wahai para pemimpin! Aku tidak mengetahui adanya tuhan lain bagi kalian selain diriku sendiri. Maka bakarkanlah untukku batu bata dari tanah liat, wahai Haman, dan dirikanlah sebuah menara yang tinggi agar aku dapat melihat Tuhan Musa, meskipun aku yakin bahwa dia adalah seorang pendusta."

Dalam tafsir Thabari pada ayat ke-18 dari QS al-Qashash disebutkan bahwa Ibnu Juraij berkata: "Orang pertama yang memerintahkan pembuatan batu bata dan membangun dengan batu bata adalah Fir'aun." Dari Bisyr, dari Yazid, dari Sa'id bahwa Qatadah berkata: "Dia (Firaun) adalah orang pertama yang membakar batu bata yang digunakan untuk membuat bangunan."  

Yunus menceritakan kepadaku, bahwa Ibnu Wahab menceritakan kepada kami bahwa Ibnu Zaid berkata tentang firman Allah, "Wahai Haman, bakarkanlah untukku batu bata dari tanah liat," menurutnya bahwa tanah liat yang dibakar adalah tanah liat yang mereka gunakan untuk membuat bangunan.

Sementara untuk firman-Nya, "Buatkanlah untukku sebuah bangunan tinggi (menara)." Menurut Ibnu Zaid bahwa setiap bangunan yang datar adalah bangunan yang kokoh, seperti istana. 

Dari beberapa penjelasan yang diberikan oleh Imam Thabari tersebut kita bisa mengambil simpulan bila tanah liat yang dibakar adalah bahan baku untuk membuat bangunan tinggi seperti halnya menara namun juga berfungsi seperti halnya istana yang menunjukkan kemegahan. Deskripsi ini dengan tepat menggambarkan sebuah piramida. Namun, poin terpentingnya adalah bahwa tanah liat dan bukan batu alami sebagai bahan pembuatan piramida - hal mana sesuai dengan hasil riset yang disebutkan sebelumnya. 

Saat menyadari bila Al-Qur'an, 1400 lalu, secara sambil lalu menyebutkan sebuah fakta sejarah - yang bahkan hingga kini para ahli terbaik kita masih menganggapnya sebagai salah satu dari misteri  ini, sulit rasanya mengingkari rasa kagum bercampur syukur.  

Membincang Segregasi Sebutan Pekerja dan Buruh

Mengikuti narasi yang diungkapkan Nakht bahwa para pekerja dalam proyek raksasa pembangunan piramida adalah mereka yang dipilih sesuai kriteria untuk bekerja dalam kurun waktu tertentu. Umumnya mereka meneruskan apa yang telah dikerjakan oleh ayah, kakek atau barangkali buyut mereka sebelumnya. 

Dalam konteks hari yang mana sekarang sedang diperingati, Hari Buruh Internasional, Nakht dan lainnya boleh jadi hanyalah kelas pekerja. Namun, jelas mereka dalam perspektif kita dewasa ini bukanlah buruh. Kini istilah pekerja dan buruh seakan dibedakan secara makna. 

Anne Quito dalam Why work? A psychologist explains the deeper meaning of your daily grind membincang paparan profesor psikologi dari Swarthmore, Barry Schwartz di TED yang kemudian dibukukan dengan judul yang sama Why We Work dengan gagasan pokoknya tentang apa yang membuat sebuah pekerjaan menjadi baik-dan apa yang membuatnya menjadi buruk.

"Mengapa kita bekerja? Mengapa kita menyeret diri kita dari tempat tidur setiap pagi alih-alih menjalani hidup yang terdiri dari satu petualangan yang penuh kesenangan demi kesenangan? Sungguh pertanyaan yang konyol. Kita bekerja karena kita harus mencari nafkah. Tentu, tapi apakah hanya itu? Tentu saja tidak. Ketika Anda bertanya kepada orang-orang yang merasa puas dengan pekerjaan mereka mengapa mereka melakukan pekerjaan yang mereka lakukan, uang hampir tidak pernah muncul. Daftar alasan non-moneter yang diberikan orang untuk melakukan pekerjaan mereka sangat panjang dan menarik," tulis Quito.

Pekerja yang puas saat terlibat dengan pekerjaan, menurut Barry Schwartz, mereka larut di dalamnya. Terdapat beberapa alasan mereka begitu larut dalam profesi mereka. Pertama, mereka merasa tertantang oleh pekerjaan mereka. Kedua, mereka merasa bahwa mereka bertanggung jawab. Ketiga, mereka menganggap pekerjaan sebagai kesempatan untuk berinteraksi secara sosial. Dan, keempat, mereka merasa apa yang mereka lakukan bermakna.

"Tentu saja," tulis Quito, "hanya sedikit pekerjaan yang memiliki semua fitur ini, dan saya menduga tidak ada yang memiliki semua fitur ini sepanjang waktu. Namun, fitur-fitur pekerjaan seperti inilah yang membuat kita keluar rumah, membuat kita membawa pulang pekerjaan ke rumah, mendorong kita untuk membicarakan pekerjaan kita dengan orang lain, dan membuat kita enggan untuk pensiun. Kita tidak akan bekerja jika kita tidak dibayar, tetapi itu bukanlah inti dari alasan kita melakukan pekerjaan kita. Dan secara umum, kita berpikir bahwa imbalan materi adalah alasan yang sangat buruk untuk bekerja. Memang, ketika kita mengatakan tentang seseorang bahwa 'dia bekerja demi uang,' kita tidak hanya sekadar mendeskripsikan; kita juga tengah menghakiminya."

Pertanyaan besar muncul, "Mengapa bagi sebagian besar orang di dunia, pekerjaan hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki atribut-atribut ini? Mengapa bagi sebagian besar dari kita, pekerjaan itu monoton, tidak berarti, dan mematikan jiwa?"

"Mengapa ketika kapitalisme berkembang, ia menciptakan sebuah model pekerjaan di mana kesempatan untuk mendapatkan kepuasan non-materiil yang mungkin datang darinya-dan menginspirasi pekerjaan yang lebih baik-dikurangi atau dihilangkan?"

Para pekerja yang melakukan pekerjaan semacam ini-baik di pabrik, restoran cepat saji, gudang pemenuhan pesanan, atau bahkan di firma hukum, ruang kelas, klinik, dan kantor-melakukannya demi mendapatkan bayaran. "Meski mereka berusaha keras untuk menemukan makna, tantangan, dan ruang untuk otonomi, situasi kerja mereka mengalahkannya. Cara kerja mereka terstruktur sehingga hanya ada sedikit alasan untuk melakukan pekerjaan ini kecuali untuk mendapatkan bayaran," Quito memparafrasakan pandangan Schwartz. 

Buktinya, menurut laporan besar-besaran yang diterbitkan pada tahun 2013 oleh Gallup, sebuah organisasi jajak pendapat yang berbasis di Washington, D.C., terdapat dua kali lebih banyak pekerja yang "tidak terlibat secara aktif" di dunia dibandingkan dengan pekerja yang "terlibat" yang menyukai pekerjaan mereka. "Data Gallup ini berdasarkan survei kepada 25 juta karyawan di 189 negara. Versi terbaru dari survei menyebutkan bahwa hanya 13% pekerja yang merasa terlibat dengan pekerjaan mereka. Sementara lebih dari 63%, tidak terlibat. Pekerjaan, menurut Schwartz,  lebih sering menjadi sumber frustrasi alih-alih sumber kepuasan bagi hampir 90% pekerja di dunia. Dan itu artinya bahwa sembilan puluh persen orang dewasa menghabiskan separuh hidupnya untuk melakukan hal-hal yang tidak mereka inginkan di tempat yang tidak mereka inginkan. Mengapa? Jawabannya, mengutip Schwartz, adalah kapitalisme.

Nakht, sebagaimana tuturannya, termasuk kelompok orang yang menganggap pekerjaan sebagai anugerah. Ia tidak bekerja demi imbalan. Atau, dalam kadar tertentu, boleh jadi ia menganggap perannya yang berpeluh dan berdebu tersebut sebagai state of art. 

Akan tetapi semua berubah saat seseorang yang bekerja kemudian disebut buruh. KBBI memberikan keterangan arti buruh sebagai 'orang yang bekerja untuk orang lain dengan mendapat upah; pekerja'. Sementara untuk pekerja KBBI mengartikan sebagai 'orang yang bekerja; orang yang menerima upah atas hasil kerjanya; buruh; karyawan'. Jadi pada dasarnya kedua kata memiliki arti yang sama. Secara bahasa, 'pekerja' adalah orang yang bekerja seperti halnya 'karyawan' untuk orang yang berkarya. Bila kita sedikit telisik, kata 'kerja', 'karya' dan 'kriya' tidak terlalu sulit untuk menemukan kesamaan asalnya dari bahasa Sanskerta. Lalu mengapa pekerja dan buruh menjadi terasa berbeda? Istilah buruh berkonotasi sebagai pekerja kasar dan lebih menggunakan otot daripada otak dalam bekerja. Nakht, meskipun tugasnya hanya menyeret bongkahan batu, tentu tidak akan menampik keras bias konotatif ini. Sebutan buruh jelas derogatif.

Dua Perspektif 

Michael Holbi dalam Philosophical Approaches to Work and Labor, menulis:

"Kerja adalah subjek dengan silsilah filosofis yang panjang. Beberapa sistem filosofis yang paling berpengaruh mencurahkan perhatian yang cukup besar pada pertanyaan-pertanyaan tentang siapa yang harus bekerja, bagaimana mereka harus bekerja, dan mengapa. Sebagai contoh, dalam kota yang ideal dan adil yang diuraikan dalam Republik, Plato mengusulkan sebuah sistem spesialisasi tenaga kerja, di mana individu-individu ditugaskan ke salah satu dari tiga strata ekonomi, berdasarkan kemampuan bawaan mereka: kelas pekerja atau pedagang, kelas pembantu yang bertugas menjaga perdamaian dan mempertahankan kota, atau kelas 'filsuf-raja' yang berkuasa. Pembagian kerja seperti itu, menurut Plato, akan memastikan bahwa tugas-tugas yang penting bagi perkembangan kota akan dilakukan oleh mereka yang paling mampu melakukannya.    

Dalam mengusulkan bahwa masyarakat yang adil harus memperhatikan bagaimana pekerjaan dilakukan dan oleh siapa, Plato mengakui sentralitas pekerjaan bagi kehidupan sosial dan pribadi. Memang, sebagian besar orang dewasa menghabiskan banyak waktu untuk bekerja, dan banyak masyarakat kontemporer bisa dibilang  'berpusat pada pekerjaan' (Gorz 2010). Dalam masyarakat seperti itu, pekerjaan adalah sumber pendapatan utama dan bersifat 'normatif' dalam pengertian sosiologis, yaitu, pekerjaan diharapkan menjadi fitur utama dalam kehidupan sehari-hari, setidaknya untuk orang dewasa." 

Bisa dikatakan, menurut Holbi, tidak ada fenomena yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap kualitas dan kondisi kehidupan manusia selain pekerjaan. Bila Schwartz menyebut kapitalisme penyebab lahirnya segregasi pekerja dan buruh, maka Holbi secara filosofis menuduh akar dari segregasi ini malah lahir dari beberapa pandangan teologis bahwa kerja adalah buah dari dosa manusia - bahwa kerja harus menjadi panggilan atau panggilan untuk memuliakan Tuhan atau melaksanakan kehendak Tuhan, dan bahwa kerja adalah sebuah arena untuk memanifestasikan status seseorang sebagai orang pilihan di mata Tuhan. 

Namun, baik Schwartz maupun Holbi, senada berkaitan dengan peran buruk kapitalisme. Dimulainya Revolusi Industri dan kondisi kerja yang buruk dari tenaga kerja industri, menurut Holbi, memicu minat filosofis yang baru terhadap kerja, terutama dalam kritik Marxis terhadap kerja dan tenaga kerja yang meramalkan keterasingan pekerja di bawah kapitalisme modern dan kemunculan sebuah masyarakat tanpa kelas di mana kerja diminimalkan atau didistribusikan secara adil. Kapitalisme melahirkan 'kebencian' pekerja kepada para pemilik pekerjaan. 

Kembali kepada Holbi, ia tidak sepenuhnya sinis atas  'pandangan agama' bahwa manusia 'terkutuk' dengan keterpaksaannya untuk berpeluh dan berpayah-payah dalam menjalani hidup.  Holbi  menyebut tradisional Konfusianisme, misalnya, sebagai sesuatu yang  positif karena merangkul kerja keras, ketekunan, pemeliharaan hubungan profesional, dan identifikasi dengan nilai-nilai organisasi. Tradisi Mediterania kuno menurutnya sebagaimana disebutkan oleh Plato dan Aristoteles, mengagumi kerajinan tangan dan aktivitas produktif yang digerakkan oleh pengetahuan, sekaligus mendukung perlunya waktu luang dan kebebasan untuk kehidupan yang berbudi luhur. 

"Kerja dan tenaga kerja," simpul Holbi, "memiliki kepentingan filosofis yang hakiki. Namun, sentralitasnya terhadap kondisi manusia juga mengharuskan kerja dan tenaga kerja bersinggungan dengan pertanyaan filosofis yang lebih luas tentang kebaikan manusia dan organisasi yang adil dalam masyarakat. Filsafat kemungkinan akan memiliki peran khusus dalam mengatasi apa yang disebut Appiah (2021:7) sebagai 'masalah sulit', untuk menentukan 'bagaimana menghasilkan barang dan jasa yang kita butuhkan, sambil memberikan pendapatan, kemampuan bersosialisasi, dan signifikansi bagi masyarakat.'"

Tidak ada yang salah sama sekali dengan pekerjaan kasar - pun demikian dengan pekerjaan halus. Rasa syukur dan kemampuan kita dalam memaknai pekerjaan itu sendiri yang menjadikannya bernilai hakiki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun