Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mentafakuri Jejak Hangat Pandemi

24 Mei 2022   15:09 Diperbarui: 25 Mei 2022   03:10 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana sekolah di masa pandemi https://www.liputan6.com

Manusia adalah makhluk berbahasa. Kita mengungkapkan rasa dan pemikiran kita dalam wujud bahasa. Tentu ada beragam tingkatan dalam berbahasa, mulai dari kedalaman makna, ketepatan daya ungkap ataupun keindahan ungkapan yang mana kesemuanya ditentukan oleh cita rasa bahasa dan tingkat literasi. 

Hanya saja secara umum kita adalah makhluk berbahasa. Dalam filsafat Arab kita sering mendengar ungkapan al-insaanu hayawaanun-naathiq, bahwa manusia adalah makhluk yang berbicara.

Permainan Kata

Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan bahasa, saya selalu tergelitik oleh betapa kreatifnya kita dalam berbahasa. Pandemi Covid-19 yang mengguncang dunia dalam dua tahun terakhir telah memengaruhi lanksap sosial dunia, termasuk bahasa tentunya. 

Covid menjadi inspirasi dalam melahirkan---atau setidaknya membelokkan---makna sebuah istilah. Bukan hanya itu saja, bahkan plesetan pun marak bermunculan seputar Corona.

Jika kita pernah mendengar 'Covid Slide', menurut laman Chalk, kita akan tahu bahwa itu bukan gerakan tari TikTok terbaru---melainkan sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan learning loss (kerugian belajar) yang terjadi sejak pandemi memaksa sekolah di seluruh belahan dunia menutup pintu mereka kemudian menggantinya menjadi belajar mandiri atau pengurangan jadwal belajar.

Learning loss menggambarkan kerugian pengetahuan dan keterampilan yang dialami para pelajar saat mereka tidak pergi ke sekolah. Secara sederhananya istilah ini menyatakan terbengkalainya pembelajaran ketika para pelajar tidak mengikuti pembelajaran secara teratur. 

Sebelum tahun 2020, kita barangkali telah mendengar istilah learning loss dalam konteks yang berbeda yaitu fenomena jeda musim panas, ketika anak-anak menghabiskan 8 sampai 12 minggu di luar ruang kelas. Selama waktu itu, kemajuan akademik mereka melambat, mandeg atau bahkan mengalami kemunduran sama sekali.

Pandemi Covid-19 telah menawarkan istilah baru untuk fenomena learning loss dalam dunia persekolahan dengan istilah kekinian covid slide. Istilah ini lahir dari keterpaksaan siswa harus belajar mandiri dengan bekal slide atau file digital berisi pelajaran tanpa mendapatkan bimbingan langsung dari guru mereka.

Entah siapa yang pertama melakukannya---atau lebih tepatnya memplesetkannya. Hanya saja tidak kurang dari pertengahan tahun 2020 kita menjumpai meme berisi tulisan Covido ergo zoom. Sebuah plesetan dari kata-kata legendaris Rene Descartes Cogito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada). 

Saya sempat tertawa sendiri saat pertama kali membacanya. Siapapun dia, si pemleset (baca: orang yang membuat plesetan) mencuri gagasan sekaligus rima Descartes untuk mengungkapkan hasil renungannya: Covido ergo Zoom---Covid melanda maka Zoom meraja.

Lalu kita juga menemukan istilah covidiot. Sebuah istilah bagi orang-orang yang tidak mempercayai kalau pandemi Covid ini benar-benar ada, untuk mereka yang abai terhadap protokol kesehatan, atau bahkan untuk mereka yang menimbun keperluan-keperluan secara berlebihan sehingga menghabiskan jatah tentangganya.

Ada covidophile sebutan bagi mereka yang gemar sekali membicarakan covid atau mengikuti pemberitaannya secara berlebihan. Sementara itu, untuk pemberitaan di media yang tak kenal akhir---terutama seiring bermunculannya varian-varian baru corona---muncul istilah Koronovela, 

kisah drama yang berkepanjangan dan cenderung bertele-tele. Ada juga istilah coronormalization untuk menggambarkan kerugian bisnis atau usaha selama masa pandemi. Atau, yang paling relate (kata murid-murid saya), corofat, gejala bertambahnya berat badan selama pandemi.

Zoom termasuk yang mendapatkan momentumnya di tengah badai pandemi. Sejak awal 2020, penggunaan layanan Zoom terus meningkat sejak pandemi baru merebak di dunia, menjadikan banyak pengguna menggunakan aplikasi ini sebagai layanan bertatap muka secara daring. 

Platform tatap maya Zoom barangkali bisa dikatakan paling populer. Menurut Backlinko pada bulan April 2020, Zoom mengumumkan tonggak capaian 300 juta partisipan per harinya. 

Popularitas ini pun tak urung melahirkan istilah yang kreatif dan seringkali menggelikan. Seminar berganti menjadi zoominar. Bila kegiatan tatap maya via zoom diadakan pada hari Jum'at maka disebut sebagai Zoomatan. Atau saat mengatakan sampai bertemu lagi di sesi zoom berikutnya, kita memplesetkannya sebagai 'sampai zoompa lagi'.

Ah sungguh makhluk berbahasa kita ini!

Diskusi Seputar Learning Loss (Kerugian Belajar)

Menarik untuk mengikuti diskusi tentang apa sebenarnya yang dimaksud dengan learning loss.

Beberapa ahli pendidikan berpandangan bahwa kita selama ini kita melihat learning loss dengan kacamata yang terlalu sempit. Kita lebih menekankan kepada kuantitas alih-alih kualitas. Apa yang selama ini terjadi akan lebih tepat dianggap sebagai schooling loss (Kerugian Bersekolah), 

yakni kerugian atau kekurangan berupa pertemuan tatap muka di kelas dalam kaitannya dengan pemenuhan hasil belajar yang terstandarisasi yang tidak mencerminkan pendidikan sebagaimana yang kita ketahui sekarang.

City Year sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, meskipun cenderung sama tidak menerima istilah learning loss namun mengajukan istilah yang berbeda yakni interrupted learning (pembelajaran yang terjeda).

 Penggunaan istilah ini untuk menangkap keunikan tantangan pandemi yang tengah dialami para pelajar dan sekolah. Pendekatan ini sedikit lebih berbasis aset tanpa mengabaikan tantangan tentang bagaimana kami melibatkan kembali siswa dan mengintegrasikan kembali mereka ke dalam lingkungan kelas mereka saat kami pulih dan beralih kembali ke sekolah.

Sementara itu, dalam blog World Bank menegaskan bahwa learning loss akibat pandemi itu memang benar-benar ada. Dan bila tidak ada intervensi apa pun, learning loss yang timbul dari pandemi COVID-19 kemungkinan akan memiliki efek negatif jangka panjang pada kesejahteraan anak-anak di masa depan. 

Ini termasuk kehilangan pembelajaran, akses yang lebih sedikit ke pendidikan tinggi, partisipasi pasar tenaga kerja yang lebih rendah, dan pendapatan masa depan yang lebih rendah.

UNICEF lebih lanjut menegaskan bahwa generasi siswa ini sekarang berisiko kehilangan 17 triliun dolar pendapatan seumur hidup dalam nilai sekarang, atau sekitar 14 persen dari PDB global saat ini, sebagai akibat dari penutupan sekolah terkait pandemi COVID-19, 

menurut laporan baru yang diterbitkan hari ini (06/12/2021) oleh Bank Dunia, UNESCO, dan UNICEF. Proyeksi baru mengungkapkan bahwa dampaknya lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya, dan jauh melebihi perkiraan 10 triliun dolar yang dirilis pada tahun 2020.

Persoalan yang Utama

Terlepas dari diskusi seputar istilah di atas, yang sungguh menjadi keprihatinan kita adalah menurunnya soft skill (keterampilan non-teknis) anak-anak kita sebagai dampak dari hantaman pandemi setidaknya dalam dua pertiga tahun akademik lalu.

Anak-anak kita menjauh dari tradisi membaca buku secara konvensional. Daya tahan mereka mengikuti pembelajaran tatap muka menurun. Pun demikian dengan tata krama dan kecerdasan berbahasa secara sosial. Larutnya mereka dalam media sosial menciptakan celah yang semakin lebar dengan kehidupan nyata mereka. 

Media sosial dan dunia maya yang nyaris tanpa risiko---kecuali untuk kasus yang memang benar-benar berkonsekuensi hukum---melahirkan karakter abai pada level terparahnya.

Saat anak-anak kita tidak bersekolah, mereka seakan terbebas dari kewajiban belajar. Etos belajar anak-anak kita sangat terkait erat dengan institusi sekolah sebagai tempat kegiatan pembelajaran. Menghadapi persoalan ini, terasa benar sekali perkataan Ki Hajar Dewantara bahwa setiap orang menjadi guru dan setiap rumah menjadi sekolah. 

Rumah merupakan satu dari tiga pusat pendidikan dalam teori Ki Hajar yang dikenal sebagai Tri Pusat Pendidikan. Sekolah dan Masyarakat merupakan berada di posisi kedua dan ketiganya. Bila saja ini berjalan saat anak-anak kita dirumahkan untuk sekian lama seharusnya etos belajar mereka---yang merupakan salah satu dari soft skill mereka---tetap terpelihara.

Hanya saja, rumah sebagai unsur dari Tri Pusat Pendidikan seakan sudah melepaskan perannya dan menyerahkannya kepada sekolah. Inilah justru persoalan utama kita. 

Sambil berbenah di lingkungan rumah, mari berharap Kurikulum Merdeka berperan lebih!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun