Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Tentang Kopi dalam Intipan Literasi

17 Maret 2024   11:47 Diperbarui: 17 Maret 2024   12:13 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halaman muka kitab 'Umdatush Shfawah. https://gallica.bnf.fr/ark:/12148/btv1b10030553w/f4.item

  

"Surprise me!" begitu ungkap Anton Ego dalam Ratatouille (2007). Ya, sedikit kejutan adakalanya diperlukan untuk membuat hidup ini terasa menarik dan sensasional.

Itulah yang saya rasakan pagi ini. Setidaknya saat membaca beberapa literatur yang uniknya masih tentang kopi. Padahal, seperti dikatakan dalam tulisan sebelum ini, Kisah Secangkir Kopi dalam Dialektika yang Panas, saya adalah peminum kopi yang payah. 

Inti dari kejutan yang dirasakan adalah betapa kaum Muslimin pada periode awal begitu kuat tradisi literasinya. Pernyataan saya ini terkesan dogmatis--atau bahkan ortodoks--namun sulit untuk membantahnya, tradisi literasi yang luar biasa dalam dunia Islam (dulu) lahir dari dorongan Al-Qur'an dengan wahyu pertamanya yang revolusioner: Iqra (bacalah!).

Dalam sebuah pertemuan di sebuah kelas yang saya ampu, terdorong oleh ketakjuban akan betapa besar dampak yang ditimbulkan melalui wahyu pertama Qur'ani, Iqra, saya katakan bahwa firman Allah SWT yang diturunkan ke bumi melalui Rasul Terpilih-Nya adalah Big Bang-nya semesta kerohanian yang baru, yakni Islam. Sukar untuk dibayangkan, bagaimana sebuah suku bangsa yang umumnya buta huruf tiba-tiba dalam beberapa abad kemudian menjadi begitu literat. Salah satunya adalah tentang kopi.

Menulis sebuah kitab atau melakukan riset--terutama untuk masalah yang bersifat sekunder, bahkan tersier--menunjukkan tingkat literasi yang tinggi. Dan, pada sisi lainnya, menunjukkan tingkat kesejahteraan diri. Idealnya kedua faktor ini berdampingan secara imbang. Namun, kalau pun keduanya tidak berdampingan dengan imbang, maka faktor dorongan agama yang paling mungkin menjadi penyebabnya. Hal ini dapat kita temukan dalam berbagai agama dan keyakinan. Lembaga riset Baytul Hikmah pada masa kejayaan Daulah Abbasiyah lahir; istana megah Alhambra dengan ornamen kaligrafinya; atau bahkan candi Buddhis Borobudur merupakan sekian contoh dari lahirnya karya manusia yang luar biasa dalam perspektif ini. 

Kita kembali kepada kopi. Adalah 'Abd al-Qadir ibn Muhammad al-Jaziri al-Hanbali yang pertama menulis buku tentang kopi, 'Umdah al-Safwa fi Hill al-Qahwah. Al-Jaziri tinggal di Mesir pada abad kesepuluh Hijriah.  Abdullah Alrashdi dalam artikelnya 'Umdah al-Safwa fi Hill al-Qahwah, menulis:

"Buku karya Al-Jaziri ini dicetak sebagian pada tanggal awal, tepatnya pada tahun 1806 M, oleh orientalis Sylvester de Sacy (w. 1253 AH / 1838 M), dalam bukunya: Al-Anis Al-Mufid li al-Thalib al-Mustafid. 

Salinan de Sacy dicetak ulang di Bulaq Press pada tahun 1296 H/1879 M.

Buku ini juga dirangkum oleh Ibrahim al-Yazigi dan diterbitkan dalam jurnalnya al-Dhiya, Kairo, 1898-1899, hlm. 621-625, 649-654, 712-715.

Buku ini tidak muncul dalam penyelidikan baru sampai 1416 AH / 1996 M oleh Abdullah bin Muhammad Ali al-Habashi (Cultural Foundation Publications, Abu Dhabi), sekitar dua abad setelah publikasi pertama de Sacy."

All About Coffee

William H. Ukers, M.A. pada tahun 1922 menulis All About Coffee. Pada bagian pengantar buku tersebut, kita membaca:

"Karya paling otoritatif mengenai hal ini adalah The Early His tory of Coffee Houses in England karya Robinson, yang diterbitkan di London pada tahun 1893; dan Le Cafe karya Jardin, yang diterbitkan di Paris pada tahun 1895. Penulis ingin menyampaikan terima kasihnya atas inspirasi dan bimbingannya. Karya-karya lain, dalam bahasa Arab, Prancis, Inggris, Jerman, dan Italia, yang membahas fase-fase tertentu dari subjek tersebut, telah dikontribusikan; dan jika hal ini telah dilakukan, penghargaan diberikan melalui referensi catatan kaki. Namun, dalam semua kasus yang memungkinkan untuk melakukan hal tersebut, pernyataan fakta sejarah telah diverifikasi oleh penelitian independen. Tidak sedikit hal yang membutuhkan penelusuran selama berbulan-bulan untuk mengonfirmasi atau menyangkalnya.

Belum ada penelitian serius di Amerika mengenai kopi sejak buku Hewitt Coffee: Its His tory, Cultivation and Uses, diterbitkan pada tahun 1872; dan buku Thurber Coffee from Plantation to Cup, yang diterbitkan pada tahun 1881. Keduanya kini sudah tidak lagi dicetak, begitu juga dengan buku Walsh Coffee: Its History, Classification and Description, yang diterbitkan pada tahun 1893."

Secara sederhana kita mendapatkan sarjana Barat menulis tentang kopi kurang lebih 200 tahun setelah Al-Jaziri.

Bacaan semakin menarik saya membaca: "Minuman kopi mengalami kebangkitan pada periode klasik pengobatan Arab, dimulai dari Rhazes (Abu Bakr Muhammad ibn Zakariya al-Razi) yang mengikuti doktrin Galen dan berkiblat kepada Hippokrates. Al-Razi (850 - 922) adalah orang pertama yang membahas pengobatan secara ensiklopedik, dan menurut beberapa sumber, penulis pertama yang menyebutkan kopi."

Tingkat literasi kaum Muslimin pernah begitu tinggi. 

Sebuah kejutan menyengat saat membaca: "Wiji Kawih disebutkan dalam prasasti Kawi (Jawa) tahun 856 M; dan diperkirakan bahwa 'air kacang' dalam daftar minuman Jawa karya David Tapperi (1667-82) mungkin adalah kopi," tulis Ukers.  

Pikiran langsung roaming. Kata wiji dalam bahasa Jawa berarti biji. Dan, ini bagian yang paling menegangkannya, kata kawih. Secara spontan otak menawarkan informasi sembarang bahwa kawih adalah bentuk korupsi dari qahwah (kopi). Tapi bagaimana bisa kopi sudah ada di Nusantara pada abad ke-9 Masehi? Sementara informasi yang umum kita terima kopi baru dibawa ke Nusantara oleh Belanda pada abad ke-17.

Tulisan Silvano Hajid, Misteri Wiji Kawih, menambah spektrum interpretasi saya berkenaan dengan wiji kawih yang sebutkan Ukers. 

"Hampir mustahil pada masa itu kopi sudah masuk di Indonesia, karena catatan jurnal secarah para pengelana dan pedagang tidak menyebutkan kopi. Pamor kopi kala itu masih kalah dengan rempah. Prasasti tahun 856, menjerumuskan pencarian saya kepada Prasasti Shivagrha, yang saat ini berada di Museum Nasional. Prasasti itu asalah cerita tentang Candi Prambanan. Jika kita lihat lini masa kopi, Kaldi tak sengaja menemukannya kira-kira 200 tahun sebelumnya, dalam jangka waktu itu, kopi mulai dibudidayakan bangsa Arab. Pada masa yang bersamaan, saya agak skeptis, bagaimana bisa kopi yang dikatakan tanaman endemik masuk ke Indonesia?" ungkap Hajid.

Berkat bantuan seorang teman, tulis Hajid, akhirnya satu versi penjelasan ia dapatkan. "Wiji kawih tidak pernah ada dalam prasasti manapun yang pernah saya baca," ungkap sang teman, Ismail Lutfi, yang ahli di bidang sejarah.

Lutfi hanya mengetahui frasa wiji kawah, pada banyak prasasti, yang mana merupakan salah satu dari kelompok mangilala drawyahaji (petugas penghimpun hak raja). Ternyata, wiji kawah adalah sebuah profesi dan bukan nama minuman.

Boleh jadi masih akan ada kejutan seputar literasi kopi. Namun, tidak untuk hari ini. Adzan Zhuhur akan segera berkumandang. Setengah hari berpuasa akan segera terlewati. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun