Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Membincang Peradaban dan Kebudayaan

9 April 2023   11:40 Diperbarui: 9 April 2023   11:42 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Baytul Hikmah https://commons.wikimedia.org/

Pada bulan Rajab, 36 H (Januari 657), Khalifah Ali bin Abi Thalib ra memutuskan untuk memindahkan ibu kota pemeritahan Islam dari Medinah di Hijaz ke Kufah di Iraq. Peristiwa ini terjadi sekitar tujuh bulan pertama masa kekhalifahan beliau. Sayyid Ali Asghar Razwy dalam bukunya A Restatement of the History of Islam and Muslims menuliskan sebab-sebab pemindahan ibu kota tersebut.

Pertama, Ketika Ali bin Abi Thalib ra menjadi khalifah, pusat kota penting Islam adalah Damaskus di Suriah, Makkah dan Madinah di Hijaz, serta Basra dan Kufah di Irak.

Kedua, Madinah adalah tempat lahir budaya dan peradaban Islam. Cara hidup yang benar-benar Islami hanya dapat dilihat di Madinah. Peperangan dan penaklukan asing telah membawa orang-orang dari berbagai budaya dalam kekuasaan Islam. Jika Medinah juga tetap menjadi ibu kota politik dan administratif pemerintahan, karena itu adalah ibu kota spiritual, maka orang-orang asing, dengan budaya asing dan latar belakang yang tidak Islami, akan datang untuk tinggal di dalamnya.

Mereka akan membawa adat istiadat, kebiasaan, tata krama, tradisi, dan praktik keagamaan mereka sendiri. Dengan melakukan itu, mereka akan mendominasi budaya Islam murni atau mereka akan melunturkannya. Bagaimanapun, Islam yang murni akan selalu terpapar pengaruh asing.

Kedua alasan ini, Razwy menyebut alasan pertama sebagai pragmatis dan yang kedua, idealis.  

Persia dan Tsurayya

Saya, bukan sejarawan hanya saja  berdasarkan kepada intuisi atas bacaan hadits-hadits tentang kondisi akhir zaman, saat umat Islam terpuruk dalam keimanannya, hadits mengisyarahkan juru selamat dari kalangan Persia. Seperti misalnya, hadits Muslim berikut ini:

https://sunnah.com/muslim:2546b
https://sunnah.com/muslim:2546b

Redaksi dalam tanda kutip berarti: "Apabila iman [sudah terbang] ke [bintang] Tsurayya, maka akan dikembalikan oleh beberapa orang dari [kalangan] mereka." (Sahih Muslim 2546b)

Dari hadits di atas diketahui bahwa yang Rasulullah saw maksudkan adalah dari kalangan bangsa Persia sebab sahabat Salman ra berasal dari Persia.

Imam Bukhari juga meriwayatka hal senada:

https://sunnah.com/bukhari:4897
https://sunnah.com/bukhari:4897

"Apabila iman sudah [terbang] ke [bintang] Tsurayya maka beberapa orang laki-laki--atau seseorang---dari [kalangan] mereka akan mengembalikannya." (Sahih al-Bukhari 4897)

Sedikit tentang Tsurayya, Danielle Adams dalam Whose stars? Our heritage of Arabian astronomy mengenalkan kepada kita sedikit tentang bintang ini:

"Keluarlah pada waktu, beberapa jam setelah matahari terbenam, dan lihat ke timur. Di sana, di salah satu daerah terpadat di langit, Anda mungkin mengenali bintang merah cemerlang yang kini dikenal sebagai Aldebaran (alpha Tauri). Dibuktikan sejak zaman pra-Islam (sebelum 610 M), nama Arab dari bintang ini (ad-dabaran) yang secara harfiah berarti 'Pengikut.” Dinamakan demikian karena mengikuti objek paling terkenal di langit malam Arab: gugus bintang cemerlang yang disebut ath-Thuraya, yang sekarang dikenal sebagai Pleiades. Gugus bintang ini sangat terkenal sehingga sering disebut sang Bintang (an-najm)."

Dalam tulisannya yang lain, Thuraya, the Abundant Darling of the Heavens, Danielle Adams memaparkan betapa bintang ini begitu populer di kalangan Arab. Ia mengutip satu bait sajak klasik pra-Islam gubahan Imru’ al-Qays dari abad ke-6 Masehi:

"Saat Tsurayya condong miring ke langit,
seperti permata beraneka ragam dari selempang manik-manik,
yang lipatannya menggantung dari bahu ke pinggang yang berlawanan."

Bait di atas, menurut Danielle, berasal dari kumpulan puisi pra-Islam yang disebut Mu'allaqat. Gambaran penampakan Tsurayya tidak hanya gamblang; itu juga literal, karena menggambarkan orientasi asterisme saat bersiap untuk terbenam, dalam hal ini, di penghujung malam. Puisi Arab klasik penuh dengan penggunaan bintang sebagai jam langit yang mengatur kerangka waktu untuk sebuah puisi.

"Nama Tsurayya sudah sangat tua. Secara tata bahasa, kata itu: kecil, dan artinya akan mirip dengan 'Si Mungil yang Berlimpah', yang cenderung dihubungkan oleh ahli tata bahasa dengan banyak bintangnya. Selain itu, arti ini mungkin mengacu pada banyaknya hujan yang turun selama periode hujannya. Kemungkinan ini diperkuat dengan adanya kata yang terdengar sangat mirip yang menandakan kelembapan. Bentuk kecil feminin dari Tsurayya memberi kata rasa sayang, seperti bahasa Inggris dearie (kesayangan) atau horsey (kuda). Dalam legenda, Tsurayya diantropomorfisasikan sebagai seorang wanita," tambah Danielle.

 

Peradaban Islam vs Kebudayaan Islam

Sebentuk intuisi lamat-lamat membawa saya kepada sebuah simpulan: boleh jadi garis takdir kepindahan ibu kota pemerintahan Islam dari Medinah ke Kufah semasa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra adalah dalam bingkai ini. Sebuah perjalan takdir untuk mempersiapkan malam panjang nan kelam dunia Islam pasca  terbitnya Sang Fajar---yang selama lima puluh tahunan---menerangi jagat semesta, Rasulullah saw.

Pembahasan akan membawa kita kepada peradaban versus kebudayaan dalam dunia Islam. Mari kita mengilas ke belakang berkenaan dengan peradaban Islam!  

Dalam Islamic Golden Age: Legacy Written Out Of History Sameer Arshad Khatlani menulis:

"Ketika Abu Jafar Abdullah al-Mansur, Khalifah Kekaisaran Abbasiyah kedua, menyelesaikan situs yang disarankan oleh biksu Kristen Nestorian kepadanya untuk ibu kota barunya—Baghdad—seorang Yahudi dan Zoroastrian termasuk di antara para peramal yang dia tuju untuk ramalan. Dia meletakkan batu bata seremonial pertama untuk fondasi kota hanya setelah para astrolog memilih tanggal yang menguntungkan—30 Juli 762.

Keterbukaan dan penerimaan ini mendefinisikan Abbasiyah, menjadikan periode mereka dari abad ke-8 hingga ke-11 sebagai titik puncak Zaman Keemasan dan peradaban Islam. Profesor Universitas Columbia Edward Said, seorang Kristen Arab Palestina, menyebut era itu sebagai 'periode sejarah budaya yang brilian' layaknya Renaisans di Italia."

Pada masa dinasti Abasiyah ini lahirlah Baytul Hikmah (Rumah Kebijaksanaan). Sebuah cerminan agung dari kecintaan Khalifah Harun Al-Rasyid terhadap ilmu. "[Awalnya] didirikan sebagai koleksi pribadi untuk Khalifah Abbasiyah kelima Harun Al-Rashid pada akhir abad kedelapan, Bayt al-Hikma melambangkan 'keingintahuan intelektual yang semarak dan kebebasan berekspresi' yang tumbuh subur di bawah Abbasiyah. Itu menyambut para filsuf, ahli matematika, cendekiawan, dan dokter dengan tangan terbuka setelah diubah menjadi akademi yang terbuka untuk umum," ungkap Khatlani.

Al-Khalili, menurut Khatlani, menegaskan bahwa Ibn al-Haytham adalah fisikawan terbesar dalam rentang 2.000 tahun antara Archimedes dan Newton. Demikian pula, al-Bīrūni, polymath Persia, dianggap sebagai Da Vinci Islam. Al-Tūsi, seorang matematikawan dan astronom, mempengaruhi Copernicus. Ibnu Khaldun diakui sebagai bapak ilmu sosial dan teori ekonomi.

Dunia Islam memanggungkan persilihgantian dua dinasti terbesarnya, Abasiyah dan Umayah. Keduanya sama-sama mengalami pasang surut.  Untuk dinasti Umayah puncak kejayaan mereka berlangsung di Spanyol yang bisa dikatakan sebagai Baghdad kedua bagi dunia Islam. Kesemua pencapaian ini jauh sebelum Eropa bersinar seperti sekarang. Deretan nama cendikiwan sekaligus polymath (polimatik) muslim seperti Al-Kindi yang dikenal sebagai Bapak Filsafat Islam; Al-Khwarizmi yang darinya kata algoritma diambil merupakan pelopor algoritma dan penemu Aljabar. Kita yang sekarang tengah gandrung akan artificial intelligent (kecerdasan buatan) dan robotika, sangat berhutang kepada Al-Khawarizmi dalam algoritmanya. Atau, Al-Ghazali, Al-Khalil dan masih banyak lagi. Kesemuanya adalah para polimatik haus ilmu. Doa sederhana dan sangat populer, Rabbi zidni 'ilman (Ya Tuhan tambahkan kepadaku ilmu) tercermin dalam diri para titan ilmu pengetahuan ini.

Dunia Islam dengan pusat riset Baytul Hikmah-nya pernah begitu luar biasa. "Orang-orang Eropa Abad Pertengahan merasa rendah diri dengan dunia Muslim yang sangat maju sebelum mereka mengungguli dan menolak warisan ilmiahnya selain menulis peradaban Islam dari sejarah intelektual mereka," Sameer Arshad Khatlani. Atau, seperti salah satunya ketakjuban yang diwakili oleh Adrienne Bernhard dalam tulisannya di BBC, Bagaimana matematika modern bisa mucul dari sebuah perputakaan Islam yang hilang?  

Basrah, Kufah, Baghdad adalah nama-nama kota di Irak yang dulu masuk ke dalam wilayah imperium Persia. Secara peradaban, tanah Persia menjadi titik persebaran ilmu pengetahuan dunia Islam. Baghdad pernah menjadi Pintu Babil-nya sains Dunia Islam. Dalam perspektif peradaban, dunia Islam telah mencapai bintang 'Tsurayya'-nya sains dan pengetahuan.   

Sebuah hadits, terlepas pro dan kontra tentang kesahihannya, yang berbunyi Ana madiinatul 'ilmi wa 'Aliyun baabuhaa (Aku, Nabi Muhammad saw, adalah Kota Ilmu dan Ali adalah gerbangnya), terwujud dengan elegannya.

Lalu bagaimana dengan kebudayaan Islam?

Berbagai Periode Peradaban dan Budaya. Imam Jamaah Muslim Ahmadiyah yang ke-2, Hadhrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad ra menulis: 

"Kita sekarang akan menunjukkan bahwa sebuah periode peradaban dan kebudayaan adakalanya timbul dalam waktu yang terpisah. Dan pada contoh lainnya bersamaan. Mereka hadir dalam satu waktu yang terpisah atau secara bergantian yang satu setelah lainnya. Adakalanya sebuah bangsa meraih peradaban tinggi akan tetapi tidak memiliki kebudayaan yang tinggi, atau sebaliknya memiliki kebudayaan tinggi tetapi tidak memiliki peradaban tinggi."

Berkenaan dengan apa perbedaan antara peradaban dan kebudayaan, Sang Imam menjelaskan:

"Menurut kami, peradaban adalah sebuah konsepsi materialistis murni. Ketika kemajuan material terjadi, di sana datang tentang keseragaman tertentu dan kemudahan tertentu dalam aktivitas manusia. Ini keseragaman dan kemudahan membentuk peradaban.

[Sementara] kebudayaan suatu bangsa dapat dikatakan terdiri dari ide-ide dan cita-cita yang tumbuh di bawah pengaruh ajaran agama atau etika. Ajaran agama memberikan yayasan. Pengikut ajaran itu kemudian membangun di atas fondasi itu. Di dalam
membangun di atas fondasi tersebut, para pengikut dapat melakukan perjalanan jauh dari aslinya mengajar, tetapi mereka tidak pernah bisa sepenuhnya kehilangan kontak dengan fondasinya tersebut."

Islam telah melahirkan kebudayaan yang sangat tinggi. Medinah begitu ideal saat di bawah asuh Sang Nabi saw. Begitu idealnya istilah civil society dalam bahasa Indonesia populer diterjemahkan sebagai masyakarat madani. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan peradaban tertingginya. Namun, sebagaimana diisyarahkan dalam dua hadits pada awal tulisan ini, dunia Islam harus mengalami kemunduran secara budaya. Kata-kata 'Apabila iman sudah [terbang] ke [bintang] Tsurayya' melukiskan betapa jauhnya perilaku muslim dari ajaran Islam. Inilah titik terendah kebudayaan dalam dunia Islam. 

Diriwayatkan `Imran bin Husain: "Rasulullah saw bersabda, 'Pengikut terbaik saya adalah mereka yang hidup di generasiku (yaitu orang-orang sezaman dengan Nabi saw). Dan kemudian orang-orang yang akan mengikuti mereka." `Imran menambahkan, "Saya tidak ingat apakah Nabi saw menyebutkan dua atau tiga generasi setelah generasinya, maka Nabi saw. menambahkan, 'Akan datang setelah kamu, orang-orang yang akan bersaksi tanpa diminta untuk melakukannya, dan akan berbahaya dan tidak dapat dipercaya, dan mereka akan bersumpah dan tidak pernah memenuhi sumpah mereka, dan kegemukan akan muncul di antara mereka." (Sahih al-Bukhari 3650)

Inilah isyarat kemunduran umat Islam secara budaya dan ajaran Islam. Kelangkaan iman yang sejati secara kolektif ini digambarkan sebagai terbangnya iman ke bintang Tsurayya. 

Nubuatan Kembalinya Iman

Keterpuruka budaya, saat peradaban telah mencapai puncaknya, pada gilirannya membuat peradaban pun runtuh. Kini umat Islam yang secara jumlah besar tidak lebih dari buih di lautan. Baytul Hikmah tinggal sejarah, nama besar ulama Islam sudah ribuan tahun tak bersuksesi. Umat yang dulu menghuni puncak piramida peradaban kini tercecer di dasarnya. Berpola pada sejarah, kita memerlukan momentum revitalisasi kebudayaan terlebih dahulu untuk bisa merevitaliasi peradaban umat ini. Begitulah algoritmanya. Tidak ada jalan lain.

Hikmah perpindahan pusat pemerintahan dari Medinah ke Kufah, menyiratkan nubuat bahwa pengembalian iman dari bintang Tsurayya pun akan datang dari kalangan bangsa Persia. Dari sekian nubuatan tentang kedatangan juru selamat, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa Imam Mahdi yang dijanjikan itu berasal dari bangsa Persia. Bila tanah bangsa Persia telah menjadi tempat peluncuran peradaban Islam ke langit tertingginya, bukan tidak mungkin bila kini giliran warga bangsa ini yang mendapat tugas untuk mengembalikan iman dari Tsurayyanya. 

Zhuhur akan segera tiba, saatnya merehatkan dulu jemari ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun