Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Apakah, atau Adakah, yang Lebih Besar daripada Cinta?

21 April 2023   05:05 Diperbarui: 22 April 2023   15:34 856
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Apakah yang lebih besar daripada cinta? Atau, adakah?" begitu kurang lebih yang ditanyakan Alia. 

Sedikit tentang Alia, sudah saya singgung dalam tulisan sebelum ini. "Jawaban akhirnya adalah Tuhan," jawab saya. "Hanya saja untuk jawaban pembuka atau pengantarnya: 'Saya tidak tahu'."   

Tentang Kata Cinta

Dalam buku The Beloved in Middle Eastern Literatures karya Alireza Korangy dkk disebutkan bahwa setidaknya ada 14 kosa-kata dalam bahasa Arab untuk menggambarkan perasaan cinta.

Dalam Al-Qur'an, Surah Hud ayat ke-90, Allah SWT menyebut Diri-Nya sebagai Al-Wadud. Menurut Christopher Evan Longhurst dalam Christian-Muslim Perspectives on God as Love and a Loving Community: 

"Pemahaman Islam tentang Tuhan sebagai cinta berasal dari nama Allah sebagai Al-Wadud (Yang Maha Pengasih) yang disebutkan dalam Al-Qur'an (QS 11:90 dan 85:14) dan dari pemberian nama ini yang darinya terungkap teologi Islam yang luar biasa. Tradisi Kristen sendiri berfokus pada pernyataan Yohanes bahwa "Tuhan adalah kasih" (Yohanes 1. 4:8)."

Sementara untuk dimensi yang universal, Tuhan dalam pembukaan Al-Qur'an menyebut dua sifat utama-Nya: Ar-Rahman dan Ar-Rahim, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. 

Apakah, atau Adakah, yang Lebih Besar daripada Cinta?

Sejak Tuhan menyatakan diri sebagai Maha Cinta, sebagaimana Dia juga memisalkan Diri-Nya denga Cahaya, maka jawaban saya atas pertanyaan 'apakah ada yang lebih besar dari cinta' adalah: "Tidak." Begitu pula bila ada yang membandingkan antara Cinta dan Cahaya, maka jawaban saya adalah: "Cinta dan Cahaya adalah dua sisi dari satu koin yang sama."

Sebagai pembanding, saya meminjam jawaban di Preply, aplikasi pembelajaran bahasa dan platform e-learning asal Amerika dan beroperasi di 30 negara lainnya, saat ada siswanya yang bertanya tentang konsep matematika: "Apa yang lebih besar dari ketakhinggaan?"

Salah satu jawaban favorit saya adalah yang berikut ini: 

"Dalam matematika, ketakterhinggan tidak dapat dibandingkan dengan angka lain. Ketakhinggan adalah sebuah konsep, bukan angka atau batas tetap, dan karenanya tidak dapat dilewati. Ketakhinggan adalah ide atau konsep tentang sesuatu yang tidak memiliki akhir. Ketakterhinggaan tidak terbatas dan karena itu tidak dapat dicapai. Ungkapan 'melampaui ketakterhinggaan' atau 'menuju ketakterhinggaan dan di baliknya' hanyalah sebuah ungkapan yang mewakili kemungkinan yang tidak terbatas."

Ketakterhinggaan Sejati adalah nama lain dari Ketiadaan Sejati yang saya singgung dalam Semiotika Nol di Balik Ramadan. Tuhan adalah Maha Tak-Hingga sehingga menghinggakan-Nya adalah sesuatu yang mustahil. 

Akan tetapi, bila pertanyaannya adalah membandingkan satu cinta dengan cinta yang lain---dan ini juga berlaku untuk cahaya, maka jawaban saya adalah: "Cinta memiliki wilayah dan lingkupnya, maka ada yang lebih besar dari yang lainnya dan berpuncak pada derajat Cinta Sejati, Tuhan."

Saya sebenarnya meminjam kata-kata Marry Coupland dari Universita Teknologi Sindey dalam Beyond infinity saat menjawab pertanyaan apakah ada yang lebih besar dari ketakterhinggan. "There is more than one ‘infinity’—in fact, there are infinitely-many infinities, each one larger than before!—Ada lebih dari satu 'ketakterhinggaan'—sebenarnya, ada banyak ketakterhinggaan, masing-masing lebih besar dari sebelumnya," simpul Coupland yang berkolaborasi dengan Melissa Tacy dari Universitas Nasional Australia. 

Atau, ketakterhinggan itu justru luar biasa kecilnya. Teramat jembar dan teramat renik sama tak terhingganya bagi kita. Seperti dinyatakan Charles Seife dalam Zero - The Biography of a Dangerous Idea:

"Infinitas (ketakterhinggan) tidak lagi mistis; itu menjadi angka biasa. Itu merupakan spesimen tertusuk pada pin, siap untuk dipelajari, dan ahli matematika dengan cepat melakukannya menganalisanya. Namun dalam ketakterhinggaan terdalam—terletak di dalam kontinum luas dari angka—nol terus muncul. Yang paling mengerikan dari semuanya, ketakterhinggaan itu sendiri bisa jadi adalah nol."

Cinta dalam Perspektif Sufistik

Kata cinta membawa ingatan kepada sosok Rabiah Al-Adawiyah. Ia adalah salah satu tokoh penting yang membidani lahirnya sufisme (tasawuf), khususnya aliran mahabbah (cinta). Hanya Hasan al-Bashri---dilihat dari usia yang terpaut sangat jauh---yang bisa dianggap sebagai 'guru' bagi Rabi'ah. Meskipun tidak ada catatan yang mendukung. Malah kebalikannya, dalam beberapa kesempatan Hasan dibuat takjub oleh Rabi'ah. Namun, kembali ini juga perlu diteliti lebih lanjut kebenarannya. 

Seperti berikut ini. Konon dikisahkan  Hasan, yang melihat Rabi'ah di dekat sebuah danau. Ia memutuskan untuk menunjukkan karomahnya. Dia melemparkan sajadah ke atas air dan mengundang Rabi'ah untuk salat bersamanya. Tidak terkesan, Rabi'ah menjawab, sebagimana yang dikutip oleh Farid al-Din Attar, "Hasan, ketika Anda memamerkan hal-hal metafisik di depan khalayak, seharusnya itu adalah hal-hal yang tidak dapat diperlihatkan oleh yang lainnya." Attar sendiri hidup 400 tahunan setelah Rabi'ah.

Kemudian Rabi'ah melempar sajadahnya ke udara dan terbang untuk duduk di atasnya, mengundang Hasan untuk bergabung dengannya. Orang tua itu hanya menatapnya dengan sedih. Ia merasa kasihan kepadanya, dan berkata, "Hasan, apa yang kamu lakukan bisa dilakukan ikan, dan apa yang aku lakukan bisa dilakukan lalat. Tugas yang sebenarnya bagi kita adalah jauh melampaui semua ini. Kita harus menetapkan diri kita pada tempat yang sebenarnya." 

Namun, menurut Encyclopedia, kecil kemungkinan cerita ini benar, karena Rabi'ah baru berusia sebelas tahun pada saat wafatnya Hasan, sementara ia belum menjadi seorang sufi.

Tentang cinta dalam pandangan Rabiah, Maryam Bakhtyar dan Akram Rezaei dalam Love from attitudes of two Muslim and Christian mystics (Rabia Adaviye and Teresa Avila) menulis: 

"Cinta adalah kasih sayang yang merupakan puncak dan ekstrem. Dalam cinta yang ekstrem ini, pencinta (seorang sufi) mencintai kekasihnya (Tuhan) dengan segenap miliknya dan dia terbakar dalam perpisahannya. Sang pencinta justru akan bertahan dengan peniadaan diri dalam Kekasih sejati. Cinta kepada Tuhan merupakan isu penting dalam karya-karya Rabi'ah al-Adawiyah. Rabi'ah percaya bahwa dalam ikatan cinta sejati harus sama sekali bebas dari kontaminasi karenanya seorang pencinta tidak akan meminta imbalan atas cintanya, bahkan tidak perlu menunggu jawaban atas cintanya."

Ibnu Arabi, seorang sufi besar yang sangat terinspirasi oleh Rabi'ah, menggambarkan cinta dalam kata-katanya berikut:

"Seseorang yang berusaha mendefinisikan Cinta, maka ai sejatinya tidak akan mengetahuinya; dan siapa pun yang belum pernah mencicipi seteguk dari cawannya maka ia tidak akan pernah mengetahuinya; dan seseorang yang mengatakan bahwa telah puas meminumnya maka ia belum mengetahuinya, karena Cinta adalah serbat yang tidak akan memuaskan dahaga seseorang."

Dari ungkapan Ibnu Arabi ini, kita bahwa Cinta adalah ketakterhinggan yang sulit untuk difenisikan secara sederhana. Ia yang mencarinya akan terus dalam pencarian yang tak mengenal henti. Bagaimana bisa berhenti saat di depannya terbentang jalan tak berujung dan persinggahan hanyalah akan menangguh kerinduan yang tak terperikan. Bayang kejuitaan Tuhan terangkum halus dalam kata-kata Ibnu Arabi. 

Suatu ketika, kutip Bakhtyar dari Badawi, Sofyan ats-Tsauri bertanya kepada Rabiah, "Katakanlah tingkat keyakinanmu kepada Tuhan." Rabi'ah berkata, "Aku tidak menyembah Allah untuk (mengharap) surga atau (takut) neraka, tetapi demi Allah semata dan semata-semata agar tidak melepaskan ibadah kepada-Nya."

Attar, menurut Bakhtyar, mengabadikan kemurnian Rab'ah dalam mencintai Allah, Sang Kekasihnya dalam bait-bait puisinya: 

"Ya Tuhan! Apa pun yang telah Engkau berikan kepadaku dari dunia, berikanlah kepada musuh-musuh-Mu, dan apa pun yang telah Engkau ampuni dari kehidupan masa depan, berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu karena cukuplah Engkau bagi kami!

Ya Tuhan! Jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka, maka bakarlah aku; dan jika aku menyembah-Mu karena berharap akan surga, maka luputkanlah aku; dan jika aku menyembah-Mu karena karena bersyarat, maka janganlah Engkau perlihatkan kejuitaan Wajah-Mu!

Ya Tuhan! Tugas dan hasratku adalah mengingat-Mu dan dambaanku adalah pertemuan dengan-Mu di kehidupan kelak , maka
lakukanlah apa yang Engkau kehendaki!"

Bagi Rabi'ah, Tuhan adalah pusat kehidupannya, puncak kecintaannya, bahkan segalanya. Tidak ada apapun dalam hidupnya kecuali Tuhan.

Saya Tidak Tahu

"Amor vincit omnia," ujar Virgil. Cinta mengalahkan segalanya. 

Saya tidak tahu bagaimana mencari pengantar terbaik setelah 'tidak tahu' menuju jawaban akhir 'Tuhan' atas pertanyaan Alia di awal tadi. Seribu dua ratus kata lebih disusun dalam paragraf demi paragraf tulisan ini. Idealnya saya sudah bisa mengakhiri tulisan meski tujuannya dirasa ragu telah tercapai. 

Sebatas mengukuhkan saja, sejak cinta adalah imaji tertinggi tentang Tuhan maka semestinya tidak ada yang lebih besar darinya. Bukankah amor vincit omnia?      

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun