Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Rabi'ah al-Adawiyah: Ia yang Hanya Ingin Menyinta

30 April 2022   18:41 Diperbarui: 30 April 2022   20:02 852
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Rabi'ah al-Adawiyah (sumber: https://islami.co) 

Adalah Rabi'ah binti Ismail al-Adawiyah sufiah terbesar dari abad ke-8 Masehi. Secara ringkas orang-orang menyebutnya Rabi'ah al-Bashriyah. Ia anak perempuan keempat sehingga ayahnya menamainya Rabi'ah, yaitu anak perempuan keempat.

"Malam ketika Rabi'ah hadir ke dunia ini, tidak ada apapun di rumah ayahnya disebabkan sang ayah hidup dalam keadaan sangat miskin. Ia bahkan tidak punya setetes minyak untuk meminyaki tali ari anaknya [yang baru dipotong]; tidak ada lampu, dan tidak ada kain untuk membedongnya. Ia telah memiliki tiga anak perempuan, dan Rabi'ah adalah anak perempuannya yang keempat; untuk itu ia dipanggil dengan nama itu," tulis Fariduddin Attar dalam bukunya Tadzkiratul Auliya (Memoar Para Wali) yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris oleh A.J. Arberry.

"Pergilah ke tetangga atau siapa saja, dan mintalah setetes minyak, sehingga kita bisa menyalakan lampu," istrinya berkata kepadanya.

Saat itu lelaki tersebut telah bernadzar bahwa ia tidak akan pernah meminta apapun kepada makhluk. Jadi ia pergi ke luar dan hanya meletakkan tangannya di pintu rumah tetangganya tersebut, lalu kembali.

"Mereka tidak akan membuka pintu [selarut ini]," ia menyampaikan.

Wanita miskin itu menangis dalam kepahitan. Dalam kegelisahan lelaki itu meletakkan kepalanya dia lututnya dan kemudian tertidur.

Saat tidur tersebut ia bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw.

"Janganlah bersedih," hibur sang Nabi.

"Bayi perempuan yang baru saja terlahir ke dunia ini adalah ratunya kaum perempuan yang akan menjadi juru syafaat bagi 70 ribu umatku di hari Kemudian."

Sang Nabi melanjutkan, "Pergilah temui Isa al-Zadan, gubernur Basrah. Tulislah di atas kertas kata-kata berikut ini: 'Setiap malam engkau mengirimkan shalawat untukku sebanyak 100 kali, dan pada Jum'at malam 400 kali. Tadi malam adalah Jum'at malam, dan engkau melupakan aku. Sebagai tebuasan atas hal itu, berikanlah kepada lelaki ini 400 dinar dari hartamu yang sah.'"

Konon, menurut Fariduddin Attar, ayahnya Rabi'ah melakukan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw di dalam mimpinya. Ia bahkan mendapatkan 2000 dinar dari sang gubernur.

Itulah sekilas perjalan awal kehadiran sosok sufi wanita yang kemudian menginspirasi sufi-sufi besar sekaliber Ibnu Arabi, Al-Ghazali dan Rumi.

Ia yang Bermanja dengan Tuhan

Rabi'ah bermaksud untuk menunaikan ibadah Haji. Saat di perjalanan, di tengah-tengah gurun yang tandus keledainya mati. "Duhai Tuhan," ia menangis sambil menengadahkan kepalanya, "Apakah para raja begini memperlakukan seorang perempuan di tempat asing sementara ia tiada berdaya? Engkau telah mengundang hamba mengunjungi rumah Engkau, kemudian di tengah perjalanan Engkau mencabut nyawa keledai hamba, meninggalkan hamba sendiri di tengah gurun." (Tadhkirat al-Auliya', diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh A. J. Arberry, Omphaloskepsis: Iowa, 2000, Hal. 33)

Belum kunjung ia menyelesaikan doanya ini, keledainya bergerak dan bangkit kembali. Rabi'ah pun memuatkan perbekalannya ke punggung si keledai tadi dan melanjutkan perjalanan.

Dalam perjalanan selanjutnya, dalam kelelahan ia berhenti dan berdoa:

"Duhai Tuhan," ia berkata, "hati hamba lelah. Ke manakah gerangan hamba akan menuju? Hamba segumpaI tanah liat, sementara rumah Engkau adalah batu! Hamba ingin Engkau di sini [bersama hamba]."

Tuhan berfirman tanpa perantara dalam hatinya.

"Rabi'ah, engkau setara 18 ribu kehidupan dunia. Tidakkah engkau mengetahui bagaimana Musa berdoa untuk penampakan-Ku? Dan aku menampakan beberapa zarah penampakan[-Ku] di atas gunung, dan gunung tersebut terbelah menjadi 40 pecahan. Cukuplah di sini dengan nama-Ku!" (Ibid, Hal. 33-34)

Madzhab Mahabbah (Cinta)

Rabi'ah dikenal sebagai pendiri aliran mahabbah (cinta) dalam dunia tasawuf. Kecintaan kepada Tuhan menjadi poros utama kesufiannya. Dikisahkan Rabi'ah gemar membawa obor di tangan kiri dan guci berisi air di tangan kanannya. Saat ditanya mengapa melakukan itu, Rabi'ah menjawab bahwa dengan obor ia ingin membakar sorga agar orang-orang tidak menyembah Allah demi sorganya; adapun dengan air, ia ingin memadamkan api neraka agar orang-orang tidak menyembah Allah karena takut akan neraka-Nya. Rabi'ah ingin kita mencintai Allah demi alasan Allah itu Sendiri. Tidak ada selainnya.

Ungkapan legendaris dari Rabi'ah tentang kecintaan kepada Allah adalah saat ia ditanya tentang kebenciannya terhadap syaitan. Ia konon berkata bahwa kecintaan kepada Allah telah memenuhi relung hatinya, sehingga tidak ada lagi ruang tersisa untuk kebencian. Lebih dari seribu tahun setelahnya, pada tahun 1980 Khalifah Jamaah Muslim Ahmadiyah, Hadhrat Mirza Nasir Ahmad meredaksikan ulang dalam moto Love for All Hatred for None (Cinta untuk Semua, Tiada Kebencian bagi Siapapun).

Cinta yang Tak Padam oleh Maut

Tidak ada makhluk yang ditakdirkan untuk abadi. Semua akan mereguk anggur kematian. Pun demikian halnya dengan Rabi'ah. Saat maut akan menjemput, pelayat mulai meninggalkan ruangan dan menutup pintu. Dari balik kamar terdengar sebuah suara berkata, "Wahai jiwa yang damai, kembalilah kepada Tuhanmu dengan bahagia." Waktu berlalu dan tidak ada lagi suara yang terdengar dari ruangan, kemudian mereka membuka pintu dan mendapati bahwa Rabiah telah meninggal.

Setelah kematiannya, seseorang bertemu dengan Rabiah dalam mimpi. Dia bertanya, "Bagaimana engkau menghadapai malaikat Munkar dan Nakir?"

Rabiah menjawab, "Para pemuda itu (Munkar dan Nakir) datang kepadaku dan berkata, 'Siapakah Tuhanmu?' Aku menjawab, 'Kembalilah dan katakan kepada Allah, di antara ribuan makhluk, janganlah Engkau melupakan seorang wanita tua yang lemah ini. Aku, yang hanya memiliki-Mu di dunia, tidak akan pernah melupakan-Mu, mengapa Engkau harus mengirim utusan untuk bertanya 'siapakah Tuhanmu?'" (Ibid, Hal. 45-46 dikutip dari Wafatnya Rabi'ah al-Adawiyah)

Maut tak bisa memadamkan cinta Rabi'ah kepada Kekasihnya yang sejati, Allah.

Moderasi dalam Beragama

Sufisme lahir setidaknya satu abad pasca kemangkatan Nabi Muhammad saw. Kezuhudan yang dipraktikkan Nabi Muhammad saw dan para sahabat beliau merupakan prototipe dari sufisme di kemudian hari. Secara esensial, muslimah pertama dalam sejarah Islam, Khadijah ra tidak kalah mencengangkannya dari sepak terjang Rabi'ah. Malah sebagaimana diakui oleh para ulama A.J. Arberry, berkenaan dengan Rabi'ah kita harus berhati-hati dengan interpolasi dalam penghikayatannya. Sebab tidak sedikit pernyataan atau bahkan hikayat yang dinisbahkan kepada Rabi'ah itu lebih bersifat legenda alih-alih peristiwa yang benar-benar faktual. Hal yang sering terjadi dengan tokoh-tokoh besar lainnya.

Khadijah al-Kubra, Fatimah az-Zahra dan Aisyah ar-Ridha adalah wanita-wanita agung yang tidak pernah kita dengar sebagai sufi, atau berkata-kata yang bersifat syathahat (kemabukan spiritual). Namun, siapapun pasti sepakat betapa agung kedudukan ketiganya. Ibu dan anak, Khadijah dan Fatimah, keduanya disebut oleh Nabi saw sebagai Penghulu Ahli sorga di kalangan wanita. Atau, Aisyah yang oleh Nabi saw para sahabat disuruh untuk belajar Al-Qur'an darinya dengan sebutan indah, Humairah (yang berpipi kemerah-merahan). Dan ia yang menyimpulkan keseluruhan karakter indah sang Nabi dalam kalimat singkat, kaana khuluquhul Qur'an, bahwa beliau adalah Al-Qur'an yang berjalan.

Ketiganya yang menempuh kehidupan zuhud sama sekali tidak disebut sufi. Ikatan kerohanian dengan wujud suci Rasulullah saw menjadikan ketiganya memiliki koneksi istimewa dengan Allah SWT tanpa harus menempuh perjalan berliku para sufi. Inilah contoh moderasi dalam beragama para sahabat di bawah tilikan sang Nabi saw.. Bila Rabi'ah adalah ekspresi individualitas dalam beragama, maka ketiga wanita agung yang disebutkan terakhir merupakan gabungan serasi individualitas dan kolektivitas dalam beragama.

Ada banyak jalan menuju Roma, memang, bila mengutip pepatah lawas.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun