Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Pascamodernisme, Pasca-Kebenaran dan Deepfake

21 April 2024   19:56 Diperbarui: 21 April 2024   19:56 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pada bagian tulisannya dengan subjudul The truth about post-truth Calcutt menulis:

"Namun, penafsiran ini secara terang-terangan mengabaikan asal-usul sebenarnya dari post-truth. Ini bukan terletak pada mereka yang dianggap kurang berpendidikan atau para pejuang yang baru ditemukan. Sebaliknya, karya terobosan tentang post-truth dilakukan oleh para akademisi, dengan kontribusi lebih lanjut dari para profesional kelas menengah. Sebagai kaum liberal yang berhaluan kiri dan mengaku diri mereka liberal, mereka mencari kebebasan dari kebenaran yang disponsori oleh negara; alih-alih, mereka membangun sebuah bentuk baru dari kungkungan kognitif - 'pasca-kebenaran'.

Lebih dari 30 tahun yang lalu, para akademisi mulai mendiskreditkan 'kebenaran' sebagai salah satu 'narasi besar' yang tidak bisa lagi dipercaya oleh orang-orang pintar. Alih-alih "kebenaran", yang harus ditolak sebagai sesuatu yang naif dan/atau represif, sebuah ortodoksi intelektual baru hanya mengizinkan "kebenaran" - yang selalu bersifat jamak, sering kali bersifat personal, dan tak terelakkan untuk direlatifkan.

Dalam pandangan ini, semua klaim kebenaran bersifat relatif terhadap orang yang membuat klaim tersebut; tidak ada posisi di luar diri kita sendiri yang dapat digunakan untuk menetapkan kebenaran universal. Ini adalah salah satu prinsip utama dari postmodernisme, sebuah konsep yang pertama kali menarik perhatian pada tahun 1980-an setelah penerbitan buku The Postmodern Condition karya Jean-Francois Lyotard: A Report On Knowledge pada tahun 1979. Dalam hal ini, selama kita menjadi postmodern, kita telah mempersiapkan diri untuk era post-truth." 

Post-truth, menurut Noah Berlatsky dalam Orwellian euphemisms like “post-truth” and “alt-right” are perfect for whitewashing fascism, telah banyak digunakan pada tahun 2016 untuk menggambarkan keberhasilan kampanye Brexit dan Donald Trump, yang keduanya didasarkan pada penyesatan fakta yang sistematis. Definisi tersebut, menurut Oxford, adalah "Berhubungan dengan atau menunjukkan keadaan di mana fakta objektif kurang berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan dengan daya tarik emosi dan keyakinan pribadi." Namun, post-truth juga dapat didefinisikan dengan sinonim satu kata yang sederhana: propaganda. 

"'Saya pikir propaganda perlu kembali ke bahasa umum,' kata Michael J. Socolow, seorang profesor jurnalisme dan komunikasi di Universitas Maine. 'Saat ini kita memiliki begitu banyak eufemisme untuk propaganda. Kita memiliki 'iklan asli', 'konten bersponsor', 'diplomasi publik', 'berita palsu', dan konten 'pasca-kebenaran': Semua itu adalah variasi dari propaganda, yang diidentifikasi pada tahun 1920-an dan 1930-an,'" kutip Berlatsky. 

Ia juga menegaskan bahwa penemuan kata dan frasa baru untuk menyembunyikan kejahatan lama itu sendiri merupakan kejahatan lama. Para politisi dan pakar, seperti biasa, mencari frasa baru yang tidak berbahaya dalam upaya untuk meredam rasa jijik terhadap pengakuan. "Di zaman kita, pidato dan tulisan politik sebagian besar merupakan pembelaan terhadap yang tidak bisa dibela," kutip Berlatsky dari perkataan terkenal George Orwells.

Namun, kecam Berlatsky, eufemisme pasca-kebenaran mungkin secara khusus sangat tepat, karena hal itu sendiri merupakan tanda dari sebuah masa ketika jargon-jargon tajam digunakan untuk mengaburkan kebenaran dan kesinambungan antara masa lalu dan masa kini. Ini juga merupakan langkah linguistik yang besar ke arah yang salah. Sekarang, lebih dari sebelumnya, orang Amerika pada umumnya-dan media khususnya-perlu berhenti mencoba membubuhkan lapisan krom yang berkilauan pada korupsi lama.

Ringkasnya, kita cukup aman untuk mengatakan bahwa  dalam perspektif Post-Truth (Pasca-Kebenaran) kebenaran objektif dan fakta yang didasarkan pada bukti seringkali tidak lagi menjadi landasan utama dalam pembentukan opini publik dan pengambilan keputusan. Sebaliknya, emosi, keyakinan pribadi, narasi politik, dan opini yang didasarkan pada preferensi atau ideologi seringkali lebih mempengaruhi persepsi publik daripada kebenaran empiris. Jadi, lebih kepada like or dislike alih-alih true or false

Deepfake (Kepalsuan Mendalam)

Kita sekarang lanjut ke fenomena kekinian yang disebut Deepfake. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun