Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Hujan di Bulan Juni

8 Juni 2023   13:00 Diperbarui: 8 Juni 2023   15:03 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selasa, pekan kedua Juni ini, hujan membasahi bumi Wanasigra---sebuah kampung di desa Tenjowaringin yang berada tepat di perbatasan Tasikmalaya-Garut. Suhu di pagi hari pun turun drastis. Lebih dingin dari biasanya. 

Menurut beberapa sumber, Wanasigra berarti hutan yang sigrong (besar atau agung dalam bahasa Sunda). Sebuah sebutan yang bersifat propethic (uga) bahwa kampung ini akan bertumbuh dengan semarak. Berdirinya SMA Al-Wahid di kampung Wanasigra pada tahun 2000 merupakan salah satu dari semarak yang diugakan tadi.

Hujan yang turun nyaris selama tiga hari, meskipun tidak sederas hujan bulan Desember, selain membuat Wanasigra lebih dingin juga menghilangkan panorama indah penampakan gunung Cikuray yang menjulang tinggi di arah Baratnya. Sudut pandang membarat ke arah gunung Cikuray dari kampung ini diabadikan menjadi nama satu tempat di gerbang kampung, Cikuray. Panorama inilah yang hilang. Setidaknya dalam tiga hari terakhir. 

Ada suasana sendu setiap hujan turun. Puisi karya Sapardi Djoko Damono, Hujan di Bulan Juni langsung terngiang kembali dalam ingatan.

"Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu."

Sapardi Djoko Damono, tulis Lutfy Mairizal Putra dalam Merenungi Hujan di Bulan Juni, mungkin tak pernah mengira salah satu puisinya akan menjadi nyata. Suatu hari pada 1989, akademisi cum sastrawan itu menulis puisi sendu berjudul Hujan Bulan Juni. Sapardi menggunakan metafora "hujan bulan Juni" untuk menggambarkan cinta yang tak sampai, persembahan, pengorbanan, dan penantian dalam diam menghayati rindu yang malu-malu.

Sembari menantikan anak-anak didik yang sedang berkutat dengan soal Penilaian Sumatif Akhir Tahun (PSAT), saya mencoba untuk menuangkan apa dalam benak berkenaan dengan bulan yang turun bukan pada musimnya. "Jika dibandingkan terhadap normal (periode 1991-2020), Awal Musim Kemarau 2023 di sebagian besar daerah yaitu 289 ZOM (41,34%) diprakirakan maju, sedangkan wilayah lainnya diprakirakan sama terhadap normal yaitu sebanyak 200 ZOM (28,61%) dan mundur terhadap normal yaitu sebanyak 95 ZOM (13,59%)," papar Kukuh Prasetyaningtyas dari BMKG.

Puncak Musim Kemarau 2023, menurut Kukuh Prasetyaningtyas, di sebagian besar wilayah diprakirakan terjadi pada bulan Juli dan Agustus 2023 sebanyak 507 ZOM (72,53%). Jika dibandingkan terhadap normal, Puncak Musim Kemarau 2023 di sebagian besar daerah yaitu 402 ZOM (57,51%) diprakirakan sama, sedangkan wilayah lainnya diprakirakan maju terhadap normal yaitu sebanyak 185 ZOM (26,47%) dan mundur terhadap normal yaitu sebanyak 112 ZOM (16,02%). Jadi seharusnya Juni ini tak berhujan bila merujuk kepada penjelasan Kukuh.

Namun, hujan pun turun. Ia mengajarkan ketabahan, kebijakan dan kearifan bila mengutip kata-kata Sapardi dalam puisinya. Betapa tidak. Juni nampaknya termasuk bulan yang banyak mengingatkan kita untuk berbaik-baik dengan Bumi, rumah besar kita sebagai ras manusia. "Tatkala Juni membawa peringatan tentang kondisi 'rumah' kita, Juni juga menjadi hari bulan yang cukup spesial dibandingkan bulan lainnya. Di bulan ke-6 ini, ada beberapa hari besar yang layak untuk diperingati, yaitu Hari Lahir Pancasila pada 1 Juni, Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada 5 Juni, Hari Laut Sedunia pada 8 Juni, dan Hari Segitiga Terumbu Karang pada 9 Juni.

Memutar jam waktu 50 tahun ke belakang, pada 5 Juni 1972, para pemimpin dunia memutuskan duduk bersama dan berdiskusi perihal bagaimana menyadarkan masyarakat untuk menaruh perhatian kepada lingkungan. Untuk memperingati hari bersejarah tersebut, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa memutuskan menggunakan kembali tema yang sama setelah 50 tahun pertemuan itu berlangsung, 'Only One Earth'," ungkap Lutfy.

Saya pernah menulis tentang Hujan sebelum ini. Hanya bedanya tanpa puisi Sapardi karena saat itu tidak jatuh pada bulan Juni, melainkan Agustus. Untuk merayakan hujan, saya putar kembali musikalisasi puisi Hujan Bulan Juni oleh duo Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Saya tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan oleh Sapardi saat mendengarkan puisinya diaransemen menjadi sebuah lagu yang tidak kalah indah dari puisinya.    

Hari pun mendung kembali setelah sesaat panas menyapa bumi kampung di mana Al-Wahid berada. Udara yang sempat menghangat kembali mendingin. 

Selamat datang Hujan Bulan Juni!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun