yakni kerugian atau kekurangan berupa pertemuan tatap muka di kelas dalam kaitannya dengan pemenuhan hasil belajar yang terstandarisasi yang tidak mencerminkan pendidikan sebagaimana yang kita ketahui sekarang.
City Year sebuah organisasi yang bergerak di bidang pendidikan, meskipun cenderung sama tidak menerima istilah learning loss namun mengajukan istilah yang berbeda yakni interrupted learning (pembelajaran yang terjeda).
 Penggunaan istilah ini untuk menangkap keunikan tantangan pandemi yang tengah dialami para pelajar dan sekolah. Pendekatan ini sedikit lebih berbasis aset tanpa mengabaikan tantangan tentang bagaimana kami melibatkan kembali siswa dan mengintegrasikan kembali mereka ke dalam lingkungan kelas mereka saat kami pulih dan beralih kembali ke sekolah.
Sementara itu, dalam blog World Bank menegaskan bahwa learning loss akibat pandemi itu memang benar-benar ada. Dan bila tidak ada intervensi apa pun, learning loss yang timbul dari pandemi COVID-19 kemungkinan akan memiliki efek negatif jangka panjang pada kesejahteraan anak-anak di masa depan.Â
Ini termasuk kehilangan pembelajaran, akses yang lebih sedikit ke pendidikan tinggi, partisipasi pasar tenaga kerja yang lebih rendah, dan pendapatan masa depan yang lebih rendah.
UNICEF lebih lanjut menegaskan bahwa generasi siswa ini sekarang berisiko kehilangan 17 triliun dolar pendapatan seumur hidup dalam nilai sekarang, atau sekitar 14 persen dari PDB global saat ini, sebagai akibat dari penutupan sekolah terkait pandemi COVID-19,Â
menurut laporan baru yang diterbitkan hari ini (06/12/2021) oleh Bank Dunia, UNESCO, dan UNICEF. Proyeksi baru mengungkapkan bahwa dampaknya lebih parah dari yang diperkirakan sebelumnya, dan jauh melebihi perkiraan 10 triliun dolar yang dirilis pada tahun 2020.
Persoalan yang Utama
Terlepas dari diskusi seputar istilah di atas, yang sungguh menjadi keprihatinan kita adalah menurunnya soft skill (keterampilan non-teknis) anak-anak kita sebagai dampak dari hantaman pandemi setidaknya dalam dua pertiga tahun akademik lalu.
Anak-anak kita menjauh dari tradisi membaca buku secara konvensional. Daya tahan mereka mengikuti pembelajaran tatap muka menurun. Pun demikian dengan tata krama dan kecerdasan berbahasa secara sosial. Larutnya mereka dalam media sosial menciptakan celah yang semakin lebar dengan kehidupan nyata mereka.Â
Media sosial dan dunia maya yang nyaris tanpa risiko---kecuali untuk kasus yang memang benar-benar berkonsekuensi hukum---melahirkan karakter abai pada level terparahnya.