Penjelasan RAF, begitu biasana Rahmatullah Ading Afandie dipanggil, memberikan dukungan atas makna peribahasa jauh ka bedug anggang ka dulag. Bedug sebagai penanda waktu menyiratkan sebuah masyarakat dengan tatanan yang sudah teratur. Ada waktu berangkat kerja, ada waktu berangkat ke masjid (atau tempat ibadah lainnya), dan ada konsensus atas sebuah kondisi darurat atau musibah. Sementara dulag sebagai penanda budaya dan keilmuan sebagai jelas disebutkan dalam kata-kata RAF sendiri. Sehingga, jauh ka bedug anggang ka dulag bukan hanya merujuk kepada keadaan geografis yang jauh terpencil dari keramaian, namun lebih kepada jauhnya dari adab dan etika.
Waktu kecil dulu, senang rasanya bergiliran dengan kawan-kawan 'ngadulag' di masjid Jami' di kampung kami. Kadang saya kebagian menabuh kohkol atau kentongan yang ada bersama bedug. Bangga rasanya saat bisa melakukan filling yang variatif dengan tanpa merusak ritme dan tempo bedugger kita.  Â
Namun, yang tak kalah legendaris adalah  fenomena self-roasting (menggoda diri) saat bernyanyi: "Dag dulugdug dag."---meniru bunyi pukulan bedug---"hayang baju teu kabedag" (ingin membeli baju, tapi tak mampu). Lebaran identik dengan pakaian baru, bukan?
Sedikit tentang Sejarah Bedug
Hendri F. Isnaeni menulis Tak-tak-tak, Dung, Ini Sejarah Bedug di Historia tentang sejarah bedug di Nusantara. Mengutip, arkeolog Universitas Negeri Malang,  Dwi Cahyono, menyatakan:
"Akar sejarah bedug sudah dimulai sejak masa prasejarah, tepatnya zaman logam. Saat itu manusia mengenal nekara dan moko yang terbuat dari perunggu, berbentuk seperti dandang dan banyak ditemukan di Sumatra, Jawa, Bali, Sumbawa, Roti, Leti, Selayar, dan kepulauan Kei. Fungsinya untuk acara keagamaan, maskawin, dan upacara minta hujan.
Pada masa Hindu, jumlah bedug masih terbatas dan penyebarannya belum merata ke berbagai tempat di Jawa. Dalam Kidung Malat, pupuh XLIX, disebutkan bahwa bedug berfungsi sebagai media untuk mengumpulkan penduduk dari berbagai desa dalam rangka persiapan perang. Kitab Sastra berbentuk kidung, seperti Kidung Malat, ditulis pada masa pemerintahan Majapahit.
Saat itu nama 'bedug' belum biasa digunakan. Istilah lainnya adalah 'teg-teg', kelompok membraphone menyerupai bedug. Fungsinya sebagai pemberi tanda, atau petanda bunyi (time signal). 'Karena Kidung Malat menyebut bedug dan teg-teg, maka keduanya tentu berlainan. Teg-teg sejenis genderang dengan ukuran lebih besar daripada bedug,' tulis Dwi Cahyono dalam 'Waditra Bedug dalam Tradisi Jawa (1),' yang dimuat Kompas, 24 September 2008.'"Â
Laksamana Cheng Ho alias Sam Po Kong yang pada tahun 1410 dan tahun 1416 dengan armada yang dipimpinnya mendarat di pantai Simongan, Semarang diyakini beberapa ahli telah mempertunjukan bedug di Jawa ketika memberi tanda baris-berbaris kepada tentara yang mengiringnya. Konon ketika Cheng Ho hendak pergi dan memberikan hadiah, raja dari Semarang mengatakan bahwa dirinya  hanya ingin mendengarkan suara bedug dari masjid.Â
Sejak itulah bedug menjadi bagian dari masjid seperti halnya bedug di kuil-kuil di China, Korea dan Jepang, sebagai alat komunikasi ritual keagamaan. Sebelum abad ke-20, konsep menara belum populer di Asia Tenggara untuk mengumandangkan adzan, sehingga sebagai penanda waktu, bedug dipukul sebelum mengumandangkan adzan. Â
Lebaran dan BoboranÂ