Syahdan seorang manusia duduk sendirian, terpekur dalam kesedihan.
Dan semua binatang mendekatinya dan berkata, "Kami tidak suka melihatmu begitu sedih. Mintalah apa saja yang kau inginkan dan kau akan mendapatkannya."
Manusia itu berkata, "Aku ingin memiliki penglihatan yang baik."
Burung nasar menjawab, "Kau akan memiliki milikku."
Manusia itu berkata, "Aku ingin menjadi kuat."
Macan tutul berkata, "Kau akan menjadi kuat seperti aku."
Lalu manusia itu berkata, "Aku ingin tahu rahasia-rahasia bumi."
Ular menjawab, "Aku akan menunjukkannya padamu."
Dan begitulah dengan semua binatang. Dan ketika manusia itu mendapat semua hadiah yang mereka bisa berikan, dia pergi.
Kemudian burung hantu berkata kepada binatang lainnya, "Sekarang manusia itu tahu banyak, dia akan bisa melakukan banyak hal. Tiba-tiba aku merasa takut."
Rusa berkata, "Manusia itu memiliki semua yang dia butuhkan. Sekarang kesedihannya akan berhenti."
Tapi burung hantu menjawab, "Tidak. Aku melihat ada lubang dalam diri manusia itu, seperti rasa lapar yang tak akan pernah ia penuhi. Itulah yang membuatnya sedih dan yang membuatnya ingin. Dia akan terus mengambil dan mengambil, sampai suatu hari Bumi akan berkata, 'Aku papa dan tidak memiliki apa-apa lagi untuk diberikan.'"
***
Adalah Espiridion Acosta Cache---pemeran tetua suku---yang mengisahkan fabel di atas dalam film Apocalypto. Â Film dibuka dengan kata-kata Will Durant, a great civilization is not conquered from without until it has destroyed itself within, lalu disusul adengan perburuan tapir oleh sekelompok pemburu yang tangkas.
Will Durant menegaskan bahwa sebuah peradaban besar tidak akan ditaklukkan oleh kekuatan asing sampai peradaban tersebut menghancurkan dirinya sendiri dari dalam. Artinya, ketika sebuah peradaban sudah memiliki banyak masalah internal seperti korupsi, konflik internal, dan degradasi moral, maka peradaban tersebut menjadi lebih rentan dan akhirnya dapat runtuh akibat serangan dari luar. Hal ini menunjukkan bahwa faktor internal dalam sebuah peradaban memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap keberlangsungan dan kekuatannya, sehingga perlu dijaga dan diperbaiki dengan baik
Kutipan yang diatribusikan kepada Will Durant, sejarawan dan filsuf Amerika ini diambil dari karyanya yang monumental, The Story of Civilization volume pertama Our Oriental Heritage. Boleh jadi ini merupakan salah satu pernyataan paling masyhur Durant tentang sejarah umat manusia.
Entah berapa kali film ini saya putar bersama kedua anak-anak saya yang saat itu masih berusia 2 dan 5 tahunan. "Film bagong," begitu si bungsu menyebutnya. Identifikasi bagong (babi hutan dalam bahasa Sunda) untuk tapir tentu bisa dimaafkan bagi anak seukuran itu.
Ketamakan dan tirani kesemena-menaan merupakan jantung dari moral film besutan Mel Gibson tahun 2006 ini. Persis seperti yang dikisahkan tetua kelompok yang dipimpin oleh Flint Sky (Morris Birdyellowhead) tepat di malam terakhir sebelum kampungnya diamuk angkara di bawah gerombolan Zero Wolf (Raoul Trujillo). Namun kali ini sang tiran ditakdirkan bertemu sang nemesis. Adalah Jaguar Paw (Rudy Youngblood) sosok yang dijanjikan itu. Apocalypto sendiri merupakan bentuk serapan dari apocalypse yang berarti ramalan. Sebuah istilah biblikal untuk kehancuran besar. Sematan kata-kata Durant di awal tadi terasa begitu mengikat. Â Â Â Â
Bagian favorit saya adalah saat matahari mengalami gerhana tepat ketika giliran Jaguar Paw untuk dijadikan persembahan yang mengingatkan kepada kisah legendaris pembakaran Nabi Ibrahim---meskipun kadang-kadang ada sekelebat kenangan dari kisah petualangan Tintin: Tawanan Dewa Matahari yang saya baca waktu SMP. Dan tentu saja adegan spartan Jaguar Paw mengalahkan sekelompok prajurit pilihan yang memburunya hidup atau mati. Eksotika hutan tropis Mesoamerika terasa tidak asing di mata. Kedua anak saya pun nampaknya merasakan hal yang sama. Â Namun, di satu sisi saya merasa sangat bersalah juga mengingat film Apocalypto jelas bukan tontonan yang ditujukan bagi bocah-bocah cilik.
Kembali kepada fabel di awal tulisan ini, Ramadan menjadi penawar mujarab bagi penyakit yang membuat lobang besar dalam diri manusia. Penahanan diri yang diajarkan Ramadan bahkan pada titik tertentu menjadikan manusia tidak lagi berhajat atas dunia sebagaimana halnya diungkapkan oleh Imam Syafi'i dalam syairnya yang masyhur:
Maka tak kan ada yang melihatku berhenti di jalannya
Dan tak kan ada yang melihatku bersimpuh di pintunya
Kaya tanpa harta dari pemberian manusia seluruhnya
Dan tiadalah kekayaan sejati itu, kecuali, tidak atasnyaÂ
Bila saja ini sudah ada dalam diri manusia, maka cukuplah ia dengan dirinya. Lalu bagaimana mungkin ia memperbudak sesamanya? Dan bila itu yang terjadi, yakni ia masih memiliki 'lubang' di dalam dirinya, maka dialah sejatinya manusia malang itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H