Seringkali saya merasa malu, atau barangkali tepatnya rikuh, saat orang memanggil saya sebagai guru. Sebutan itu terlalu agung untuk saya pikul. Saya teramat tidak layak untuk menyandangnya. Namun, meski demikian profesi ini tetap saya jalani dengan sepenuh hati.
Bila ada yang mengirimi ucapan 'Selamat Hari Guru!', saya kemudian menjawabnya dengan mengutip kata-kata yang seringkali diatribusikan kepada Ki Hadjar Dewantara (KHD): "Selamat Hari Guru untuk kita semua sebagaimana Ki Hadjar sebutkan bahwa setiap orang adalah guru dan setiap tempat adalah sekolah!"
Pada saat yang sama, di SMA Plus Al-Wahid, sekolah tempat saya mengajar tengah mengadakan peringatan Hari Guru Nasional bersama unsur Yayasan sebagai pemangku kebijakan. Acara peringatan yang dimaknai sebagai momentum apresiasi, refleksi capaian dan keberlanjutan. Pendidikan adalah sebuah upaya untuk menumbuhkembangkan segala potensi yang ada pada peserta didik agar mampu menjalani kehidupannya dengan sebaik-baiknya. Dan di sinilah peran vital seorang guru.
Saat mengikuti prosesi peringatan Hari Guru Nasional pagi ini, benak saya terpaut pada kata ajar. Sebuah kata yang lekat dengan kiprah seorang guru. Apakah nama Hadjar yang disandang KHD adalah kata ajar itu sendiri? Begitu betikan pikir yang terlintas.
Saya tidak bisa segera melakukan eksplorasi literasi mengingat posisi saya dalam kegiatan pagi ini sebagai pembawa acara. Dan untuk mencegah lupa saya buatkan note pada lembar susunan acara.
"Pada 3 Februari 1928 Suwardi Suryaningrat genap berusia 40 tahun menurut tarikh Jawa (5 windu) dan berganti nama Ki Hadjar Dewantara. Menurut Ki Utomo Darmadi, Hadjar: pendidik; Dewan: Utusan; tara: tak tertandingi."
Begitu informasi yang terdapat dalam buku Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran dan Perjuangannya terbitkan Museum Kebangkitan Nasional tahun 2017. Pembaca dengan mudah dapat mengunduh buku ini di internet.
Rupanya lamunan benak saat membawa acara sebelumnya tidaklah terlalu keliru. Nama Hadjar (EYD, Hajar) memang merujuk kepada kata 'ajar'. Hanya saja satu hal baru yang kemudian saya dapatkan.Â
Menurut kamus Oxford, kata ajar berasal dari kata Sanskerta crya yang berarti pengajar atau guru. Ajar adalah kata benda pelaku, dan bukan kata kerja sebagaimana yang kita jumpai penggunaanya sehari-hari dalam bahasa Indonesia. Sementara kata didik yang menjadi akar kata pendidik dan pendidik, menurut Wiktionary, nampaknya merupakan kata asli dari Nusantara.
Dari keseluruhan rangkaian peringatan, rasa haru menyeruak saat beberapa siswa Al-Wahid menyampaikan persembahan lagu-lagu. Hymne Guru nyaris membuat air mata menetes. Saya tidak pernah merasa layak untuk mendapatkan persembahan tersebut. Rasa haru atas persembahan tersebut saya persembahkan untuk guru-guru saya yang tak terbilang jumlahnya.