Tenjowaringin di wilayah kecamatan Salawu, Tasikmalaya pada tahun 2018 mendeklarasikan diri sebagai Desa Siaga Donor Mata. Istri saya yang sehari-hari bertugas sebagai tenaga paramedis mendapatkan pelatihan eksisi kornea mata di Jakarta Eye Center (JEC) pada tahun yang sama. Pelatihan ini diinisiasi oleh Bank Mata Indonesia. Istri saya sejauh ini sudah melakukan lebih dari 110 kali eksisi sejak 2018 lalu.
Karena seringnya bersentuhan dengan kegiatan eksisi, melihat kornea dari dekat dan segala romantika pelaksanaan eksisi di lapangan, terpikir untuk sedikit mencari tahu tentang mata kita.
Chris Bell dalam tulisannya berjudul Why the eye is nature's miracle? di Sidney Morning Herald menyebutkan:
"Dalam bentuk yang sangat dasar, mata dipercayai pertama kali berkembang pada hewan sekitar 550 juta tahun yang lalu. Tetapi desain yang begitu sempurna---kemampuan beradaptasi yang tak terbatas, dan kompleksitas yang tak tereduksi---membuat banyak orang berargumen bahwa hal ini merupakan bukti keberadaan Tuhan itu sendiri. Bahkan dewasa ini, penganut Kristen dan kreasionis berargumen bahwa Charles Darwin sendiri terganggu dengan keberadaannya---dengan merujuk pada sebuah catatan (seringkali disalahartikan) dalam The Origin of Species, di mana Darwin mengamati bahwa keseluruhan gagasan tentang sesuatu yang begitu tanpa cacat 'dapat terbentuk melalui seleksi alam, tampaknya, saya dengan bebas mengakui, sangat tidak masuk akal'."
"Berbeda dengan telinga dan hidung kita, misalnya, yang tidak pernah berhenti tumbuh sepanjang hidup kita, mata kita tetap memiliki ukuran yang sama sejak lahir. Kemudian ada proses yang rumit dari pengairan, pelumasan, pembersihan, dan perlindungan yang terjadi setiap kali kita berkedip - rata-rata sebanyak 4.200.000 kali dalam setahun," lanjut Bell.
Mengacu pada 110 eksisi yang sejauh ini dialami, setidaknya ada 220 kornea yang bisa dicangkokkan kepada calon resepien yang masuk dalam deretan panjang daftar tunggu. Jadi sangat bisa diterima bila kornea merupakan organ tubuh yang paling banyak dicangkokkan. Setidaknya hingga 100.000 kali per tahunnya. Tentu saja angka ini untuk data di seluruh dunia. Menurut John Muresianu dalam The Miracle of the Human Eye --- a Few Notes, kurangnya pembuluh darah berarti antibodi yang lebih sedikit, tingkat penolakan yang lebih rendah---sekitar 10%. Ini merupakan salah satu alasan di balik tingginya kesuksesan pencangkokan kornea.
Pemindaian iris mata dinyatakan jauh lebih akurat dibanding sidik jari dalam identifikasi identitas seseorang. 2000 kali lebih akurat menurut para ahli. Lebih lanjut Bell menjelaskan:
"Perusahaan New York bernama Eyelock, konsep pemindaian iris seseorang dari jarak jauh untuk tujuan identifikasi sekarang menjadi kenyataan. Seperti yang dijelaskan oleh Chief Technology Officer Eyelock, Jeff Carter: 'Sekarang identitas Anda dapat ditentukan dari seberang ruangan saat Anda penuh kegiatan---bahkan jika Anda mengenakan masker, atau wig, atau kacamata hitam---dengan tingkat kepastian seper-kuadriliun bahwa Anda adalah benar-benar Anda.'"
Oh iya, satu kuadriliun adalah seribu milyar. Satu diikuti nol sebanyak 15 di belakangnya!Â
Adalah Hipokrates yang pertama memperhatikan keunikan dari iris setiap orang berupak pola garisnya, titik-titiknya, ataupun warna di sekeliling pupilnya tidak kurang dari 390 sebelum Masehi.
Ilmuwan, menurut Bell, sekarang berada di ambang penciptaan mata biologis, organ tubuh yang paling kompleks. Pusat penelitian RIKENÂ yang berpusat di Jepang mengumumkan sebuah keberhasilan ilmiah baru pada 12 September 2014 bahwa pencangkokan jaringan retina baru yang ditanam untuk pertama kalinya dari sel-sel induk, ke mata seorang wanita Jepang berusia 70-an yang menderita kebutaan yang semakin memburuk.
Ini bisa menjadi langkah pertama dalam memberantas kehilangan penglihatan pada manusia secara permanen. Tetapi Profesor Hammond dari King's College London mengingatkan untuk tetap membatasi diri. "Harapan bahwa kebutaan akan menjadi sejarah dalam beberapa tahun ke depan, kita masih harus berhati-hati untuk tidak melebih-lebihkan kemampuan kita," katanya.
Mata nampaknya masih akan terus menjadi misteri dengan segala keajaibannya. Mengajarkan kepada kita bahwa selalu akan ada langit di atas langit. Kepercayaan diri yang terlalu membumbung nyaris sama bahayanya dengan sikap penolakan terhadap sains itu sendiri. Kata-kata Dr Yoshiki Sasai, biolog kawakan asal Jepang yang juga petinggi di pusat penelitian RIKEN dalam sebuah wawancara terakhir sebelum kematiannya dengan anggun menyatakan: "Kita benar-benar tidak tahu ke mana kita akan dibawa dengan perkembangan ini. Kita benar-benar berada di tapal batas, berhadapan dengan dunia yang tidak kita ketahui."
Mata adalah salah satu anugerah terindah bagi kita. Alangkah tepatnya sabda Rasulullah saw berikut ini tentang mata:
"Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: 'Tidaklah seorang hamba diberi dua hal yang lebih baik daripada dua mata yang dapat melihat, dan lidah yang dapat menyebutkan (nama) Allah.'" (HR. Bukhari no. 2887 dan Muslim no. 2159)
Tentu saja bukan sekedar fungsi mata secara indrawi lahiriah saja, melainkan sebagaimana diungkapkan oleh Helen Keller: The only thing worse than being blind is having sight but no vision---bahwa satu-satunya hal yang lebih buruk daripada buta adalah memiliki penglihatan tetapi tidak memiliki visi.
Satu jendela kini terbuka untuk melihat keindahan. Bahkan ia adalah keindahan itu sendiri: mata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H