Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Diary

Tiga Hari Pertama Pasca-Ramadan

24 April 2023   09:13 Diperbarui: 24 April 2023   09:20 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.hachettebookgroup.com/

Hari ketiga Syawwal, atau tiga hari sejak berlalunya Ramadan, dimulai dengan pagi yang cerah.

Sepasang burung dari suku Estrildidae bertengger di atas dahan Sauropus androgynus (katuk). Hinggapannya membuat bulir embun berjatuhan. Sejenak saya amati tanaman obat dan beberapa tanaman sayuran yang ditanam ibu mertua di halaman rumah. Ternyata beberapa pasang burung lainnya turut menikmati hangat sinar matahari Senin pagi ini. Sementara, rimbunnya Physalis angulata, dalam bahasa Sunda cecen(d)et, menjadi lokasi rendezvous favorit burung keluarga pipit ini. 

Hari ketiga Syawwal adalah hari terakhir dalam trilogi tiga hari pertama pasca-Ramadan yang di dalamnya kita bertakbir secara khusus. Selepas sembahyang berjamaah di masjid, imam masjid kami selalu mengajak makmumnya bersama-sama membaca takbir. Walitukabbirullaha 'ala maa hadaakum, dan agar kalian mengagungkan Allah atas apa-apa yang diberikan petunjuk-Nya atas kalian, begitu perintah Al-Qur'annya. Petunjuk teragung itu sendiri adalah Al-Qur'an yang diturunkan Allah pada bulan Ramadan sebagaimana bagian depan ayat ke-185 tersebut: Syahru Ramadanalladzi unzila fihil-Qur`anu hudal lin-nasi wa bayyinatim minal-huda wal-furqan (bulan Ramadhan adalah bulan yang di dalamnya diturunkan Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk dan pembeda itu).

Ada perasaan sedih saat bertakbir. Terlebih pada hari ketiga ini. Betapa tidak, Ramadan telah berjarak tiga hari dari pertamuan tahunannya dengan kita.

Sebuah hiburan trivial alias remeh muncul saat melihat kalender. Ada tiga peringatan yang berderet urut mulai tanggal 21, 22 dan 23 April: Hari Kartini, Hari Bumi Sedunia dan Hari Buku Sedunia. Dalam konteks Hari Buku Sedunia, saya teringat sebuah judul buku yang begitu lekat dalam benak. The First Three Minutes. Terasa sangat relate saja dengan momentum tiga hari pertama selepas Ramadan tahun ini.

https://www.hachettebookgroup.com/
https://www.hachettebookgroup.com/

Tiga Menit Pertama

Steven Weinberg meraih Nobel bersama dua fisikawan lainnya, Abdus Salam dan Sheldon Glashow pada tahun 1979. Ia menulis sebuah buku dengan judul The First Three Minutes : A Modern View of the Origin of the Universe (Tiga Menit Pertama: Sebuah Pandangan Modern tentang Asal-Usul Semesta) pada tahun 1977.

Merupakan hal yang luar biasa untuk dapat mengatakan seperti apa alam semesta pada akhir detik pertama atau yang pertama menit atau tahun pertama. Bagi seorang fisikawan, hal yang menggembirakan hal adalah dapat mengerjakan sesuatu secara numerik, dapat untuk mengatakan bahwa pada saat ini dan itu suhu dan kepadatan dan komposisi kimia alam semesta memiliki suhu dan dan nilai-nilai seperti itu. Benar, kita tidak benar-benar yakin tentang semua ini, tetapi sangat menarik bahwa kita sekarang dapat berbicara tentang hal-hal seperti itu dengan penuh keyakinan. Kegembiraan inilah yang ingin saya sampaikan kepada pembaca, tulis Weinberg dalam kata Pengantarnya.

Sungguh bahagia mereka yang berbahagia dengan pengetahuannya. Mereka yang tidak mengalami 'kutukan' pengetahuan. 

"Kita tidak bisa hanya tersenyum pada Edda, dan menolak semua spekulasi kosmogoni---dorongan untuk menelusuri sejarah alam semesta kembali ke permulaannya yang tak tertahankan. Dari awal ilmu pengetahuan modern pada abad keenam belas dan ketujuh belas abad, fisikawan dan astronom telah kembali lagi dan lagi kembali lagi ke masalah asal usul alam semesta," ungkap Weinberg menasihati kita untuk tidak mudah mencemooh kearifan dalam agama ataupun mitologi berkenaan dengan awal kejadian semesta.

Weinberg mengutip sebuah mitos di kalangan bangsa Viking bahwa asal-usul alam semesta dijelaskan dalam The Younger Edda, kumpulan mitos Norse yang disusun sekitar tahun 1220 oleh tokoh Islandia, Snorri Sturleson. Pada awalnya, kata Edda, tidak ada apa-apa. 'Bumi tidak ditemukan, atau langit di atasnya, hanya ada celah menguap, bahkan rumput pun tidak ada.' Di sebelah utara dan selatan dari ketiadaan, menurut mitos tersebut, terbentang wilayah es dan api, Niflheim dan Muspelheim. Panas dari Muspelheim mencairkan sebagian es dari Niflheim, dan dari tetesan cairan itu tumbuhlah seorang raksasa, Ymer. Apa yang dimakan Ymer? Tampaknya ada juga seekor sapi, Audhumla. Dan apa yang dia makan? Nah ada juga garam. Dan seterusnya.

"Saya (Weinberg) tidak boleh menyinggung perasaan agama, bahkan kepekaan perasaan agama Viking sekalipun, tapi saya pikir cukup adil untuk mengatakan bahwa ini bukanlah gambaran yang sangat memuaskan tentang asal usul alam semesta. Bahkan mengesampingkan semua keberatan terhadap bukti 'konon dan syahdan', cerita ini menimbulkan banyak masalah seperti yang dijawabnya, dan setiap jawaban membutuhkan komplikasi baru dalam kondisi awal," papar Weinberg. Tapi peraih Nobel fisika atas penyatuan gaya nuklir lemah dan elektromagnetisme ini menasihati kita untuk tidak jumawa. Ungkapan ini mengingatkan kita pada anekdot yang dituliskan Stephen Hawking dalam buku A Brief History of Time tentang menara kura-kuranya.

 "Ketidakpastian yang melingkupi Prinsip Kosmologi menjadi sangat penting ketika kita melihat kembali ke awal mula atau ke depan ke akhir alam semesta. Saya akan terus mengandalkan Prinsip ini di sebagian besar dua bab terakhir. Namun, harus selalu diakui bahwa model kosmologi kita yang sederhana mungkin hanya menggambarkan sebagian kecil dari alam semesta, atau sebagian kecil dari sejarahnya," aku Weinberg pada akhir Bab 5 dengan judul Tiga Menit Pertama.

Dalam paragraf akhir pada Baba 6 (Sebuah Pengalihan Sejarah), Weinberg mengungkapkan:

"Saya telah memikirkan kesempatan yang terlewatkan ini karena menurut saya ini adalah jenis sejarah sains yang paling mencerahkan. Dapat dimengerti bahwa begitu banyak historiografi sains yang membahas tentang keberhasilannya, dengan penemuan-penemuan yang kebetulan, deduksi-deduksi yang brilian, atau lompatan-lompatan ajaib seorang Newton atau Einstein. Namun, saya rasa tidak mungkin memahami keberhasilan sains tanpa memahami betapa sulitnya sains---betapa mudahnya disesatkan, betapa sulitnya untuk mengetahui apa yang harus dilakukan selanjutnya."

Pada Bab 7 (Seperseratus Detik Pertama), Weinberg menulis:

"Salah satu kemungkinannya adalah bahwa tidak pernah ada kondisi kerapatan yang tak terbatas. Pemuaian alam semesta saat ini mungkin telah dimulai pada akhir masa kontraksi sebelumnya, ketika kerapatan alam semesta telah mencapai suatu nilai yang sangat tinggi tapi terbatas. Saya akan membahas lebih lanjut mengenai kemungkinan ini di bab berikutnya.

Namun, meskipun kita tidak tahu apakah hal itu benar, setidaknya secara logis mungkin bahwa ada suatu permulaan, dan bahwa waktu itu sendiri tidak memiliki arti sebelum saat itu. Kita semua sudah terbiasa dengan gagasan tentang suhu nol mutlak. Tidak mungkin mendinginkan apa pun di bawah - 273,16 C, bukan karena terlalu keras atau karena tidak ada yang memikirkan kulkas yang cukup kulkas yang cukup pintar, tetapi karena suhu yang lebih rendah dari nol mutlak tidak memiliki arti - kita tidak dapat memiliki lebih sedikit panas daripada tidak ada panas sama sekali. Dengan cara yang sama, kita mungkin harus membiasakan diri dengan gagasan tentang titik nol mutlak waktu - sebuah momen di masa lalu yang pada prinsipnya tidak mungkin untuk melacak rantai sebab dan akibat. Pertanyaannya terbuka, dan mungkin akan selalu terbuka."

Sementara pada ujung Bab 8 (Epilog: Prospek ke Depan), Weinberg menyatakan: "

Namun, jika tidak ada penghiburan dalam hasil penelitian kami, setidaknya ada penghiburan dalam penelitian itu sendiri. Pria dan wanita tidak puas menghibur diri dengan kisah-kisah dewa dan raksasa, atau membatasi pikiran mereka pada urusan kehidupan sehari-hari; mereka juga membangun teleskop, satelit, dan akselerator, dan duduk di meja mereka selama berjam-jam tanpa henti untuk mencari tahu makna data yang mereka kumpulkan. Upaya untuk memahami alam semesta adalah salah satu dari sedikit hal yang mengangkat kehidupan manusia sedikit di atas tingkat lelucon, dan memberikan sekian banyak karunia di balik tragedi."

Dan akhirnya, paragraf favorit saya ada pada kata-kata penutupnya, Weinberg berfilsafat dalam kerendahhatian:

"Penelitian pada alam semesta yang paling awal ini mewakili kemajuan nyata, tetapi itu adalah kemajuan semacam konseptual, hanya sama-samar terkait dengan pengamatan alam semesta saat ini. Kita hari ini tidak lebih dekat daripada kita pada tahun 1976 dalam memahami asal-usul struktur yang mengisi alam semesta kita: galaksi dan gugus galaksi. Ketika kita memandang langit malam, yang terlihat adalah besar Bima Sakti dan bagian bercahaya redup dari Nebula Andromeda terus mengejek ketidaktahuan kita."

Saya selalu iri atas kemampuan ilmuwan-ilmuwan Barat dalam mengemas tuturan mereka ketika menarasikan hal-hal yang pelik. Sementara saya sendiri, berpikir saja 'belibet' sekali. 

Tiga Hari Pertama Pasca-Ramadan

Kembali kepada hari Senin ini (24/04). Tiga hari pertama pasca-Ramadan 1444 H. Rasa sedih yang dirasakan saat mengikuti bacaan takbir imam masjid selepas salam terkonfirmasi secara riwayat. Terlepas dari diskusi hangat seputar derajat periwayatannya. Hemat saya, secara kandungan hikmah riwayat yang menceritakan betapa sedihnya Rasulullah saw jelang bulan Ramadan berakhir sangat tidak bisa diabaikan kebenarannya.

Sudah lazim diperdengarkan kepada kita bahwa Rasulullah pernah berkata bahwa apabila malam terakhir bulan Ramadhan tiba, maka menangislah langit, bumi, dan para malaikat karena musibah menimpa umat Muhammad SAW. Konon, para sahabat kemudian bertanya tentang musibah apa gerangan yang akan menimpa. Rasulullah saw menjawab:

"Perginya bulan Ramadhan, karena di bulan Ramadhan itu semua diijabah, semua sedekah diterima, semua kebaikan dilipatgandakan pahalanya dan siksa ditolak (dihentikan)," (Diriwayatkan dari Jabir).

Sementara itu, tidak ada jaminan bagi kita akan dipertemukan kembali dengan Ramadan berikutnya. "Sekiranya umatku ini mengetahui apa-apa (kebaikan) di dalam bulan Ramadhan, niscaya mereka menginginkan agar tahun semuanya itu menjadi Ramadhan," (Diriwayatkan dari Ibnu Abbas).

Secara psikologis, hemat saya, inilah yang menjadi salah satu alasan adanya sunnah berpuasa enam hari pada bulan Syawwal. Baik itu berturut-turut ataupun berselangan hari. Sementara secara fisika, berpuasa 6 hari segera selepas Ramadan semacam pemenuhan fitrah inertia atau kelembaman dalam berpuasa.

Tepat di hari ketiga sejak beranjaknya Ramadan, sambil menanti pergantian hari bersama tergelincirnya hari dari siangnya, dengan berat hati saya berucap: "Sampai bertemu kembali, wahai Ramadan!"  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun