Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tenjowaringin, Sebuah Nama yang Bersejarah Panjang

2 April 2024   15:59 Diperbarui: 3 April 2024   00:13 458
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dua pagi berturut-turut saya harus mengantar istri ke rumah warga yang sakit. Sudah hampir tiga tahun, istri saya menjadi mantri kesehatan di tingkat desa. Sebelumnya ia bertugas sebagai perawat di UPT Puskesmas Salawu, Kabupaten Tasikmalaya. Dan uniknya dua siang berturut-turut harus ke stasiun kereta api Garut Kota. Bedanya bila hari yang pertama mengantar, maka hari keduanya menjemput. Anak saya yang sulung yang lagi persiapan UTBK April-Mei ini ada perlu ke kota Bandung.

Pasien di hari Senin kemarin, tinggal di kampung Sukasari, Desa Tenjowaringin. Sebuah nama yang diberikan oleh kakek saya dari pihak istri.

Awalnya kampung tersebut disebut Panenjoan. Sebuah kata dalam bahasa Sunda yang artinya 'tempat untuk melihat atau mengawasi'. Nama Panenjoan kini dikhususkan untuk nama bukit yang ada bagian timur kampung tersebut, Bukit Panenjoan.

Bukit Panenjoan, Tenjowaringin www.tasikzone.com
Bukit Panenjoan, Tenjowaringin www.tasikzone.com

Tepat di depan rumah pasien yang kami kunjungi tersaji panorama alam yang masih asri. Nun jauh di depan sana, Gunung Cikuray berdiri anggun.

Saat itu puncaknya disaputi awan. Gunung Cikuray, menurut Dani Sunjana dalam Gunung Sebagai Lokasi Situs-Situs Keagamaan dan Skriptoria Masa Sunda Kuno, terletak di Kabupaten Garut.

Gunung ini memiliki nama kuno Srimanganti atau Srimanganten berdasarkan nama salah satu tempat di lereng barat gunung tersebut, tetapi dalam naskah Bujangga Manik sudah disebut sebagai Cikuray.

Peran penting Gunung Cikuray sebagai tempat suci antara lain dibuktikan dengan keberadaan Situs Ciburuy yang merupakan kabuyutan serta skirptorium pada masa lampau. Situs Ciburuy secara administratif berada di Kampung Ciburuy, Desa Pamalayan, Kecamatan Bayongbong, Kabupaten Garut.

Dani sendiri adalah warga asal kampung Sukasari. Lulusan arkeologi Udayana yang tengah menyelesaikan studinya di program magister Sejarah Unpad. 14 tahunan lalu ia merupakan salah satu murid saya di SMA tempat saya mengajar. Sudah sejak lama saya melihat ada bakat literasi yang tinggi dalam dirinya. Kini saya banyak belajar darinya--barangkali lebih banyak saya belajar darinya daripada dia belajar dari saya saat SMA-nya.

Ibu dari pasien yang kami kunjungi menyebutkan bahwa salah satu kampung di bawah kaki Gunung Cikuray ada yang bernama Sindangratu.

Sindangratu artinya tempat singgah ratu. Ratu dalam bahasa Sunda memiliki arti luas, bukan hanya raja atau ratu saja melainkan keturunan raja atau sosok yang sangat dimuliakan. Sesuatu terlintas di benak saya saat menerima informasi ini.

Sementara tadi pagi, pasien yang istri saya kunjungi tinggal di kampung Sindangsari. Nama asal kampung tersebut adalah Muringis.

Kata Sunda muringis searti dengan meringis dalam bahasa Indonesia. Adapun penamaan Sindangsari juga diberikan oleh kakek saya yang disebutkan sebelumnya. Nama beliau adalah Muhammad Zaenal Mutaqin namun lebih umum dikenal sebagai Edjen.

Singdangsari berasal dari dua kata, sindang dan sari. Untuk kata sindang seperti pada kata Sindangratu berarti singgah atau berhenti sejenak.

Kata sari nampaknya bentuk perubahan dari kata sri. Penggunaan kata 'sri' lazim untuk menunjukkan gelar kehormatan bagi seorang raja atau orang besar lainnya.

Jadi antara Sindangsari dan Sindangratu memiliki kaitan yang erat secara toponimi. Sebuah catatan tersendiri bagi saya untuk sosok Abah Edjen ini.

Kampung Bersejarah Panjang

Kembali kepada apa yang disebutkan Dani berkenaan dengan kedudukan Gunung Cikuray sebagai kabuyutan lengkap dengan skriptoriumnya. Tersebutlah sosok Kai Raga, sebagaimana disebutkan Atep Kurnia dalam Sinurat Ring Merega; Tinjauan atas Kolofon Naskah Sunda Kuna nama atau gelar yang tercatat sebagai penyalin atau penulis naskah-naskah Sunda kuno. Namanya tercantum dalam enam naskah Sunda kuno, sebagaimana mengutip Wikipedia. Hal ini menunjukkan posisi penting Gunung Cikuray dalam tradisi literasi pada zaman bihari.

Gunung Cikuray yang awalnya bernama Srimanganti yang secara sederhana bisa diartikan sebagai gunung tempat menanti raja atau ratu. Sebagai sebuah kabuyutan atau kamandalaan adalah hal sangat lazim bila pangeran atau putra raja dididik berbagai ilmu di dalamnya. Dan hal yang bisa dipahami bila toponimi Srimanganti merujuk kepada aktivitas pendidikan dan pelatihan yang berlangsung di kabuyutannya.

Pada abad ke 17, menurut salah satu sumber, Gunung Cikuray menjadi mandala atau pusat bertapa dan pusat ilmu pengetahuan bagi Kerajaan Padjadjaran.

Hal ini terbukti dengan adanya naskah kuno yang disimpan di Situs Kabuyutan Ciburuy yang dimana di dalam naskah tersebut dijelaskan bahwa Gunung Cikuray ini dijadikan tempat petapaan para raja dan. para dewa-dewa. Posisi ini sekaligus mengukuhkan fungsi Srimanganti sebagai 'panenjoan' Pajajaran yang dengan khazanah keilmuan yang dihasilkan di Sirimanganti maka para raja dan pangeran Pajajaran dapat mengabadikan keberadaan kerajaannya.

Posisi ini yang menjadi alasan kunjungan Bujangga Manik ke Gunung Cikuray dalam perjalanan pulang dari pengembaraannya menjelajahi pulau Jawa hingga Bali. Tentang Tenjowaringin dan Panenjoan saya tuliskan dalam Tenjowaringin dalam Lintasan Sejarah. 

Selama perjalanan mengantar istri jadi penuh renungan dan rasa syukur. Sukasari, Sindangsari dan Panenjoan terasa berbeda. Jadi begitu historikal. Apalagi tentang kunjungan Bujangga Manik ke kawasan kampung yang kini menjadi sebuah desa bernama Tenjowaringin sebelum memuncak ke Gunung Cikuray.

Uniknya, toponimi Tenjowaringin sendiri yang pada dasarnya gabungan dari nama dua tempat Panenjoan dan Caringin ini kembali menyiratkan kaitan dengan Srimanganti. 'Tenjo' artinya melihat, mengawasi atau memperhatikan.

Sementara 'Caringin' yang juga disebut 'Waringin' berarti pohon beringin. Beringin melambangkan pohon kerajaan atau keturunan raja. Sebagaimana terlihat dalam simbol Waringin Tujuh dalam kerajaan Pajajaran. 

Bila memang demikian siratan dari toponimi nama-nama kampung di sekitar tempat saya berada, sungguh sebuah privilise tersendiri berada dalam jaring-jaring jejak sejarah ini. 

Seharusnya saya bersyukur bukan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun