Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Abu Nuwas: Sufi Nyentrik dan Kontroversial

18 Mei 2023   10:44 Diperbarui: 20 Mei 2023   13:05 1898
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lukisan Abu Nuwas oleh Kahlil Gibran/Dok FunkMonk/id.wikipedia.org

Adalah Abu Nuwas, atau di Indonesia disebut dengan Abu Nawas, pujangga berdarah Arab-Persia yang super nyentrik ini.   

Abu Ali Al-Hassan bin Hani bin Abd al-Awwal bin Sabah al-Hakami, atau Abu Nawas (146 H-198 H/763 M-813 M), menurut Aldiwan Net, lahir di Al-Ahwaz (provinsi Khuzestan) dan dibesarkan di Basrah, dan dia melakukan perjalanan ke Baghdad, di mana dia menghubungi khalifah dari Abbasiyah, memuji beberapa dari mereka, dan pergi ke Damaskus, dan dari sana ke Mesir, jadi dia memuji pangerannya yang subur, dan kembali ke Bagdad, di mana dia tinggal sampai dia meninggal di sana. Kakeknya adalah seorang budak Al-Jarrah bin Abdullah Al-Hakami, Emir Khorasan, dan dia dikaitkan dengannya. Dan dalam riwayat Ibnu Asakir, bahwa ayahnya adalah dari orang Damaskus, dari tentara, dari laki-laki Marwan bin Muhammad, dia pindah ke Al-Ahwaz, maka dia menikahi seorang wanita dari keluarganya bernama Jilban (Jullaban), dan dia memberinya dua putra, salah satunya adalah Abu Nawas.

"Al-Jahiz berkata: 'Saya belum pernah melihat orang yang lebih berpengetahuan bahasa dan lebih fasih dialeknya daripada Abu Nawas.' Abu Ubaidah berkata: 'Abu Nawas bagi para pujangga modern seperti halnya Imru' al-Qays bagi para pujangga pra-Islam.' Al-Nazzam membaca puisi untuknya, lalu berkata: 'Ini adalah seibarat kumpul perkataan, dan dia memilih yang terbaik dari antaranya.' Kultsum Al-Atabi berkata: 'Jika Abu Nawas hidup pada era pra-Islam, tidak akan ada yang mengunggulinya.' Dan Imam Al-Syafi'i berkata: 'Jika bukan karena ketidaksenonohan Abu Nawas, saya akan mengambil ilmu darinya.' Abu Nawas meriwayatkan atas otoritasnya sendiri bahwa dia berkata: 'Saya tidak mengatakan puisi sampai saya mengkonsultasikan kepada enam puluh wanita Arab. Apa pendapatmu tentang pria? Dia adalah orang pertama yang mendekati puisi dalam gaya urbannya, dan mengekstraknya dari dialek Badui. Dia telah mengarang dalam berbagai jenis puisi, dan puisi-puisi khamriyyat-nya merupakan salah satu yang terbaik dari karyanya.  Dia memiliki Diwan (Kitab Puisi) dan buku lainnya yang disebut Al-Fikahah wal-I'tins fi Majn Abi Nawas," lansir Aldiwan Net.

Apa yang disampaikan dalam tulisan singkat oleh redaktur Aldiwan Net dapat kita temukan dalam buku Abu Nuwas fi Nawadirihi wa Ba'dhi Qashaidihi yang ditulis Salim Syamsuddin pada tahun 2010.  

Asal-Usul Julukan Abu Nawas

Faruq Mawasi di laman Diwan Al-Arab mengutip dari buku Khazanatul 'Arab juz II, hal. 290 bahwa Nuwas berasal dari kata naws  yang berarti getaran suatu objek dan intensitas pergerakannya. Dzu Naws disebut demikian karena dua ikatan rambut yang digerainya terjuntai di bahunya. Sebuah gaya rambut orang Yahudi dari keturunan raja-raja, dan seperti yang dikatakan, dia adalah pemilik Parit.

Versi lainnya, menurut Mawasi, Abu Ali Al-Hasan bin Hani berada di pihak Khalaf Al-Ahmar yang memiliki loyalitas terhadap Yaman. Ini menjadi salah satu alasan orang-orang memanggilnya Abu Nuwas. Khalaf berkata kepadanya:

"'Engkau berasal dari keturunan bangsawan Yaman, maka gunakanlah nama-nama dengan awalan Dzu (mereka adalah raja-raja yang nama-nama mereka diawali dengan Dzu)!' Kemudian dia menyebutkan nama-nama mereka, lalu berkata: 'Dzu Jadn, Dzu Yazan, Dzu Kalal, dan Dzu Nuwas.' Al-Hasan memilih Dzu Nuwas dari antara mereka, dan menggunakan itu sebagai gelarnya, sehingga gelar ini lebih populer daripada gelar sebelumnya (yang adalah Abu Ali)." (Al-'Abbasi: Mu'ahadat al-Tanassus 'ala Syawahid al-Talakhis, jilid 1, hal. 29)

Sementara dalam versi Abu Nuwas sendiri,  Mawasi menukil pernyataan Muhammad bin Yahya Al-Muqri' bahwa: "Aku bertanya kepada Abu Nuwas tentang julukannya, apa artinya, dan apakah itu Nawas dengan fathah pada nun atau Nuwas dengan dhammah? Ia menjawab: 'Nuwas dengan nun dhammah. Adapun sebab dari julukan saya adalah bahwa seorang laki-laki dari tetangga saya di Basrah mengundang saudara-saudaranya, dan salah satu dari mereka datang terlambat. Dia keluar dari pintu rumahnya mencari seseorang untuk mengantarnya, karena merasa tidak sabar. Dia menemukan saya sedang bermain dengan anak laki-laki tersebut. Saya memang memiliki kucir di tengah-tengah kepala saya. Ia berteriak kepada saya, 'Ayo, Hasan, pergilah ke si fulan dan bawa dia kepadaku!' Maka, saya pun berlari dengan kucir saya yang berayun. Dan pada saat saya kembali bersama si fulan tadi, tetangga saya berkata: 'Bagus sekali, ya Abu Nuwas.'" (Al-Mudzakarah fi Alqabisy Syu'ara, Juz 1 hal. 4)

Beberapa sumber, menurut Mawasi, telah menulis Nuwas sebagai Nu'as dengan huruf hamzah di atas waw. "Saya (Mawasi) cenderung berpikir bahwa itu awalnya adalah kesalahan cetak, kemudian menjadi terkenal, dan saya tidak melihat hubungannya dengan mempermudah pengucapan hamzah atau mengkonversi alif maqsurah menjadi hamzah. Adapun mereka yang tetap bersikeras mentasydidkan huruf waw-nya, saya harap mereka membaca apa yang dikatakan penyair kepada Khalifah Al-Amin setelah dia dipenjarakan. Dia menyebutkan gelarnya dalam puisinya, dan dengan kata-kata yang benar:

Demikianlah demi kehidupanmu, tidak ada yang lebih berharga
Daripada kekhawatiranmu terhadap orang seperti dia.
Siapakah yang bisa menjadi Abu Nuwasmu,
Jika aku membunuh Abu Nuwasmu?
"

Kontroversial tentang Abu Nawas

Sebagaimana disebutkan di awal, Abu Nawas dikenal baik akan kepiawaian dalam bersastranya. Kitab Diwan adaah salah satu buktinya. Muhammad Dedad Bisaraguna Akastangga  dalam artikelnya Abu Nawas dan Kitab Diwan Abu Nawas menulis:

"Kitab Diwan Abu Nawas yang dikaji di sini didasarkan pada kumpulan-kumpulan puisi yang diedit oleh Salim Syamsuddin, diterbitkan Maktabah al- Ashriyyahdi Baerut tanpa penyebutan tahun terbit. Kitab ini menghimpun puisi-puisi Abu Nawas yang termasyhur dan mewakili pandangan-pandangannya tentang berbagai soal. Kitab Diwan Abu Nawas ini terdiri dari delapan tema puisi: Khamriyyat terdiri dari 299 judul; Ghazal (elegi) terdiri dari 367 judul; Madah (pujian) terdiri dari 100 judul; Haja’ (ejekan) terdiri dari 113 judul; Ratha’ (ratapan) terdiri dari 22 judul; I’tab (teguran) terdiri dari 30 judul; Zuhd terdiri dari 30 judul; dan Tard (perburuan) terdiri dari 54 judul."

Abu Nuwas dikenal dekat dengan para khalifah dari dinasti Abbasiyah. Namun, meski demikian, menurut M. Faisol Fatawi dalam Abu Nawas: Tuhan Tak Pernah Mengatakan “Celakalah Orang-orang yang Mabuk”, Abu Nawas memiliki sikap kritis. Ia bahkan tidak segan-segan mengritik penguasa. Melalui syair-syair khamernya (tentang arak), Abu Nawas telah menyoroti penguasa dan gaya hidup mereka.

"Di tangannya, khamer yang merupakan minuman yang sudah dikenal masyarakat Arab jauh sebelum Islam datang, diubah dan diolah menjadi untaian syair yang mampu menyedot perhatian penguasa. Khamer tidak saja sebagai minuman biasa, tetapi dijadikan senjata untuk menyerang perilaku penguasa pada saat yang cenderung hedonis dan merugikan rakyat," ungkap Fatawi sambil memberikan satu contoh salah satu syair khamer Abu Nawas berikut ini:

Jauhkan masjid untuk hamba-hamba, yang engkau diami
Mari dengan kami mengelilingi para peminum khamer, untuk minum bersama-sama
Tuhan-mu tidak mengatakan 'celakalah bagi orang-orang yang mabuk'
Tetapi, Tuhan berfirman: 'celakalah orang-orang yang shalat diantara kita'

"Melalui syair itu, secara jelas Abu Nawas mengkritik perilaku orang-orang yang secara agama taat. Tetapi perilaku mereka tidak mencerminkan nilai-nilai dan ajaran agama Islam. Inilah cara cerdas Abu Nawas 'membalik' logika keagamaan dengan menarasikan khamer yang diharamkan dalam agama," tandasnya. 

Sikap dan pernyataan Abu Nawas ini kemudian menuai kontroversi. Ia pun dicap zindiq, sebagai seseorang yang tidak berpegang teguh kepada agama. Hanya saja, menurut tim redaksi Kisah Muslim Siapakah Sebenarnya Abu Nuwas (Abu Nawas)? tidak kurang dari Imam Al-Hafizh Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah (14:73), ketika menyimpulkan tentang kehidupan Abu Nuwas beliau berkata, “Kesimpulannya, para ulama banyak sekali menceritakan peristiwa kehidupannya, juga tentang syair-syairnya yang mungkar, penyelewengannya, kisahnya yang berhubungan dengan masalah khamr, kekejian, suka dengan anak-anak kecil yang ganteng serta kaum wanita sangat banyak dan keji, bahkan sebagian orang menuduhnya sebagai pezina. Di antara mereka juga ada yang menuduhnya sebagai seorang yang zindiq. Di antara mereka ada yang berkata: ‘Dia merusak dirinya sendiri.’ Hanya saja, yang tepat bahwa dia hanyalah melakukan berbagai tuduhan yang pertama saja, adapun tuduhan sebgian orang yang zindiq, maka itu sangat jauh dari kenyataan hidupnya, meskipun dia memang banyak melakukan kemaksiatan dan kekejian.”

Begitu banyak versi sejarah dan tulisan seputar sosok nyentrik dan kontroversial ini. Begitu banyak kisah ataupun tulisan yang dinisbahkan atau diatribusikan kepadanya.  William Harold Ingrams, sebagaimana dikutip encyclopedia.com dalam Abu Nawas dalam Kehidupan dan Legenda (1933), membagi pembahasan biografinya menjadi tiga bagian: aktual, apokrif, dan mitos. Selain adanya versi yang non-kanonik atau versi tidak baku dari kisah Abu Nawas, bahkan menurut Ingrams tidak sedikit yang jelas-jelas masuk kategori mitos. Untuk itu, kita tidak harus terlalu terganggu dengan detail tahun kelahiran dan kewafatannya, misalnya.

Eksentrisitas Abu Nawas barangkali terletak pada gaya pendekatan via negativa atau teologi apofatisnya. Beberapa orang menggapnya sebagai sufi sekaligus wali. Kata-kata dari encyclopedia.com menarik untuk dicermati:

"When reading Abu Nuwas's poetry, one must recognize that the majority of Arab poets—far more than Western poets—are more interested in clever formulations of their poems than in the actual content of their ideas. Thus exaggeration is to be expected.

Ketika membaca puisi Abu Nawas, kita harus mengakui bahwa mayoritas penyair Arab—jauh lebih banyak daripada penyair Barat—lebih tertarik pada formulasi cerdik dari puisi mereka daripada isi sebenarnya dari gagasan mereka. Dengan demikian ungkapan yang berlebihan harus diantisipasi. Hal ini dengan tepat diekstrak berupa simpulan di awal tulisan: "Abu Nawas (756-813) adalah penyair Arab paling terkenal di era Abbasiyah. Gayanya luar biasa, dan komposisinya mencerminkan dengan baik perilaku tidak bermoral dari kelas atas pada zamannya."

Pertaubatan Sang Sufi Eksentrik

Ibnu Khalikan dalam Wafyatul-A’yan 2:102, saya kembali kutip dari Kisah Muslim, menceritakan dari Muhammad bin Nafi berkata, “Abu Nuwas adalah temanku, namun terjadi sesuatu yang menyebabkan antara aku dengan dia tidak saling berhubungan sampai aku mendengar berita kematiannya. Pada suatu malam aku bermimpi bertemu dengannya, kukatakan, ‘Wahai Abu Nuwas, apa balasan Allah terhadapmu?’ Dia menjawab, ‘Allah mengampuni dosaku karena beberapa bait syair yang kutulis saat aku sakit sebelum wafat, syair itu berada di bawah bantalku.’ Maka saya pun mendatangi keluarganya dan menanyakan bantal tidurnya dan akhirnya kutemukan secarik kertas yang bertuliskan: … (lalu beliau menyebutkan bait syair di bawah ini).”

 

https://id.pinterest.com/pin/308567011951258724/
https://id.pinterest.com/pin/308567011951258724/

Ya Tuhanku, jika dosa-dosaku bertambah banyak, maka aku tahu bahwa ampunan-Mu lebih besar
Jika hanya orang baik yang layak berharap kepada Engkau, maka kepada siapakah pendosa ini akan bersandar?
Aku menyeru-Mu Tuhanku, seperti yang Engkau perintahkan, dengan penuh hormat, Dan jika Engkau memalingkan tanganku, maka siapa lagi yang akan mengampuni?
Aku tidak mempunyai jalan kepada-Mu kecuali harapan dan indahnya pengampunan-Mu, kemudian setelah ini aku berserah diri.

Pertobatan lainnya dari Abu Nuwas, dan ini lebih populer lagi, terungkap dalam syair yang berjudul Al-I'tiraf (Pengakuan) berikut:

www.elfaranby.com
www.elfaranby.com

Saya mencoba menerjemahkannya agak sedikit puitis seperti di bawah ini:

"Ya Allah, hamba memang tidak layak akan Firdaus-Mu
Namun, hamba tak'kan mampu menanggung Jahim-Mu

Maka anugerahkanlah ampunan atas dosa-dosa hamba
Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun dosa

Dosa-dosa hamba layaknya lautan pasir dalam hamparan
Maka,duhai Pemilik Kegagahan, berilah hamba ampunan 

Pada saat umur hamba semakin berkurang untuk setiap harinya
Dosa hamba kian bertambah, bagaimana hamba menanggungnya?

Ya Allah, hamba pendosa-Mu ini datang menghadap-Mu
Tertunduk malu atas dosa-dosa, mohon ampun kepada-Mu

Maka jika Engkau mengampuni, Engkaulah yang Mahaberhak
Lalu, kepada siapa lagi hamba berharap jika Engkau menolak?"

Abu Nawas, terlepas kontroversialnya, telah banyak meninggalkan pelajaran bagi kita. Seperti halnya satiris Yunani, Diogenes dari Sinope yang menjadikan dirinya contoh buruk atas ketidaksenonohan untuk menyadarkan warga kota dari kepalsuan yang berbalut kealiman dan kewibawaan semu, Abu Nawas pun demikian adanya. Akan tetapi satu hal yang secara menonjol berbeda, tokoh kita ini jauh lebih banyak membuat kita tertawa – meskipun tentu saja sebuah tawa yang berujung hikmah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun