Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kurikulum Merdeka

22 Mei 2022   16:32 Diperbarui: 22 Mei 2022   19:51 1196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Kurikulum Merdeka https://kate.id

The role of SatGuru works through the Uttama acharya Sthiti (Superior Teacher position) by giving inspiration, talks, knowledge and practices and walks through a meticulous way of making the disciple to walk the way through circumstantial pressures in the most righteous manner till the disciple is able to attain the Guru within --- Maitreya Rudrabhayananda

Kurikulum 2022 yang disebut juga Kurikulum Merdeka secara piloting mulai diberlakukan di beberapa sekolah penggerak pada tahun ajaran lalu. Rencananya pada tahun 2024 kurikulum baru ini akan diberlakukan secara menyeluruh. 

Untuk itu, sementara ini kurikulum 2022 disebut juga sebagai kurikulum prototipe atau purwarupa sebelum kemudian akan menjadi kurikulum nasional.

Lalu, Apa Sebenarnya Kurikulum Merdeka Itu?

Menurut Buku Saku Tanya-Jawab Kurikulum Merdeka yang dikeluarkan oleh Kemdikbudristek disebutkan bahwa Kurikulum Merdeka adalah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam di mana konten akan lebih optimal agar peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi. 

Guru memiliki keleluasaan untuk memilih berbagai perangkat ajar sehingga pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan belajar dan minat peserta didik. Ini adalah kemerdekaan bagi peserta didik dan guru.

Sementara itu, dalam konteks sekolah sebagai satuan pendidikan, kerangka kurikulum nasional harus memberikan ruang inovasi dan kemerdekaan, sehingga dapat dan harus dikembangkan lebih lanjut oleh masing-masing sekolah. 

Pada Intinya, kerangka kurikulum nasional seharusnya relatif ajeg, tidak cepat berubah, tapi memungkinkan adaptasi dan perubahan yang cepat di tingkat sekolah.

Pemerintah mengemban tugas untuk menyusun kerangka kurikulum. Sedangkan, operasionalisasinya, bagaimana kurikulum tersebut diterapkan, merupakan tugas sekolah dan otonomi bagi guru. 

Guru sebagai pekerja profesional yang memiliki kewenangan untuk bekerja secara otonom, berlandaskan ilmu pendidikan. Sehingga, kurikulum antar sekolah bisa dan seharusnya berbeda, sesuai dengan karakteristik murid dan kondisi sekolah, dengan tetap mengacu pada kerangka kurikulum yang sama. Inilah kemerdekaan bagi sekolah sebagai satuan pendidikan.

Adakah Hal Baru yang Ditawarkan Kurikulum Merdeka?

Sesuai kaidah konstruktivisme dalam dunia pendidikan, kita akan membangun sesuatu dari apa yang yang telah kita pelajari. Pun demikian dengan kurikulum. Ia hakikatnya merupakan penyempurnaan dari kurikulum yang sebelumnya. Secara hakikat mestinya tidak ada sesuatu yang benar-benar baru.

Adapun kekhasan dari prototipe kurikulum nasional pada tahun 2024 adalah adanya penerapan profil pelajar Pancasila sebagai tujuan akhir pendidikan Indonesia. 

Dalam upaya meraihnya tujuan tersebut, kurikulum prototipe memberlakukan asesmen alternatif berupa projek untuk menguatkan pencapaian profil pelajar Pancasila dikembangkan berdasarkan tema tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Projek tersebut tidak diarahkan untuk mencapai target capaian pembelajaran tertentu, sehingga tidak terikat pada konten mata pelajaran.  

Hal lainnya, seperti penghapusan penjurusan, peminatan dan kejuruan di jenjang SMA/SMK, merupakan konsekuensi dari kemerdekaan siswa dalam menentukan mata pelajaran apa yang ia minati dalam dua tahun terakhirnya sesuai dengan orientasi kelanjutan studi atau dunia kerja yang ingin dimasukinya.

Pemerhati pendidikan Ina Liem sebagaimana dikutip oleh Kompas, menilai langkah Mendikbud Nadiem untuk menghapus pembagian jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA sangatlah tepat. 

Ia mencontohkan, ada siswa yang memilih jurusan IPS karena menghindari Fisika. Padahal, ia menyukai Biologi dan memiliki minat yang cocok di bidang budidaya perikanan.

Peserta Didik, Siswa atau Murid?

Secara nomenklatur ada yang menarik saat menelisik penggunaan sebutan peserta didik, siswa atau murid. Memang hal ini tidaklah berkaitan langsung dengan kurikulum, akan tetapi secara filosofis pemilihan sebutan tersebut tentu memiliki implikasinya tersendiri. Belum lagi kerancuan dan inkonsistensi dalam penggunaannya lebih menggelitik lagi.

Murid dan siswa secara bergantian lebih dahulu kita kenal dalam sejarah persekolahan. Peserta didik nampaknya paling belakang kita akrabi setelah yang kedua tadi. Secara historis kata siswa tentu lebih awal muncul dalam dunia pendidikan. 

Kata siswa berasal dari bahasa Sanskerta yang nota bene merupakan bahasa yang identik dengan kebudayaan Hindu-Buddha. Merujuk laman Oxford Lexico siswa nampaknya berasal dari kata Sanskerta shishya.  

"In Hinduism: a disciple or follower of a guru. Also in extended use: a pupil learning a craft from a master; a younger person who is guided and supported by someone with greater experience or influence."

Siswa berarti murid atau pengikut dari seorang guru. Secara umum kemudian digunakan untuk pelajar yang berguru keterampilan kepada seorang guru; orang muda yang dibimbing atau didukung oleh seseorang yang lebih banyak pengalaman atau pengaruhnya.

Sementara kata murid berasal dari bahasa Arab dari kata kerja araada-yuriidu (menginginkan). Seorang murid adalah ia yang memiliki kehendak atau karsa yang kuat. Uniknya di antara sifat yang wajib dimiliki Allah adalah iraadatun (bebas dalam berkehendak dan bebas dari keterpaksaan) dan muriidun (maha berkehendak dan tak-berbatas kehendak-Nya). Menurut laman Oxford Lexico murid lazimnya digunakan untuk pengikut seorang sufi.

Siswa dan murid secara umum memiliki kesamaan dalam penggunaannya. Meski demikian secara keseharian siswa memiliki kedudukan yang relatif berbeda dibanding murid. Murid kini lebih disering digunakan untuk anak-anak TK dan SD---identik dengan peserta didik yang masih kecil. Sementara siswa lazim digunakan sampai anak usia SMA. Adapun sebutan peserta didik walaupun sebenarnya bermakna lebih umum, yaitu mencakup setiap orang atau persona yang belajar dan menuntut ilmu akan tetapi lebih cenderung digunakan dalam konteks lembaga pendidikan atau persekolahan, baik formal maupun non-formal.  

Kembali kepada sebutan siswa dan murid, di perguruan tinggi, kata siswa diimbuhi maha, yakni mahasiswa, untuk membedakan dengan siswa di jenjang sebelumnya. Lain halnya dengan murid. Tidak lazim bagi kita mendengar sebutan mahamurid. Apalagi untuk peserta didik bahkan kita tidak pernah mendengar seseorang menyebut maha peserta didik. Pun demikian dengan sebutan guru dan dosen. Guru secara keliru dianggap lebih rendah dari dosen. Guru sebutan yang lazim bagi pangajar dan pendidik di jenjang menengah ke bawah. Sementara dosen sebutan pengajar dan pendidik di jenjang perguruan tinggi. Namun uniknya kedudukan senioritas secara keilmuan di perguruan tinggi disebut dengan istilah mahaguru bukan mahadosen.  

Bahkan Ki Hajar sendiri melakukan ketidakkonsistenan dalam penggunaan murid dan siswa. Bila Ki Hajar relatif konsisten menggunakan kata murid alih-alih siswa akan tetapi Ki Hajar menyebut sekolah yang didirikannya sebagai Taman Siswa bukan Taman Murid. Barangkali tepatnya bukan inkonsistensi melainkan sebuah penunjuk bahwa Ki Hajar tidak membedakan sebutan antara siswa dan murid. Atau pemilihan nama Taman Siswa lebih---alih-alih Taman Murid atau Taman Pelajar---karena pertimbangan cita rasa bahasa belaka.   

Hakikat Hubungan Guru dan Murid dalam Pendidikan

Ki Hajar menyebut pendidikan sebagai tuntunan. Kata tuntunan mengimplikasikan kemandirian bahkan kemerdekaan siswa atau murid dalam menempuh proses belajarnya. Terlebih lagi model among Tut Wuri Handayani dengan tegas menempatkan posisi guru sebagai fasilitator.

Kedudukan guru lebih kepada memberikan bekal, arahan dan dorongan kepada muridnya untuk menempuh jalan pembelajarannya. Inilah dasar merdeka belajar yang diletakkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia.  

Hubungan guru dan muridnya seyogianya bukanlah hubungan yang transaksional. Dalam taraf tertentu hubungan keduanya sangat fundamental dan transendental. Saya terhenyak saat membaca kutipan dari Maitreya Rudrabhayananda di laman Good Reads:

"Peran Guru bekerja melalui Uttama acharya Sthiti (Posisi Guru Unggul) dengan memberikan inspirasi, ceramah, pengetahuan dan praktik dan berjalan melalui cara yang cermat membuat muridnya berjalan melalui tekanan tidak langsung dengan cara yang paling benar sampai murid itu mampu mencapai Gurunya dari dalam."

Atau ungkapan mendalam dari Dada J.P. Vaswani berikut:

"Sang murid harus 'sirna' sehingga ia bisa menjadi sang pencari yang dipersiapkan untuk melihat Cahaya."

Sementara itu, Ki Hajar secara sederhana namun holistik menyebutkan bahwa pendidikan itu harus berdasarkan kepada kebudayaan dan kemasyarakatan bangsa Indonesia demi mencapai keselamatan dan kebahagiaan.

Bukankah ini tak lain dari hakikat kemerdekaan dalam hidup?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun