Riff guitar Akira Takasaki pada lagu Soldier of Fortune membuyarkan dinginnya pagi kedua di bulan Syawwal. Vokal gahar Mike Vescera melengkapi dengan sempurna lagu dari band asal Jepang ini, Loudness. Vescera kemudian saya ikuti jejaknya saat bermain di band-nya Yngwie Malmsteen---guitaris yang mempopulerkan subgenre neoclassical metal. Loudness sendiri adalah band asal negeri Sakura pertama yang saya sukai dan Akira Takasaki adalah jantungnya.
Judul lagu Soldier of Fortune (Serdadu Bayaran) nampaknya terinspirasi oleh lagu Deep Purple dengan judul yang sama, Soldier of Fortune. Bila Ritchie Blackmore menggubahnya dalam format balada, Takasaki menulisnya dalam genre heavy metal.Â
Blackmore sendiri merupakan inspirasi utama permainan guitar Takasaki, begitu tulis Paul Henderson di majalah musik Kerrang!. Sementara itu, Blackmore diyakini sebagai perintis lahirnya madzhab neoclassical metal yang kemudian dibesarkan Malmsteen. Secara sanad (transmisi keilmuan), Takasaki dan Malmsteen adalah murid Blackmore.
Belajar dari Dunia Seni
Saya melihat ada yang menarik dalam dunia seni. Para pelakunya menikmati kebebasan mereka dalam belajar dan mempelajari hal baru yang menantang dalam format yang tidak menyekolah. 'Pemberontakan' dan 'penolakan' terhadap kemapanan merupakan karakter yang justru menumbuhkan kreativitas artistik.Â
Seni musik, misalnya, melahirkan genre-genre yang kemudian diikuti masing-masing subgenre---yang lahir dari sintesis antar genre atau subgenrenya. Seorang seniman yang begitu kuat karakternya bahkan bisa membebaskan dirinya dari genre yang ada. Ia adalah genre itu sendiri. Frank Zappa termasuk salah satunya.
Akan menarik bila dunia pendidikan---atau tepatnya persekolahan---sebebas dunia seni. Kesinisan seorang Ivan Illich terhadap sekolah sebagaimana dikenal luas dalam frasa Deschooling Society lahir dari sistem persekolahan, di seluruh dunia, yang justru berdampak anti edukasi terhadap masyarakat, karena sekolah lalu diakui sebagai satu-satunya spesialis lembaga pendidikan.Â
Dalam kata-kata Gorys Keraf sebagaimana dikutip oleh Djohar Maknun dalam Kritik Illich Terhadap Pendidikan, sekolah itu mahal sekali, sangat rumit dan hanya dinikmati oleh kaum eliter. Bahkan lebih lanjut Illich, sebagaimana dikutip oleh Peter Gray, berujar sekolah layaknya tempat ibadah yang mapan dalam sebuah masyarakat sekuler.
Ivan Illich kecewa karena persekolahan menciptakan segregasi kelompok terdidik dan terbelakang. Untuk itu ia menyuarakan penghapusan kewajiban belajar apabila hanya seperti itu. Sekolah harusnya lebih dari itu semua.Â
Dalam upaya menterjemahkan buku Deschooling Society dalam bahasa Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia pada tahun 2000, redaksi yang dipilih adalah Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah.Â