Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Semiotika Nol di Balik Ramadan

19 April 2023   00:01 Diperbarui: 19 April 2023   00:01 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Secara bahasa Ramadan adalah bentuk tatsniyah (dual, atau ganda). Seperti syahrani (dua bulan) atau sa'atani (dua jam), maka Ramadan adalah Ramadhani (dua panas). Dalam perspektif semiotika Safar, maka Ramadan menyiratkan dua peniadaan yang tiada lain dari peniadaan syahwat jasmaniah dan rohaniah.

Ramadan mengajarkan dengan sempurna peniadaan syahwat jasmaniah melalui puasa selama satu bulan penuh. Namun, demi mempertahankan fitrat basyariah kita sebagai makhluk berjasad, maka Ramadan mewajibkan kita berbuka. Secara teknis, berbuka disebut dengan ifthar, yaitu mengembalikan kepada fitrat ke-basyariah-an kita. Islam adalah agama fitrah, kesempurnaan manusia adalah saat ia berjalan ajeg dalam fitrahnya. Sebagaimana firman-Nya: 

"Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar-Rum: 30)

Kedua, peniadaan syahwat rohaniah. Hal ini lebih pelik lagi. Spiritualitas kita juga ternyata mengalami fenomena inertia (kelembaman). Saat Ramadan dengan berpuasa dan berbagai latihan ibadah lainnya meniadakan keinginan kita untuk hal-hal yang bersifat jasmani, maka kita beralih menjadi begitu gandrung akan hal-hal yang bersifat rohani. Pada batas tentu ini baik, bahkan tujuan Ramadan sendiri adalah untuk ini. Hanya saja, hukum kelembaman menguasai kita. Sehingga, pada titik tertentu kita kebablasan, lupa keseimbangan. Tidak sedikit yang lantas terlarung dalam fatamorgana kerohanian. Tidak sedikit contoh para sufi yang asyik larut dalam ungkapan syathahat, ungkapan-ungkapan esoterik yang adakalanya lebih kepada sebatas gimmick. Beberapa di antaranya melangkah lebih jauh, mengklaim ittihad atau wihdatul wujud dengan terlalu vulgar sehingga menimbulkan banyak kegaduhan dalam sejarah. 

Bila ada yang lebih berhak atas ungkapan esoterik atau klaim ittihadiyah, maka sudah barang pasti adalah Rasulullah saw sebagai Insan Kamil. Uniknya, meski Al-Qur'an mengabadikan momentum pertemuan beliau saw dengan Allah swt di Sidratul Muntaha, meski beliau saw adalah wujud kekasih tertinggi Allah saw dari segenap ciptaan-Nya---yang demi beliau, Allah swt ciptakan semesta ini, beliau begitu halus dan rapat menyembunyikan kelarutan beliau dengan Sang Kekasih. Kita melihat semua kelarutan beliau dalam shalat beliau, dalam keteguhan iman dan keyakinan penuh beliau atas apa yang Sang Kekasih tetapkan sepahit apapun itu.

Kembali kepada peniadaan syahwat rohaniah yang diajarkan Ramadan, maka Ramadan menyimbolkan peniadaan itu melaui Idulfitri di puncaknya. Idulfitri secara lugas berarti kembali kepada fitrah. 

Ramadan mengajarkan bahwa hakikat dari tujuan kita beribadah adalah untuk mencapai derajat tertinggi dari penghambaan. Tujuan sejati ibadah adalah memanusiakan diri, bukan menuhankan diri. Agama bertujuan menjadikan kita manusia, bukan untuk menjadi Tuhan. Syahwat rohaniah inilah yang ditiadakan oleh Ramadan. Ini pulalah yang ingin saya sebut sebagai semiotika dua lingkaran dalam Ramadan.      

Serona Malu dalam Kenaifan

Lalu apa ketiadaan itu?  

Tuhan adalah Ketiadaan Sejati. Ketiadaan-Nya tidak berarti ketidakberadaan-Nya, karena Keberadaan-Nya justru meniadakan segala yang ada selain Diri-Nya. Ketiadaan-Nya adalah nama lain dari ketidakmungkinan kita untuk mengetahui Keberadaan-Nya secara sempurna. Dia menyibakkan tirai Ghaiban-Nya kepada manusia-manusia pilihan seperti para nabi dan rasul sesuai dengan kapasitas umat yang di tengah-tengah mereka para nabi dan rasul tersebut dibangkitkan.  

Saya merasa sangat malu menuliskan paragraf di atas. Terlalu naif rasanya. Saya harus tahu diri kapan saatnya berhenti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun