Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pascamodernisme, Pasca-Kebenaran dan Deepfake

21 April 2024   19:56 Diperbarui: 21 April 2024   19:56 370
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deepfakes menurut CSO Online, sebagaimana dikutip Cuseum dalam 3 Things You Need to Know About AI-Powered "Deepfake" in Art & Culture, pada tingkat dasar, deepfake adalah video atau rekaman audio palsu yang terlihat dan terdengar seperti aslinya. Istilah deepfake pertama kali muncul di Reddit pada tahun 2017, tetapi istilah ini telah diadopsi secara luas untuk menggambarkan konten video yang sangat realistis yang sebenarnya dipalsukan. Sekarang, deepfake berfungsi sebagai "istilah umum untuk video yang dimanipulasi". 

Visi dari deepfake secara umum adalah untuk menciptakan konten multimedia (atau tepatnya tiruan) yang sangat realistis dengan berbagai tujuan, baik untuk hiburan, pengolahan video, simulasi, maupun pengembangan teknologi. Adapun sisi buruk dari deepfake adalah dapat disalahgunakan untuk menciptakan video palsu dari tokoh publik atau orang biasa, yang kemudian dapat digunakan untuk tujuan yang merugikan, seperti menyerang reputasi seseorang atau menyebarkan berita palsu. Saya sendiri tergoda untuk mengistilahkan deepfake secara oksomorinik sebagai kepalsuan yang sejati. 

Menjalinkan Ikatan Antara Ketiganya

Terdapat  hubungan antara pascamodernisme dan pasca-kebenaran dalam konteks penafsiran subjektif terhadap realitas, kebenaran, dan narasi. Meskipun keduanya memiliki akar yang berbeda, keduanya menyumbang terhadap pandangan yang lebih skeptis terhadap gagasan kebenaran objektif dan narasi tunggal.

Dalam pascamodernisme, keragaman, relativitas, dan fragmentasi diakui dalam konstruksi realitas dan kebenaran. Ini menciptakan landasan untuk penolakan terhadap narasi tunggal dan kebenaran objektif, yang kemudian bisa melahirkan pandangan  pasca-kebenaran di mana fakta dan kebenaran empiris terpinggirkan oleh narasi-narasi yang didasarkan pada emosi, ideologi, atau preferensi pribadi.

Atau, bila kita coba simpulkan dalam satu kalimat, kaitan antara ketiga frasa di atas adalah bahwa deepfake dalam era post-truth mencerminkan pengaruh postmodernism dalam menimbulkan keragaman narasi, mempertanyakan kebenaran objektif, dan memperkuat kebingungan antara realitas dan fiksi dalam tatanan informasi kontemporer.  

Saya tidak anti filsafat. Hanya saja, inti dari filsafat di balik frasa-frasa ini tidaklah sekeren ungkapannya. Para filsuf dewasa ini nampaknya sudah kehilangan kajian dan yang tersisa tinggal analisis kebahasaaan Wittgensteinian.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun