Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Dan, Lebaran Lagi: Sebuah Tinjauan Epistemologis

20 April 2023   00:01 Diperbarui: 20 April 2023   01:33 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibu Mas'ud, sebagai diriwayatkan Tirmidzi, berkata, "Puasa yang aku lakukan bersama Nabi selama dua puluh sembilan (hari), lebih banyak daripada puasa kami selama tiga puluh hari." (Ibnu Mas'ud juga menyebutkan) bahwa ada beberapa riwayat tentang topik ini dari `Umar, Abu Hurairah, `A'isyah, Sa`d bin Abi Waqqas, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar, Anas, Jabir, Ummu Salamah, Abu Bakar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Bulan itu terdiri dari dua puluh sembilan (hari)."(Jami` at-Tirmidhi 689 )

Jadi saat tulisan Semiotika Nol ditulis, bisa saja ada di antara saudara kita yang malamnya sudah takbiran. Sudah ada 'bedug' (KBBI menyebutnya beduk) bertalu-talu dengan ritmik ikoniknya bersilih dengan gema takbir. 

Bedug sebagai alat musik bermembran sangat onomatopeik sekali. Ia berasal dari bunyi yang dikeluarkannya: 'dug-dug-dug'. Begitu pula dengan sebutan lain untuk bedug, dalam bahasa Sunda yaitu dulag. Nama dulag berasal dari varian bunyi bedug yang saat dipukul dengan sedikit teknis berbeda sehingga menimbulkan bunyi dag, tak lagi dug. Bunyi 'dug' dan 'dag' ini nampaknya yang melahirkan nama dulag

Tentang Bedug dan Dulag

Baik bedug ataupun dulag diserap menjadi kata kerja dalam bahasa Sunda. Misalnya, ngabedug macul, artinya mencangkul sampai tiba waktu Zhuhur yang ditandai terdengarnya suara bedug. Atau, ngadulag yang berarti memukul bedug. 

Bahasa Indonesia pun mengabadikan kenangan lawas akan bedug ini berupa kosakata dag-dig-dug (maaf, KBBI dalam hal ini tidak menyebutnya dak-dik-duk) untuk menggambarkan sensasi deg-degan akibat gugup atau tegang.

Dalam budaya Sunda bedug dan dulag malah masuk dalam peribahasa. Jauh ka bedug anggang ka dulag, yang maksudnya seseorang yang tidak tahu etika atau tatakrama. Dari sini tersirat bahwa bedug dan dulag menjadi semacam penanda dalam budaya bukan hanya sebatas alat musik. 

Bedug dan dulag juga pada akhir memiliki karakteristik penggunaan tersendiri dalam ungkapan. Ngabedug atau bebedug, misalnya lebih kepada urusan pekerjaan atau mata pencaharian. Sementara ngadulag lebih kepada keilmuan atau kegiatan keagamaan. 

Menarik sekali apa yang disampaikan Rahmatullah Ading Afandie, seorang budayawan dan pujangga Sunda, seperti dikutip oleh Abdullah Alawi dalam Dulag, Ekspresi Urang Sunda di Hari Raya:

"Di pesantren, ngadulag ada seninya. Memukul kentongan juga ada seninya. Ada perbedaan memukul kentongan sebelum memukul bedug waktu shalat, kentongan munajat, dan seterusnya. Dulag pun ada dulag keramas, dulag janari (dini hari), dulag tadarus, dulag malam lebaran. Semuanya berbeda. Tidak tumpang tindih. Tidak ada dulag tadarus di malam Lebaran atawa dulag janari dilakukan di siang hari."

Penjelasan RAF, begitu biasana Rahmatullah Ading Afandie dipanggil, memberikan dukungan atas makna peribahasa jauh ka bedug anggang ka dulag. Bedug sebagai penanda waktu menyiratkan sebuah masyarakat dengan tatanan yang sudah teratur. Ada waktu berangkat kerja, ada waktu berangkat ke masjid (atau tempat ibadah lainnya), dan ada konsensus atas sebuah kondisi darurat atau musibah. Sementara dulag sebagai penanda budaya dan keilmuan sebagai jelas disebutkan dalam kata-kata RAF sendiri. Sehingga, jauh ka bedug anggang ka dulag bukan hanya merujuk kepada keadaan geografis yang jauh terpencil dari keramaian, namun lebih kepada jauhnya dari adab dan etika.

Waktu kecil dulu, senang rasanya bergiliran dengan kawan-kawan 'ngadulag' di masjid Jami' di kampung kami. Kadang saya kebagian menabuh kohkol atau kentongan yang ada bersama bedug. Bangga rasanya saat bisa melakukan filling yang variatif dengan tanpa merusak ritme dan tempo bedugger kita.   

Namun, yang tak kalah legendaris adalah  fenomena self-roasting (menggoda diri) saat bernyanyi: "Dag dulugdug dag."---meniru bunyi pukulan bedug---"hayang baju teu kabedag" (ingin membeli baju, tapi tak mampu). Lebaran identik dengan pakaian baru, bukan?

Sedikit tentang Sejarah Bedug

Hendri F. Isnaeni menulis Tak-tak-tak, Dung, Ini Sejarah Bedug di Historia tentang sejarah bedug di Nusantara. Mengutip, arkeolog Universitas Negeri Malang,  Dwi Cahyono, menyatakan:

"Akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan.

Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab Sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.

Saat itu nama 'bedug' belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah 'teg-teg', kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). 'Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,' tulis Dwi Cahyono dalam 'Waditra Bedug dalam Tradisi Jawa (1),' yang dimuat Kompas, 24 September 2008.'" 

Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong yang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang diyakini beberapa ahli telah mempertunjukan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris kepada tentara yang mengiringnya. Konon ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya  hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid. 

Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Sebelum abad ke-20, konsep menara belum populer di Asia Tenggara untuk mengumandangkan adzan, sehingga sebagai penanda waktu, bedug dipukul sebelum mengumandangkan adzan.  

Lebaran dan Boboran 

Hari Raya Idulfitri dalam budaya Sunda biasa disebut Lebaran atau Boboran. 

Lebaran, menurut Ahli Bahasa dari Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Zamzani berasal dari bahasa Jawa yakni lebar yang berarti selesai atau usai, seperti pada lebar udan, lebar mangan, lebar subuh, lebar Senin. Pernyataan Zamzani ini juga dikutip oleh  Ellyvon Pranita dalam Asal Usul Kata Lebaran, Bukan Serapan Bahasa Arab hingga Tradisi Hindu. "[Menurut Ivan Lalin,] Ada empat bahasa daerah yang disebut menjadi asal kata Lebaran, yaitu bahasa Jawa 'lebar' (selesai), bahasa Sunda 'lebar' (melimpah), bahasa Betawi 'lebar' (luas), dan bahasa Madura 'lober' (tuntas).  'Konon juga, budayawan Umar Khayam menyatakan bahwa tradisi perayaan Lebaran dimulai pada abad ke-15 di Jawa oleh Sunan Bonang, salah seorang anggota Wali Songo,” jelas Lanin. 'Arti yang lain merupakan interpretasi. Saya belum menemukan sumber autentik. Etimologi atau asal kata memang kerap sulit ditelusuri,'"kutip Pranita dari pernyataan Ivan Lanin.

Saya sendiri berpendapat bahwa secara etimologis nampaknya Lebaran berasal dari kata Sunda, 'lubar' yang mengandung arti: bubar, hilang, atau habis. Makna ini senafas dengan jiwa Idulfitri, yaitu saling membubarkan kesalahan, menghilangkan dendam kesumat dan habisnya segala keburukan dalam hati. Pendapat saya ini diperkuat dengan adanya sebutan Boboran untuk Lebaran. 

Menurut Kamus Sunda Net, kata 'bobor' dalam bahasa Sunda, berarti: berbuka puasa atau bobol. Dalam kandungan makna kata ini, Lebaran berarti sebuah hari untuk merayakan berakhirnya masa berpuasa dan bobolnya sekat-sekat yang menghalangi satu pribadi dengan lainnya akibat permusuhan, kebencian dan sebagainya.

Satu lagi: Ketupat 

Dalam Mengunyah Sejarah Kupat di Historia, Jay Akbar mengutip penjelasan Slamet Mulyono tentang filosofi di balik ketupat (kupat) dan janurnya. Kata 'kupat' merupakan gabungan dari dua kata 'ngaku lepat' yang dalam bahasa Jawa dan Sunda berarti mengaku salah. Kupat atau ketupat merupakan simbolisasi dari pengakuan bersalah. Sementara janur yang menjadi bahan pembuatan cangkang ketupatnya merupakan parafrasa---kirata, dalam bahasa Sunda---dari 'jatining nur', hati nurani. 

Sementara Mela Arnani di harian Kompas sambil mengutip penjelasan Fadly Rahman, seorang penulis buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia, menulis:

"Selain itu, simbolisasi lain dari ketupat adalah laku papat (empat laku) yang juga melambangkan empat sisi dari ketupat. Ada nilai keislaman dalam asal usul ketupat, makanan khas Lebaran yang selalu ada di setiap Hari Raya Idul Fitri. Sunan Kalijaga membaurkan pengaruh Hindu pada nilai keislaman, sehingga menjadi akulturasi yang padu di antara keduanya. 

Kendati menjadi makanan untuk Lebaran, Fadly tidak memungkiri, sejarah ketupat bisa jadi berasal dari zaman Hindu-Budha di Nusantara. 'Secara tertulis dalam prasasti yang diteliti oleh para ahli, tak disebut secara spesifikasi merujuk ke ketupat, tetapi indikasi makanan beras yang dibungkus nyiur sudah dilakukan sebelum masa pra-Islam,' jelas Fadly. Pada zaman pra-Islam, bahan makanan nyiur dan beras dijadikan sebagai sumber daya alam yang dimanfaatkan sebagai makanan oleh masyarakat zaman itu.

Adapun masyarakat di Bali hingga saat ini menggunakan ketupat dalam ritual ibadah. Lebih lanjut, makanan ketupat tidak hanya ditemukan di Indonesia, melainkan dapar dijumpai di kawasan Asia Tenggara lainnya, khususnya negara yang penduduknya ada dari Suku Melayu."

Saya rasa Labaran ini, ketupat tidak lagi akan sama. Sebab, tiap gigitannya memberi arti dan tiap kunyahannya membawa makna. 

Semiotika Nol

Dalam Semiotika Nol, kupasan tentang Ramadan dan Idulfitri yang cukup serius sudah saya sampaikan. Melalui tulisan ini saya ingin menghibur diri dari sebuah kehilangan besar. Ya, Ramadan telah beranjak pergi.    

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun