Hazleton jelas merujuk kepada ayat ke-7 dari QS Ali 'Imran sebagai dasar perkataannya di atas. Kemudian Hazleton juga mengkritisi profanitas gambaran sorga dengan bidadarinya dalam kata-katanya yang elegan: Â
"Frasa Allah al-Khabiir (Maha Mengetahui Rahasia) muncul berulang-ulang, dan sungguh, keseluruhan Al-Qur'an jauh lebih pelik dari pada yang umumnya kita cenderung yakini. Seperti misalnya berkenaan dengan bidadari dan sorga. Pandangan bercorak orientalisme usang berperan di sini. Kata yang digunakan empat kali [tentang bidadari ini] adalah huurun, yang [kemudian] diterjemahkan sebagai gadis bermata hitam [indah] dengan buah dada yang (maaf) montok, atau sebagai gadis cantik berbuah dada padat berisi. Namun [sebenarnya] semua yang ada dalam bahasa Arab aslinya hanyalah satu kata: huurun. Tidak dijumpai adanya kata-kata buah dada yang (maaf) montok atau padat berisi.
Barangkali cara untuk mengartikan huurun dengan baik adalah 'makhluk murni', seperti kepada malaikat. Atau mungkin seperti kouros dalam bahasa Yunani atau kore, Â yakni seorang pemuda nirwaktu (abadi). Tapi kenyataannya, tidak ada yang benar-benar tahu. Dan itulah intinya. Karena Al-Qur'an cukup jelas ketika mengatakan bahwa Anda akan menjadi 'ciptaan baru di surga', dan bahwa Anda akan 'diciptakan kembali dalam bentuk yang tidak Anda ketahui', yang menurut saya merupakan peluang yang jauh lebih menarik daripada [gambaran] seorang perawan.
Dan angka 72 itu tidak pernah ada. Tidak ada 72 perawan dalam Al-Qur'an. Gagasan itu baru muncul 300 tahun kemudian, dan sebagian besar sarjana Islam melihatnya sebagai setara dengan dewa-dewi bersayap yang duduk di atas awan dan memetik harpa.Â
Sorga justru sebaliknya. Sorga bukanlah tentang virginitas yakni kenaifan, keperawanan atau ketidakberpengalaman; ini tentang fekunditas yaitu kesuburan atau kemampuan menghasilkan gagasan-gagasan baru; ini tentang keberlimpahan. Sorga adalah taman yang mengalir sungai-sungai di bawahnya." (Lesley Hazleton, 2010, A Tourist Reads The Koran)
Hazleton, seorang Yahudi agnostik---yang mengaku hanya sebagai turis dalam kesemestaan Al-Qur'an dengan indah---dengan jitu membela saudari-saudari jauhnya, para wanita muslim dari hegemoni bidadari sorga kaum lelaki mereka. Hemat saya Hazleton berhasil dengan baik dalam pembelaannya.
Sekali lagi, Belajar Kearifan dari Burung-Burung
Untuk kesekian kalinya saya belajar dari burung-burung yang arif. 30 burung yang bermusyawarah dan bermantik dalam Mantiq al-Thayr-nya Fariduddin Attar.
Sorga dan neraka adalah proyeksi dari citra amal perbuatan kita dalam kehidupan ini. Saat roh kita terbebas dari penjara tubuh kita, ia terlahir dalam wujudnya yang baru dengan kepekaan beribu kali lipat dari pada saat ia terkukung dalam jasad. Ia kini siap mengindera citra sejati dari apa yang telah ia perbuat bersama jasad yang kini telah ia tinggalkan. Segala kebaikan akan mewujud dalam bentuk sorga-Nya, dan kebalikannya, segala ketidakbaikan akan menjelma dalam bentuk neraka-Nya.
Layaknya ketiga puluh burung yang mencari Simurgh. Mereka menemukan kesejatian bahwa Simurgh tidak lain dari proyeksi dari citra diri mereka sendiri. Pun demikian halnya dengan sorga---saya sendiri memilih untuk menghindari pembahasan tentang neraka sebagai ia-yang-namanya-tidak-untuk-disebutkan---para bidadari yang kita dambakan itu tidak lain dari citra keindahan amalan kita sendiri. Tidak ada yang dirugikan oleh keindahan sang bidadari. Sebab ia ada untuk setiap kita dengan tanpa memandang gender. Ia adalah kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H