Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Less is More: Belajar dari Sebuah Oksimoron

6 April 2024   11:15 Diperbarui: 29 April 2024   10:41 313
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Less is more. Sangat sering kita mendengar frasa yang menggunakan majas oksimoron ini. Oksimoron, menurut KBBI, adalah penempatan dua antonim dalam suatu hubungan sintaksis (dalam koordinasi atau subordinasi). Contohnya, ya less is more ini -- dimana less berarti kurang, dan more berarti lebih. Kata Oksimoron merupakan berasal dari dua kata Yunani: oxus 'tajam' dan moros 'tumpul' atau 'bodoh'. Jadi, kata oksimoron sendiri adalah sebuah oksimoron. Sedikit melenceng dari konteks, kata moron, oleh beberapa orang dianggap lebih dari memuaskan untuk dijadikan sebagai umpatan. Hehe 

Laman The Minimalist memberikan penjelasan kompromis atas gabungan dua kata yang berlawanan ini.  We'll have to learn to do more with less around here, begitu katanya yang secara sederhana berarti kita dituntut untuk belajar berbuat banyak dengan segala keterbatasan di sekitar kita. Laman Writing Explained  memberikan arti less is more sedikit lebih filosofis Simplicity is better than elaborate embellishment; Sometimes something simple is better than something advanced or complicated -- kesederhanaan lebih baik daripada hiasan yang rumit; Terkadang sesuatu yang sederhana lebih baik daripada sesuatu yang canggih atau rumit.

Menurut sumber yang sama dikatakan bahwa ungkapan less is more pertama kali muncul dalam sebuah puisi karya Robert Browning, Andrea del Sarto, pada tahun 1855:

Yet do much less, so much less...Well, less is more, Lucrezia; I am judged.

"Namun, lakukan lebih sedikit, jauh lebih sedikit... Yah, lebih sedikit lebih baik, Lucrezia; saya dihakimi."

Banyak desainer menggunakan ungkapan ini sebagai filosofi atau inspirasi untuk mendesain sesuatu yang sederhana, namun tetap indah dan salah satunya adalah Ludwig Mies van der Rohe (1886-1969), seorang arsitek kelahiran Jerman yang menggunakannya ketika merujuk pada keinginan untuk mengurangi kerumitan visual dalam pembangunan rumah.  Der Rohe dikenal sebagai pengguna awal frasa ini -- atau tepatnya yang mempopulerkan frasa ini. 

Kalimat something simple is better than something advanced or complicated membawa ingatan kepada satu ungkapan Latin yang saya jadikan moto pada profil Kompasiana saya, yakni Simplex veri sigillum -- kesederhanaan adalah materai kebenaran. Versi penulisan umumnya adalah simplex sigillum veri. Namun, versi yang terakhir pun diperdebatkan kesasihan secara gramatikalnya. Menurut Latin Discussion, sebagian besar orang tampaknya setuju bahwa bahasa Latinnya salah: "Kata (yang digunakan) seharusnya (bukan kata) sifat, (melainkan) kata benda, misalnya: veritatis sigillum simplicitas atau simplicitas obsignat veritatem."

Saya sendiri lupa dari sumber mana saya menggunakan redaksi yang tidak umum simplex veri sigillum dan bukannya simplex sigillum veri apalagi sampai segramatikal  veritatis sigillum simplicitas atau simplicitas obsignat veritatem.

Ungkapan yang kita bicarakana, simplex sigillum veri, secara umum diketahui merupakan moto favoritnya seorang dokter Belanda, Hermannus Boerhaave (1668-1738). Namun, menurut Stake Expchange dalam Unde orta est sententia "Simplex sigillum veri"?, belum ditemukan bukti apa pun yang menyatakan bahwa sang dokter sendiri yang menciptakan frasa ini. Pun demikian, saat mencoba menelusuri jejak frasa ini dalam tulisan matematikawan G. Polya, How to Solve It, yang muncul setelah mencatat beberapa pola yang sangat sederhana di pusat gravitasi tiga bentuk, yang menunjukkan generalisasi:

"Tampaknya sangat tidak mungkin bahwa dugaan yang disarankan oleh pertanyaan-pertanyaan ini salah, bahwa keteraturan yang begitu indah harus dirusak. Perasaan bahwa keteraturan sederhana yang harmonis tidak mungkin menipu memandu para penemu baik dalam matematika maupun ilmu pengetahuan lainnya, dan diungkapkan dengan pepatah Latin: simplex sigillum veri (kesederhanaan adalah meterai kebenaran).

Polya sepertinya mengambil pepatah tersebut dari tradisi yang sudah berjalan lama dan itu akan sama halnya dengan Boerhaave.

Belajar dari Less is More

Kembali kepada ungkapan oksimoronik less is more, pantas saja bila der Rohe sebagai arsitek menggandrunginya. Rancangan yang dalam bahasa Inggris adalah design secara etimologi dibentuk dari dua kata, de- dan sign (dari Latin, signum; Indonesia, tanda).

Menurut Collins Dictionary dalam bahasa Latin, kata de (preposisi) berarti: dari, menjauh dari, keluar dari, dsb. Dalam kata majemuk yang berasal dari bahasa Latin, de- juga berarti menjauh, jauh dari (decease); turun (degrade); pembalikan (detect); penghilangan (defoliate); dan digunakan secara intensif (devote) dan merendahkan (detest). Kata design mengandung makna menanggalkan atau menjauhkan detail atau bagian yang tidak esensial dari sebuah tanda agar pesan dari tanda tersebut semakin jelas. Hal ini semakna dengan less is more.  Implikasi dalam seni rancang arsitektural ini yang dimaksud dengan keinginan der Rohe "mengurangi kerumitan visual dalam pembangunan rumah."

Senafas dengan ungkapan less is more, hadits populer yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra berikut menarik untuk dicermati. Min husnil Islamil-mar'i tarkuhu maa laa ya'niihi, bahwa tanda baiknya keIslaman seseorang adalah menjauhkan diri dari apa yang tidak menjadi tujuannya." (HR At-Tirmidzi)

Kita dinasehati untuk fokus pada tujuan utama hidup kita dan menanjauhkan diri dari hal-hal yang tidak esensial atau dekoratif. Sikap hidup seperti ini akan melahirkan pribadi-pribadi yang bernilai, jauh dari segala atribut meriah tetapi kosong dari esensi. Pribadi-pribadi yang selalu bersyukur dan merasa cukup atas apa dimiliknya selama tujuan utama hidupnya tercapai. Bahkan, dalam perspektif Imam Syafi'i mereka inilah sejatinya orang kaya sebagaimana dalam ungkapan masyhurnya:

Wa Laysal-ghinaa illaa 'anisy-syai'i laa bihi

"Dan bukanlah seseorang dikata kaya kecuali ia akan sesuatu tersebut tidak membutuhkannya."

Inilah cara hidup less is more yang sekarang semakin tergerus hedonisme dengan gaya hidup dekoratifnya. Ramadan yang tinggal empat hari ke depan seharusnya mampu mengambalikan kita kepada jalur yang tepat dan bukannya meluncur cepat menuju pesta ketupat.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun