Ibu Mas'ud, sebagai diriwayatkan Tirmidzi, berkata, "Puasa yang aku lakukan bersama Nabi selama dua puluh sembilan (hari), lebih banyak daripada puasa kami selama tiga puluh hari." (Ibnu Mas'ud juga menyebutkan) bahwa ada beberapa riwayat tentang topik ini dari `Umar, Abu Hurairah, `A'isyah, Sa`d bin Abi Waqqas, Ibnu `Abbas, Ibnu `Umar, Anas, Jabir, Ummu Salamah, Abu Bakar, bahwa Rasulullah saw. bersabda: "Bulan itu terdiri dari dua puluh sembilan (hari)."(Jami` at-Tirmidhi 689Â )
Jadi saat tulisan Semiotika Nol ditulis, bisa saja ada di antara saudara kita yang malamnya sudah takbiran. Sudah ada 'bedug' (KBBI menyebutnya beduk) bertalu-talu dengan ritmik ikoniknya bersilih dengan gema takbir.Â
Bedug sebagai alat musik bermembran sangat onomatopeik sekali. Ia berasal dari bunyi yang dikeluarkannya: 'dug-dug-dug'. Begitu pula dengan sebutan lain untuk bedug, dalam bahasa Sunda yaitu dulag. Nama dulag berasal dari varian bunyi bedug yang saat dipukul dengan sedikit teknis berbeda sehingga menimbulkan bunyi dag, tak lagi dug. Bunyi 'dug' dan 'dag' ini nampaknya yang melahirkan nama dulag.Â
Tentang Bedug dan Dulag
Baik bedug ataupun dulag diserap menjadi kata kerja dalam bahasa Sunda. Misalnya, ngabedug macul, artinya mencangkul sampai tiba waktu Zhuhur yang ditandai terdengarnya suara bedug. Atau, ngadulag yang berarti memukul bedug.Â
Bahasa Indonesia pun mengabadikan kenangan lawas akan bedug ini berupa kosakata dag-dig-dug (maaf, KBBI dalam hal ini tidak menyebutnya dak-dik-duk) untuk menggambarkan sensasi deg-degan akibat gugup atau tegang.
Dalam budaya Sunda bedug dan dulag malah masuk dalam peribahasa. Jauh ka bedug anggang ka dulag, yang maksudnya seseorang yang tidak tahu etika atau tatakrama. Dari sini tersirat bahwa bedug dan dulag menjadi semacam penanda dalam budaya bukan hanya sebatas alat musik.Â
Bedug dan dulag juga pada akhir memiliki karakteristik penggunaan tersendiri dalam ungkapan. Ngabedug atau bebedug, misalnya lebih kepada urusan pekerjaan atau mata pencaharian. Sementara ngadulag lebih kepada keilmuan atau kegiatan keagamaan.Â
Menarik sekali apa yang disampaikan Rahmatullah Ading Afandie, seorang budayawan dan pujangga Sunda, seperti dikutip oleh Abdullah Alawi dalam Dulag, Ekspresi Urang Sunda di Hari Raya:
"Di pesantren, ngadulag ada seninya. Memukul kentongan juga ada seninya. Ada perbedaan memukul kentongan sebelum memukul bedug waktu shalat, kentongan munajat, dan seterusnya. Dulag pun ada dulag keramas, dulag janari (dini hari), dulag tadarus, dulag malam lebaran. Semuanya berbeda. Tidak tumpang tindih. Tidak ada dulag tadarus di malam Lebaran atawa dulag janari dilakukan di siang hari."