Idulfitri adalah kembalinya kita kepada fitrah sejati yakni pencarian yang tak mengenal henti Wujud yang Mahatinggi, Allah Ta'ala. Puncak dari proses pencarian ini bukan pada kesendirian yang asketis apalagi dalam alienasi diri. Ia ada dalam kolaborasi yang saling menumbuhkan dan bukan saling meniadakan.Â
Inilah roh di balik tagline "Berlomba-lomba dalam kebaikan" yang Al-Qur'an ajarkan. Idulfitri adalah galeri nilai-nilai yang kita gali dan kumpulkan selama 1 bulan Ramadan. Sebelas bulan setelahnya, dan itu diawali dengan syawal sebagai pembukaan pameran bersama yang di dalamnya nilai-nilai luhur tersebut dikolaborasikan dengan seniman kehidupan lainnya.
Saat kecil dulu, saya menyebutnya Lebaran. Saat mendengar Idulfitri terasa terlalu resmi dan kental suasana masjidnya. Begitulah kurang-lebih kesan waktu kecil. "Lebaran itu artinya apa, ya?" tanya saya sama Bapak.
Seingat saya jawabannya waktu itu bahwa Lebaran berasal dari kata lubar yang dalam bahasa Sunda salah satu artinya adalah bebas.
"Orang Sunda mengatakan 'silih lubarkeun dosa jeung kasalahan' artinya 'saling membebaskan dosa dan kesalahan'." Makna ini nampaknya yang melatarbelakangi tradisi maaf-maafan dalam suasana Lebaran.Â
Secara filosofis kata-kata ikonik Lebaran 'mohon maaf lahir dan batin' dalam bingkai kolaborasi sebagaimana diisyaratkan dalam Idulfitri akan melahirkan sikap saling menepa diri, berbagi beban dan mengkalibrasi posisi yang berpuncak pada sikap toleransi. Dalam makna ini Lebaran sefilosofis Idulfitri. Dua ungkapan untuk satu hakikat dengan dua bahasa yang berbeda. Â Â
Tradisi mudik adalah asing dalam kehidupan pribadi saya. Saya hanya mengenal Lebaran di rumah Nenek di kawasan kaum Mangunreja. Hanya saja meski secara tradisi asing, akan tetapi fenomena mudik tentu lekat dengan masa kecil dulu. Jalan desa yang biasanya sepi mendadak ramai bahkan dipadati kendaraan.Â
Orang-orang menyemut di pasar atau toko-toko. Saya merasa susah bergerak di tempat-tempat seperti itu. Untuk itu berada di sana merupakan sesuatu yang tidak termasuk dalam daftar hal-hal yang saya sukai.
Sebuah pertanyaan muncul. Mengapa kita pada saat harus mengoptimalkan sisa hari beberkat Ramadan justru mengorbankannya di jalanan untuk mudik---yang menjadikan kita menjalani safar dan berkonsekuensi membatalkan kewajiban puasa kita? Mengapa tidak setelahnya?
Saya tidak tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Saya lebih tertarik untuk menelisik mudik itu sendiri. Â Â
Secara bahasa mudik artinya menuju ke udik. Udik adalah daerah atau kawasan hulu sungai. Secara filosofis mudik adalah upaya pencarian sumber yang utama. Secara bahasa udik juga berkonotasi negatif saat kota yang mengklaim diri sebagai pusat peradaban menganggapnya kuno, kolot dan ketinggalan zaman.Â