Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Nabi Khidir adalah Nabi Muhammad Saw (?)

5 April 2024   10:32 Diperbarui: 5 April 2024   10:50 206
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Nabi Khidir di atas seekor ikan https://commons.wikimedia.org/wiki/File:Khizr.JPG

Jum'at (5/4) merupakan hari ke-25 dari Ramadan. Saya sendiri merasa hari ke-25 Ramadan jatuh pada hari Kamis. Dan itu baru disadari saat Subuh, daras Al-Qur'an di masjid diliburkan karena hari ini adalah sayyidul ayyam, Hari Jum'at. Rupanya angka lima pada 25, atau lima hari terakhir Ramadan, mengingatkan saya pada kata khamsah yang bentuk bilangangan ordinalnya adalah khamis.

Tadi malam sebelum tidur sempat terpikir berkenaan dengan sebuah nama, yang banyak mengundang perdebatan muncul dalam benak: Al-Khadhir. Kita biasa menyebutnya Khidir. Diyakini sebagai nabi yang hingga kini masih hidup. "Tinggalnya di dasar laut," begitu kata guru Sekolah Agama saat usia SD dulu. Secara bahasa Khidir seakar dengan kata akhdhar dan khadhra yang berarti 'hijau'. Saya suka sekali mengidentifikasi Nabi Khidir sebagai the Evergreen. Uniknya, nama Khidir tidak disebutkan dalam ayat yang secara sepakat dianggap membicarakan sosok ini. 

Selain Nabi Isa as -- yang diyakini sebagian orang masih hidup di langit, barangkali hanya Melkisedek yang bisa menyaingi 'keabadian' Khidir. Namun, benarkah?

Sosok Evergreen yang Debatable

Berkenaan dengan keabadian Khidir, Yusuf Al-Qaradhawi berpendapat sebaliknya. Ia menegaskan bahwa terdapat bukti dari Al-Qur'an, Sunnah, akal, dan ijma' para peneliti yang kompeten dari umat ini bahwa Al-Khidr tidak hidup dalam keabadian.

Qaradhawi mengutip  buku Al-Manar al-Manif fi al-Hadits al-Shahih wa al-Dha'if karya Ibn al-Qayyim yang menyebutkan bahwa hadits tentang Rasulullah saw sedang berada di masjid, lalu beliau mendengar ada orang yang berbicara di belakangnya, maka beliau beserta para sahabat pun pergi untuk melihat dan ternyata itu adalah Khidir, adalah hadits palsu. Begitu pula halnya dengan hadits bahwa 'Al-Khidr dan Elias (Ilyasa) bertemu setiap tahun' dan Hadits 'Jibril, Mikail dan Al-Khidr bertemu di Arafah.'

Syaikh Shalih Ibnu Taimiyyah, kutip Qaradhawi, pernah ditanya tentang hal ini, ia menjawab, "Seandainya Al Khidhr masih hidup, niscaya dia akan datang kepada Nabi saw, berperang di hadapannya dan belajar darinya, dan Nabi saw bersabda di hari Badar, 'Ya Allah, jika engkau membinasakan kelompok ini, maka tidak akan ada lagi yang menyembah-Mu di muka bumi ini'. Mereka berjumlah tiga ratus tiga belas orang, yang dikenal dengan nama-nama mereka, nama-nama ayah dan suku mereka, jadi di manakah Khidir saat itu? Al-Qur'an, As-Sunnah, dan perkataan para penyelidik dari para ulama umat mengingkari kehidupan abadi Khidir sebagaimana yang mereka katakan."

Lebih lanjut Syekh Qaradhawi menyatakan: "Al-Qur'an mengatakan, 'Dan Kami tidak menjadikan seorangpun sebelum kamu yang hidup abadi, maka jika kamu mati, kamu pun abadi.' Jika Al-Khidir adalah seorang manusia, maka ia tidak akan abadi, karena hal ini dibantah oleh Al Qur'an dan As-Sunnah, karena jika ia hidup, niscaya ia akan datang kepada Nabi Muhammad saw sebagaimana sabdanya: 'Demi Allah, seandainya Musa masih hidup, niscaya dia akan mengikutiku.' (HR. Ahmad dari Jabir bin Abdullah) 

Jika Al-Khidir adalah seorang nabi, maka dia tidak lebih baik dari Musa, dan jika dia adalah seorang wali, maka dia tidak lebih baik dari Abu Bakar."

Berkenaan dengan apakah Khidir adalah seorang nabi? Qaradhawi menyatakan: 

"Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, namun tampaknya lebih mungkin bahwa dia adalah seorang nabi, sebagaimana yang tampak dari ayat yang kita baca dari surat al-Kahfi: 'Aku tidak melakukannya atas perintahku', karena ini adalah bukti bahwa dia melakukannya atas perintah Allah dan wahyu-Nya, bukan dari dirinya sendiri. Hal ini lebih menunjukkan bahwa beliau adalah seorang nabi dan bukan hanya seorang wali."

Berbeda dengan Qaradhawi, Muh Fiqih Shofiyul Am dalam tulisannya Kitab Inayatul Muftaqir, Membedah Pro Kontra Keabadian Hidup Nabi Khidir, menulis:

"Menurut KH Maimoen dalam pengantar kitab, Syekh Mahfudz cenderung berbeda pendapat dengan (Ibnu Hajar) Al-'Asqalani terkait eternalitas Nabi Khidir. Al-'Asqalani memang tidak menyinggung secara tekstual dalam Al-Ishabah, akan tetapi Al-'Asqalani membahas tema ini khusus dalam kitab lain berjudul Az-Zahrun Nadhr fi Naba'i Khidr.  Syekh Mahfudz lebih condong kepada pendapat tentang keabadian Khidir dengan argumentasi dan dalil yang menurutnya kuat yang mendukung pendapatnya tersebut. Syekh Mahfudz menyebutkan argumentasinya setelah menguraikan argumentasi al-Asqalani yang bersebrangan dengan pendapatnya. Kiai Maimoen secara pribadi mendukung pendapat Syekh Mahfudz tentang eksistensi Nabi Khidir hingga saat ini. Kiai Maimoen juga menyebutkan sanad tarekat Idrisiyah, terkenal juga dengan tarekat Khidiriyah dalam pengantarnya.   Bahkan Kiai Maimoen mengungkapkan pengalaman pribadi bertemu dengan guru-gurunya yang pernah berjumpa dengan Nabi Khidir dalam keadaan sadar dan mendapatkan ilmu serta siraman ruhani yang sangat banyak (ilmu laduni) darinya."

Sepintas kita dapat mengetahui bahwa Qaradhawi cenderung sependapat dengan Ibnu Hajar al-'Asqalani. Kedua pandangan ini nampaknya bukan merupakan arus utama di negeri kita sebagaimana yang dikutip Shofiyul Am tentang keyakinan Syekh Mahfudz akan kemasihhidupan Nabi Khidir. Senada dengan Syekh Mahfudz dan Mbah Maimoen, Marsono misalnya, sebagaimana dikutip dalam Teologi Aliran Kebatian dari koleksi repositori UIN Rade Fatah Palembang, menyebutkan bahwa kisah Nabi Khidir terdapat dalam Suluk Lokajaya yang menceritakan Nabi Khidir memberi wejangan ilmu sangkan paraning dumadi atau tujuan hidup manusia pada Seh Malaya. Lokajaya dan Seh Malaya adalah nama lain dari Raden Said yang kemudian dikenal sebagai Sunan Kalijaga. Pada saat masih muda Raden Said pernah berjuluk sebagai Brandal Lokajaya. Menurut beberapa ahli Suluk Lokajaya sendiri merupakan sastra mistik yang mendapat pengaruh tasawuf Islam. Kata 'Seh' adalah penyederahaan sebutan untuk 'syekh'.

Bambang Khusen Al Marie dalam blognya Kajian Sastra Klasik berbagi kajian bait-bait pupuh berisi pertmuan Lokajaya alias Seh Malaya bertemu dengan Nabi Khidir. Dalam litertur Jawa dulu Khidir ditulis 'Kilir'. Sementara Al Marie sendiri menulisnya sebagai 'Kidlir' dengan logat Jawa yang biasa kita jumpai sekarang. Sementara guru Sekolah Agama saya dulu menulisnya, 'Hidir'. Berikut saya kutipkan sebagian dari bait pupuh tersebut:

Pangandikane Jeng Nabi Kilir, aywa nembah lamun durung awas, pan tuwas kangelan bae, saweneh sasar susur, amangeran marang ing eblis. Sembahe tawang tuwang, ingkang tanpa wujud, kapaung amenek wreksa, panyanane kinira ana ing nginggil, tan wruh yen kangsrah temah.

"Perkataan dari Nabi Kidlir, jangan menyembah kalau belum awas, artinya mengenal betul apa yang disembah dan untuk apa menyembah. Jika tidak maka penyembahannya akan sia-sia. Salah-salah jika sesat malah akan menuhankan Iblis."

Dalam konteks seperti pengalaman Seh Malaya inilah barangkali yang dialami oleh Kiai Maimoen.

Berkenaan dengan Nabi Khidir dalam konteks Nusantara ada yang lebih 'heboh' lagi. Salah satunya adalah pendapat Gugun Sopian melalui bukunya Rahasia yang Terungkap. Sopian mengajukan tesis bahwa Nabi Khidir adalah maharaja Sunda, pendiri peradaban Sundalandia.

Selalu menarik saat berhadapan dengan perbedaan perspektif. Kita dilatih untuk belajar menerima perbedaan. Senaif apapun itu. Sebagaimana diajarkan oleh Stephen Hawking berkenaan dengan seorang nenek begitu yakin kalau bumi tidak mengambang dalam ruang dan waktu disebabkan gravitasi melainkan berada di atas menara kura-kura. Kita boleh tersenyum atas kenaifannya. Namun, bagaimana bila kita pun suatu saat terbukti sama naifnya?  

Pespektif Ahmadiyah tentang Nabi Khidir

Hadhrat Mirza Basyiruddin Mahmud Ahmad ra, Khalifatul Masih Kedua dalam silsilah Muslim Ahmadiyah, berkenaan dengan QS Al-Kahf: 60, menjelaskan:

"Ungkapan Majma'al Bahrain (pertemuan dua lautan) yang muncul dalam ayat yang sedang dikomentari juga menunjukkan fakta bahwa Isra' Musa adalah sebuah perjalanan spiritual karena tidak ada tempat di dunia ini yang dikenal dengan nama ini. Ungkapan ini hanya memiliki satu makna yaitu "persimpangan dua lautan." Persimpangan yang paling dekat dengan tempat Musa tinggal setelah meninggalkan Mesir adalah Bab ul-Mandab yang menyatukan Laut Merah dan Samudera Hindia, Selat Dardanelles yang menyatukan Laut Mediterania dengan Laut Marmora, dan Al-Bahrain tempat bertemunya perairan Teluk Persia dan Samudera Hindia. Dari semua tempat ini, Selat Dardanelles saja yang mungkin menjadi titik di mana pertemuan semacam itu dapat terjadi karena dalam perjalanannya terdapat Kanaan yang merupakan tujuan Musa namun tidak dapat ia capai selama hidupnya. Ketiga tempat ini berjarak sekitar seribu mil dari tempat tinggal Musa dan mengingat tidak adanya sarana komunikasi dan transportasi yang baik pada masa itu, Musa membutuhkan waktu sekitar satu tahun untuk menempuh jarak sejauh itu dan Musa tidak mampu untuk tidak berada di tengah-tengah umatnya untuk waktu yang lama tanpa membahayakan keselamatan rohani mereka.

Dari bukti sejarah ini, dapat disimpulkan dengan aman tanpa rasa takut akan adanya kontradiksi bahwa perjalanan Musa yang dirujuk dalam ayat-ayat ini adalah sebuah perjalanan spiritual yang dilakukan dengan tubuh spiritual untuk tujuan spiritual.

Ibnu Katsir mengutip pendapat Imam Mawardi bahwa sosok yang ditemui Nabi Musa as tersebut bukanlah manusia, melainkan seorang malaikat."

Para ahli tafsir al-Qur'an Ahmadiyah, menurut Wikipedia pada bagian Pandangan Islam, cenderung mengidentifikasi "Hamba Tuhan" yang ditemui Musa sebagai representasi simbolis dari (Nabi) Muhammad (saw) sendiri. Para Ahmadi percaya bahwa ayat al-Qur'an tentang pertemuan Musa dengan "Hamba Allah" terkait erat, secara kontekstual, dengan pokok bahasan surat al-Kahfi di mana kisahnya dikutip. Menurut komentar para Ahmadi, perjalanan Musa dan pertemuannya dengan "hamba Tuhan" adalah pengalaman kasyaf yang mirip dengan Mi'raj (kenaikan) (Nabi) Muhammad (saw) yang ingin dilihat oleh Musa dan ditunjukkan dalam penglihatan ini. Sifat dialog antara Musa dan "Hamba Allah" dan hubungan antara mereka dilihat sebagai indikasi dari karakteristik pribadi Musa dan Muhammad serta para pengikutnya masing-masing; Tindakan Khiḍr yang tampaknya tidak pantas dan hikmah di baliknya dipahami dengan mengacu pada ciri-ciri menonjol dari kehidupan dan ajaran Muhammad; dan seluruh narasi al-Qur'an dipahami sebagai ungkapan superioritas spiritual Muhammad atas Musa dan digantikannya syariat Yahudi oleh syariat Islam.

Jamaah Muslim Ahmadiyah memandang perjumpaan Nabi Musa dengan Nabi Khidir berlangsung secara kasyaf sebagaimana ungkapan 'sebuah perjalanan spiritual yang dilakukan dengan tubuh spiritual untuk tujuan spiritual'. Dan sosok Khidir, Sang Evergreen, tidak lain dari Nabi Muhammad saw sebagai Rahmatan lil-'Alamin yang untuk beliau Allah SWT berfirman, 'Lau laka, lau laka lamma khalaqtul-aflak -- bila saja bukan karena engkau (wahai Muhammad saw) tentu Aku tidak akan menciptakan semesta ini.' Beliau saw adalah pembawa syariat Islam yang menyempurnakan semua syariat sebelumnya -- yang berisi nilai-nilai luhur lagi perenial -- yang kepada sosok inilah nama Al-Khidhr, Sang Hijau dialamatkan.

Hari semakin siang, tulisan pada hari ke-25 pun berakhir di sini. Namun, perdebatan mengenai Nabi Khidir masih jauh dari kata berakhir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun