Pancasila sudah ada dan dikenal sejak jaman kerajaan Majapahit (1293-1527), yaitu dalam kitab Negarakertagama (1365) karangan Mpu Prapanca dan kitab Sutasoma (1365-1389) karangan Mpu Tantular. Sementara semboyan Bhinneka Tunggal Ika ditemukan pertama kali dalam kitab Sutasoma. Kedua pilar kebangsaan ini ditampakkan dalam lambang negara kita, Garuda Pancasila: Pancasila berupa lambang-lambang silanya pada bagian dada Garuda, sementara Bhinneka Tunggal Ika di bagian pita yang dicengkram erat oleh kedua kaki sang Garuda.
Pancasila dalam Kurikulum Merdeka
Dalam kabinet periode 2019-2024, melalui Kurikulum Merdeka, Kemdikbudristek mengemas visi kementerian ini dalam redaksi "Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mendukung Visi dan Misi Presiden untuk mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui terciptanya Pelajar Pancasila yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, bergotong royong, dan berkebinekaan global." Secara eksplisit Pancasila dicantumkan sebagai tujuan dari pendidikan bangsa Indonesia dengan enam dimensi atau karakteristik yang dimiliki seorang pelajar, yaitu: beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, dan berakhlak mulia, berkebinekaan global, bergotong royong, mandiri, bernalar kritis, dan kreatif.
Sebutan Kurikulum Merdeka sendiri secara filosofis merujuk kepada pernyataan Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, bahwa: "Ketahuilah bahwa 'budi' itu berarti 'fikiran-perasaan-kemauan', dan 'pekerti' itu artinya 'tenaga'. Dengan adanya 'budi pekerti' itu tiap-tiap manusia berdiri sebagai manusia merdeka (berpribadi), yang dapat memerintah atau menguasai diri sendiri (mandiri, zelfbeheersching). Inilah manusia yang beradab dan itulah maksud dan tujuan pendidikan dalam garis besarnya."
Sementara itu, urgensi profil pelajar Pancasila tersirat dari pernyataan Ki Hajar bahwa: "Pendidikan diartikan sebagai tuntunan dalam hidup tumbuhnya anak-anak; menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat." Tuntunan terbaik adalah tuntunan yang berdasarkan nilai-nilai luhur yang hidup di sekitar lingkungan tumbuh anak-anak Indonesia, yakni kumpulan kearifan lokal dan filosofi bangsa yang kemudian disarikan menjadi Pancasila. Pendidikan yang berkorelasi erat dengan nilai-nilai luhur inilah yang akan menjadi para pelajar selamat dan bahagia. Pendidikan yang senafas dengan kebangsaan dan yang tidak tercerabut dari akar keindonesiaannya.
Relasi Pancasila dan Agama
Beberapa pengamat menilai penggunaan frasa Profil Pelajar Pancasila merupakan reaksi atas gencarnya serangan ideologis, baik kiri maupun kanan. Pandangan tersebut tidaklah sepenuhnya salah, namun juga tidak sepenuhnya benar. Pancasila sebagai ideologi bangsa tentu memiliki hak sekaligus kewajiban untuk mempertahankan keberadaannya. Ia adalah jati diri bangsa. Siapapun yang ingin hidup di bumi Indonesia merupakan kepantasan yang bermartabat untuk menerima Pancasila sebagai ideologi kebangsaan dan kenegaraannya. Satu hal yang perlu digaris bawahi mengapa bisa dianggap salah adalah ketika pandangan tersebut secara tidak adil dicitrakan sebagai sikap memusuhi ideologi lainnya.
Sebut saja misalnya, Pancasila versus Islam. Jelas ini tidak benar. Keduanya tidak untuk diadukan, dibenturkan bahkan untuk dibandingkan. Sejarah justru membuktikan perumusan Pancasila lahir dari para pendiri bangsa yang berlatarkan beragam agama, termasuk Islam. Islam tidak pernah tunduk ataupun berkompromi dengan Pancasila. Pun demikian dengan agama lainnya. Islam dan agama lainnya memandang bahwa nilai-nilai luhur yang tumbuh dari bumi Indonesia (baca: Nusantara)---yang kemudian para pendiri bangsa ini kristalisasikan ke dalam Pancasila---tidak bertentangan dengan ajaran agama manapun. Masing-masing agama merasakan Pancasila sebagai ekspresi sosial dan kebernegaraan ajaran agama mereka. Â Â
Pesan yang Terkandung dalam Nama
Tepat satu tahun lalu, 1 Juni 2021, saya menuliskan sebuah refleksi sederhana dalam memaknai Hari Lahir Pancasila. Â Untuk tahun ini, terbetik untuk sedikit menambahkan dari sudut pandang kebahasaan.
Pancasila berasal dari bahasa Sanskerta yang merupakan cabang bahasa Indo-Arya. Sementara itu, di kawasan Nusantara (kemudian menjadi Indonesia) para penduduknya merupakan penutur asli bahasa  rumpun Austronesia dari cabang Melayu-Polinesia yang oleh Wouk & Ross (2002) disederhanakan sebagai berikut:
- Bahasa Kalimantan-Filipina atau bahasa Malayo-Polinesia Barat Luar (Hesperonia Luar): terdiri dari banyak bahasa seperti Dayak Ngaju, Gorontalo, bahasa Bajau, bahasa-bahasa Minahasa, Tagalog, Cebuano, Hiligaynon, Ilokano, Kapampangan, Malagasi, dan Tausug.
- Bahasa Malayo-Polinesia Inti (Probabilitas menyebar dari Pulau Sulawesi).
- Bahasa Sunda-Sulawesi atau bahasa Malayo-Polinesia Barat Dalam (Hesperonia Dalam), contoh: Indonesia Barat, Bugis, Aceh, Cham (di Vietnam dan Kamboja), Melayu, Indonesia, Iban, Sunda, Jawa, Bali, Chamoru, dan Palau.
- Bahasa Malayo-Polinesia Tengah-Timur.
- Bahasa Malayo-Polinesia Tengah atau bahasa Bandanesia: sekitar Laut Banda yaitu bahasa-bahasa di Pulau Timor, Sumba, Flores, dan juga di Aibku.
- Bahasa Malayo-Polinesia Timur atau dinamakan juga bahasa Melanesia.
- Halmahera Selatan-Papua Barat-Laut: beberapa bahasa di pulau Halmahera dan sebelah barat pulau Irian, misalnya bahasa Taba dan bahasa Biak.
- Bahasa Oseanik: Termasuk seluruh bahasa-bahasa Austronesia di Melanesia dari Jayapura ke timur, Polinesia dan beberapa agung Mikronesia.
Menurut laman Laboratorium Kebinekaan Bahasa dan Sastra saat ini di Indonesia terdapat tidak kurang dari 718 bahasa daerah.
Secara linguistik, kita bisa menarik simpulan bahwa kata Pancasila merupakan jejak kebhinekaan leluhur kita, seperti halnya Nusantara---yang berasal dari bahasa Kawi yang sangat kental pengaruh Sanskertanya dan terlebih lagi Indonesia---dari bahasa Yunani, indos (India, Indus) dan nesos (kepulauan). Kata Pancasila sendiri menjadi bukti kelapangan dada warga Nusantara dulu dalam menerima budaya luar. Sebagaimana umum diketahui ketika agama Hindu dan Buddha masuk ke Nusantara, kebudayaan dan peradaban Austronesia pun sudah ada yang kemudian berakulturasi dengan peradaban dan kebudayaan Hindu-Buddha.
Kata Pancasila mengisyaratkan bahwa bahasa, ras, suku, adat dan agama hanyalah sebatas identitas. Kata Pancasila mengajarkan kepada kita bahwa penanda atau identitas itu ada agar kita saling mengenal dan berkoesistensi. Unsur-unsur SARA tersebut tidak untuk mengunggulkan seseorang dari yang lain sebagai penyandang identitas tertentu. Kita setara dan satu martabat. Kesejatian kita terletak pada nilai kemanusiaan yang berketuhanan yang tersarikan dalam dua sifat: welas (kasih) dan asih (sayang). Untuk tujuan ini pula, dalam dimensi atau karakter profil Palajar Pancasila, Beriman kepada Tuhan YME dan Berakhlak Mulia, pada elemen kunci akhlak beragama ditegaskan bahwa mengenal sifat-sifat Tuhan dan menghayati bahwa inti dari sifat-sifat-Nya adalah kasih dan sayang.
Selamat memaknai Hari Lahir Pancasila!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H