Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abu Nuwas: Pelucu dan Pemikir

22 Mei 2023   12:02 Diperbarui: 23 Mei 2023   05:20 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://islamdigest.republika.co.id/

Beberapa hari lalu, saat mengakhiri tulisan kedua tentang Abu Nuwas: Jenius Sekaligus Jenaka, karena ada kegiatan yang tidak bisa diinterupsi oleh kegiatan lain, maka saya sampaikan bahwa boleh jadi beberapa kisah jenaka lainnya akan disusulkan. Tulisan ketiga tentang Abu Nawas ini dimaksudkan untuk itu.

Berikut adalah kelucuan sekaligus keterampilan berpikir Abu Nawas.

Susu yang Memerah Karena Malu

Diriwayatkan bahwa Amirul Mu'minin, Harun al-Rasyid, suatu hari sedang jalan-jalan di kota Bagdad. Saat dia menelusuri beberapa jalanan disertai beberapa menteri, petinggi berikut rombongan, terlihat Abu Nawas di antara pejalan kaki membawa sebotol besar anggur. Lalu, Harun al-Rasyid menghentikannya dan berkata kepadanya: "Apa ini yang ada di tanganmu, Abu Nawas?"

"Ini susu, wahai Amirul Mu'minin," jawabnya dengan tenang.

 "Sungguh mengherankan kamu ini, Abu Nawas. Susu itu berwarna putih. Sementara ini merah," timpal Khalifah sembari mengamati botol itu dengan cermat. 

Abu Nawas, sambil turut melihat-lihat botol yang dipegangnya, berkata: "Benar, wahai Amirul Mu'minin, apa yang Paduka katakan. Susu ini nampaknya begitu malu ketika dia melihat Paduka, ia tersipu hingga memerah karena Paduka."

 Harun al-Rashid tertawa sambil berkata: "Semoga Allah membalas kamu, wahai Abu Nawas! Kamu adalah orang yang paling banyak akal dari semua yang pernah aku lihat."

Kemudian Amirul Mu'minin pun beranjak meninggalkannya dan berlalu.

Sebuah kecerdikan yang memukau. Khamr  atau minuman keras merupakan hal yang terlarang dan bisa berujung pada hukuman waktu itu. Abu Nawas, terlepas dari apakah ia sempat terlibat dalam keburukan khamr ataupun tidak, memanggungkan sebuah satir akan kebiasaan buruk mabuk-mabukan dengan menjadikan dirinya sebagai aktor utamanya. Pada sisi lainnya, kecerdikan dia saat melepaskan diri dari jeratan hukum saat terciduk membawa sebotol khamr oleh sang Khalifah juga tidak kalah kerennya. Bukan hanya licin tetapi juga sempat menyisipkan unsur jenaka. Hanya orang jenius yang bisa melakukan itu. (Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi, hal. 35)

Trik Kotor

Suatu waktu, Khalifah Harun al-Rasyid berada di ruang istananya dan duduk di atas tahta kerajaannya. Di sebelah kanan dan kirinya berjejer para menteri dan para pemuka kerajaan dan para penasihatnya. Protokol istana mengumumkan kehadiran Abu Nawas di balik pintu. 

Khalifah berkata: "Biarkan dia menunggu beberapa saat!"

"Ini adalah kesempatan yang bagus," ujar Khalifah dari singgasanana, "Kita akan mentertawakan Abu Nawas atas kekalahannya. Aku perintahkan kalian untuk menyembunyikan sebutir telur dalam lipatan pakaian kalian. Tidak boleh ada yang berkata sepatah kata apapun saat dia masuk. Siapa pun yang berbicara, maka aku akan hukum."

"Daulat, Paduka Amirul Mu'minin!" jawab mereka.

Khalifah memerintahkan untuk dibawakan enam butir telur sedemikian rupa sehingga Abu Nawas tidak boleh melihatnya sama sekali. Maka, si pesuruh tadi mengambil telur dan  memberikan sebutir telur kepada setiap orang yang duduk, yang kemudian mereka sembunyikan di antara lipatan pakaiannya. Lalu mereka pun kembali duduk sambil mengobrol.

Abu Nawas kemudian masuk, memberi hormat kepada Amirul Mu'minin, Harun Al-Rashid. Tiba-tiba Khalifah memarahi salah satu yang hadir di sana dengan kemarahan yang luar biasa. "Kalian ini semua adalah pengecut, seperti ayam. Dan bila saya menemukan perbedaan kalian dengan ayam. Bila kalian tidak bertelur, maka aku akan memenggal leher kalian," ujar Khalifah dengan murka.

"Ini telur hamba, wahai Amirul Mu'minin," ucap orang yang pertama sambil gemetaran. Orang kedua mengikutinya. Demikian pula orang ketiga dan seterusnya sampai orang yang keenam. 

Khalifah berkata kepada mereka yang mempersembahkan telurnya: "Kalian telah selamat. Kini giliran Abu Nawas."

Abu Nawas berdiri dan berjalan di tengah-tengah barisan orang-orang tadi dan menghadap kepada Khalifah, lalu tiba-tiba ia berseru: "Kak...Kak...Kak..." Persis seperti yang ayam jantan lakukan di antara anak-anak ayam, lalu mengepak-ngepakkan ketiaknya sambil berteriak keras: "Kokokokoook!"

Melihat itu semua, Khalifah bertanya kepadanya, "Apa yang engkau lakukan ini, Abu Nawas?"

Abu Nawas berkata, "Wahai Amirul Mu'minin, pernahkah Paduka melihat ayam betina bertelur tanpa pejantan Ini? Mereka adalah ayam-ayam betina Panduka. Hambalah pejantan mereka."

Demi mendengar ini, Khalifah pun tergelak hingga nyaris terjatuh dari singgasananya dan berkata kepadanya: "Demi Allah, sungguh banyak akal sekali engkau ini, ya Abu Nawas. Jika saja engkau tidak melakukan itu, maka sudah aku penggal kepalamu."

Kemudian Harun al-Rasyid memerintahkan punggawanya untuk memberikan hadiah kepada Abu Nawas atas kecerdikannya yang luar biasa. (Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi, hal. 37-38)

Kembali, Abu Nawas memperlihatkan kecerdikannya menggabungkan ketajaman berpikir dan kemampuannya mengeluarkan kejenakaan dalam celah yang teramat sempit.

Buang Air Besar atau Kecil?

Dikisahkan, Khalifah Harun al-Rasyid begitu murka sama Abu Nawas. Sementara alasannya sendiri tidaklah disebutkan mengapa. 

Kali ini, Khalifah ingin menghukum sekaligus membuatnya menjadi bahan tertawaan. Untuk itu, ia memerintahkan punggawanya untuk (maaf) membuang air besar di atas tempat tidur Abu Nawas sehingga ia menjadi terhina. Maka para punggawa pun taat sepenuhnya kepada titah sang Khalifah.

Ketika mereka sampaika ke rumah Abu Nawas, istrinya mengatakan bahwa Abu Nawas tengah tidur.

"Bangunkan dia, dan katakan bahwa kami datang dengan membawa perintah dari paduka yang mulia," perintah mereka kepada istri Abu Nawas.

Maka istrinya membangunkan Abu Nawas. Setelah mengetahui perintah tersebut, Abu Nawas berkata: "Suruh mereka masuk!"

Ketika mereka masuk, Abu Nawas bertanya: "Baiklah. Apa yang Amirul Mu'minin perintahkan kepada kalian?"

Mereka menjawab: "Kami diperintahkan untuk mengotori tempat tidurmu dengan kotoran kami."

Berkata Abu Nawas dengan tenang: "Apakah Amirul Mu'minin memerintahkan kalian untuk membuang air kecil atau hanya air besar?"

"Tidak, hanya buang air besar," jawab mereka.

"Baik, silakan kerjakan apa yang diperintahkan Amirul Mu'minin kepada kalian," jawab Abu Nawas, "Hanya saja dengan satu syarat."

Mereka menjawab: "Lalu, apa syaratnya?"

Maka Abu Nawas berkata: "Aku akan jelaskan syarat tersebut."

Sambil memegang tongkat besar lagi panjang, Abu Nawas memandangi mereka lalu berkata: "Silakan buang air besar saja! Barang siapa buang air kecil di atas kasurku dan itu menyalahi perintah Amirul Mu'minin, maka aku akan memukul (maaf) kemaluannya dengan tongkat ini."

Bingunglah mereka. Mereka tersadar bahwa mustahil bagi mereka buang air besar tanpa buang air kecil.

Maka kembalilah mereka kepada Amirul Mu'minin, Harun al-Rasyid dan melaporkan apa yang dikatakan Abu Nawas. Meledaklah tawanya atas perkara ini lalu berkata: "Si banyak akal itu berhasil kembali!"

Sekali lagi, Abu Nawas bukan hanya lolos dari jebakan tetapi juga mendapatkan hadiah dari sang Khalifah. (Salim Syamsuddin, Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dha Qashaidihi, hal. 44-45)

Sangat tidak mudah membayangkan diri kita bila berada dalam posisi seperti Abu Nawas. Hanya Nasruddin Hoja yang bisa menandingi kecemerlangan sekaligus kenakalan Abu Nawas. Betapa tidak, untuk Nasruddin ini bahkan kelucuannya bisa terlihat dari nama belakangnya, Hoja yang seringkali disebut Joha. 

Saya tidak akan berjanji menulis tentang Nasruddin Hoja ah hehehe

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun