Kata refleksi terdengar begitu akrab dengan Kurikulum Merdeka yang pada tahun pelajaran baru 2024/2025 dikukuhkan sebagai Kurikulum Nasional. SMA Plus Al-Wahid, sekolah di mana saya mengajar, telah mengalami empat kali implementasi kurikulum nasional sejak berdirinya pada tahun 2000. Per Juni nanti, genap 24 tahun perjalanan belajar saya sebagai guru. Sebuah profesi yang dari waktu ke waktu semakin mengecil diri saya dalam keluasan semestanya. Â
Saat pertama berdiri Al-Wahid menggunakan Kurikulum 1994 (suplemen Kurikulum 1999). Kurikulum 1994 dikenal dengan Kurikulum Berbasis Konten/Isi (KBK/I). Ia--dianggap menekankan pada isi atau materi pembelajaran. Lalu, pada tahun 2004 diluncurkan Kurikulum 2004 (revisi tahun 2006) dengan sebutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Sementara untuk versi Kurikulum 2006 lebih dikenal sebagai Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Kurikulum versi 2006 lebih menekankan pada pengelolaan layanan pendidikan yang berbasis karakter sekolah. Pendekatan ini lazim dikenal sebagai School-Based Management (Manajemen Berbasis Sekolah). Tahun pelajaran 2013/2014, Kurikulum 2013 atau dikenal dengan akronim Kurtilas diberlakukan. Sejatinya ini adalah Kurikulum 2014.
Tahun 2024 ini, Al-Wahid sebagai pelaksana Program Sekolah Penggerak, mendapat kesempatan dua tahun lebih awal untuk mengimplementasi Kurikulum Merdeka sejak tahun pelajaran 2021-2022 lalu. Kurikulum 2024 dikenal sebagai Kurikulum Merdeka. Kata Merdeka disematkan mengingat karakter utama dari kurikulum ini--idealnya--berpusat kepada pengembangan potensi murid sesuai kodrat alam dan zamannya dalam bingkai falsafah Pancasila. Kurikulum yang membebaskan sebuah sekolah (bahkan sebuah kelas) dalam melayani peserta didiknya dari segala bentuk penyeragaman yang bersifat teknis dan mekanis. Sebuah kurikulum yang diimpikan begitu humanis dan fisolofis sebagaimana dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara.Â
Saya mungkin sudah purna bakti saat Kurikulum Nasional 2034 diluncurkan sepuluh tahun kedepan. Bila kata 'merdeka' sempat menjadi nama protipe kurikulum nasional 2024, boleh jadi protipe kurikulum 2034 akan mengambil nama Kurikulum Indonesia Emas atau Kurikulum Perjuangan (ups!). Nomenklatur seperti ini meskipun seringkali tidak esensial namun, suka ataupun tidak, komersial. Hanya saja, kedua kata esensial dan komersial, dua-duanya mengandung potensi berakibat 'sial', lho! Hehehe
Kembali kepada kata refleksi. Pagi ini, saat kata refleksi tiba-tiba menarik perhatian, Ramadan memasuki hari yang kesebelas. Ramadan memasuki puluhan kedua yang masyhur dikenal sebagai puluhan maghfirah atau ampunan. Ada korelasi yang menarik antara refleksi dan maghfirah.Â
Refleksi, menurut laman Dictionary, berasal dari bahasa Latin reflectere, yang terdiri dari awalan re-, "kembali", dan flectere, "membengkokkan". Jadi, ini berarti membengkokkan sesuatu ke belakang: pantulan Anda di cermin adalah gelombang cahaya yang memantulkan gambar Anda kembali ke arah Anda. Â Â
Kata maghfirah (ampunan) identik dengan upaya manusia saat ia bertaubat, yakni memohon ampunan kepada Tuhan. Perbuatan memohon ampunan tidak mungkin terjadi apabila tidak didahului oleh muhasabah nafs (refleksi diri). Seseorang yang mengakui kesalahan atau kekeliruan pasti ia telah merenung sampai menyadari atas apa yang telah ia perbuat untuk kemudian ia meminta maaf atas kesalahannya. Menariknya lagi. Kata taubat berasal dari kata Arab taaba-yatuubu, menurut Al-Ma'any mengandung arti kembali. Taubat artinya kembali ke jalan yang benar setelah menempuh jalan yang salah.
Ramadan adalah bulan refleksi diri. Kita menarik diri sementara dari hiruk-pikuk kehidupan dunia untuk bertapakur diri di sudut-sudut sunyi dengan memperbanyak ibadah dan kajian. Buah dari apa yang kita lakukan selama satu bulan penuh ini tidak lain dari maghfirah Dzat yang telah mewajibkan ibadah puasa di bulan ini. Dan puncak dari maghfirah adalah terbebasnya kita dari segala dosa yang melaluinya kita jadi terbebas dari ancaman siksa neraka. Itulah mengapa puluhan ketiga Ramadan kemudian dikenal sebagai puluhan 'itqun minan-nar (terbebasnya kita dari api neraka). Dan untuk itu pula mengapa selama bulan Ramadan umum kita dengar penjelasan bahwa pintu surga dibukakan sementara pintu neraka ditutup--bahkan, setan pun dibelenggu. Betapa tidak, tangan dan bujukan setan berupa hiruk-pikuk duniawi kita tinggalkan kemudian digantikan refleksi diri satu bulan penuh. Ibadah dan kebaikan kita lakukan layaknya mereka yang akan mati di keesokan harinya yang mana ini berujung ganjaran sorga. Lalu, bagaimana mungkin pintu-pintu neraka masih terbuka?Â
Saya harap tiga paragraf di atas cukup berhasil menggambarkan adanya korelasi semantik antara refleksi dan maghfirah.
Masih dalam bingkai refleksi. Kata Ramadan yang berasal dari kata Arab ramadha terdiri dari tiga huruf utama: ra-mim-dha. Untuk kesekian kalinya kita disadarkan bahwa ketiga huruf itu sendiri mengingatkan tahapan indah terselamatkannya kita melalui berkah Ramdan. Huruf ra menyiratkan kata rahmah (kasih sayang) sekaligus nama puluh pertama dari Ramadan. Huruf mim mengandung makna maghfirah (ampunan) yang juga merupakan nama puluh keduanya. Dan huruf ketiga, dhad. Bagian terakhir ini agak sedikit tricky. Saya sederhanakan dulu.  Huruf dhad mewakili keridhaan. Mengacu pada penyingkatan sebutan dalam hadits atau karya tulis misalnya, untuk shallallahu 'alaihi wasallam disingkat dengan huruf shad, untuk radhaiallu 'anhu dengan huruf dhad, maka saya menghipotesiskan dhad sebagai ridha (keridhaan). Ridha Allah merupakan puncak dari tujuan kita beribadah kepada-Nya. Representasi termudah dari keridhaan Allah digambarkan dalam simbol sorga. Sejak sorga adalah kebalikan dari neraka seperti halnya positif dan negatif, maka masuknya seorang hamba ke dalam sorga tidak lain dari terbebasnya dia dari neraka. Dalam perspektif ini, dhad merepresentasikan itqun minan-nar yang adalah nama puluhan ketiga Ramadan.Â