Benturan budaya ini melahirkan dikotomi orang kota dan orang udik. Dalam perspektif ini mudik adalah simbol perlawanan pedesaan atas hegemoni kota. Desa menampar wajah pongah kota melalui sindiran tanpa kata bahwa kota boleh punya peradaban namun tidak dengan adab. Ia adalah milik desa.
Para pemudik seibarat ikan salmon (Oncorhynchus mykiss) yang menghulu ke sumber sungai. Melawan arus dan menantang maut.
Salmon melakukan ritual ziarah mereka untuk menemukan tempat asal mereka. Menemukan jalan pulang lalu bertelur. Setelahnya ia membiarkan tubuhnya melemah hingga akhirnya mati. Ia mencapai tujuan penciptaanya.
 Dalam perspektif ini, mudik adalah serupa menelurkan nilai-nilai yang didapatkan dari pesta rohani selama satu bulan Ramadan penuh.
Hanya malangnya sebagian dari kita adalah salmon yang gagal bertelur. Bisa jadi berakhir di cakar tajam beruang grizzly, terdampar di bebatuan, atau terseret arus kembali ke hilir. Atau jangan-jangan sebagian dari kita malah gagal menjadi salmon itu sendiri.
Ia menjadi laron yang hidup dalam gemerlap cahaya. Ia tertipu dan larut dalam ketertipuannya. Saat mudik, manusia laron hanya akan pamer ketertipuannya oleh gemerlap kota---yang malangnya tidak pernah ia sadari.
Eid Mubarak!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H