Tentu tidak akan banyak yang akrab dengan istilah vidhyadhar. Kata ini secara etimologis berasal dari kata vidhya yang berarti "pengetahuan" dan dharya berarti "pemilik", "pemakai" atau "pembawa". Jadi vidhyadhar secara sederhana berarti pemilik atau pembawa pengetahuan. Bila masih ada di antara pembaca yang masih belum kunjung mengenal sosok vidhyadhar ini, maka saya akan ganti dengan sebutan bidadari. Sekarang nampaknya semua sudah mengenalnya.
Padanan kata Arab untuk vidhyadhar adalah huur. Sementara dalam bahasa Inggris adalah angel. Secara pemaknaan, huur lebih dekat kepada bidadari dalam bahasa Indonesia daripada vidhyadhar atau angel. Bidadari atau huur lebih dideskripsikan sebagai wanita sorgawi bermata indah.Â
Sementara untuk makna vidhyadhar atau pun angel, dalam bahasa Arab lebih condong disebut malaa'ikah (malaikat). Tapi ada satu persamaan dari keempatnya, yakni baik vidhyadhar, huur, angel ataupun malaikat sebenarnya tidak mengenal gender. Keempatnya berlaku baik untuk laki-laki maupun perempuan.
Sebuah Tanya yang Menggugat
Bila pasangan di sorga bagi muslimin adalah bidadari yang lazim disebut sebagai huurun 'iin lalu siapa pasangan bagi para muslimah?
Banyak sudah tulisan yang mencoba menengahi ketimpangan ini. Namun harus diakui tidak sedikit yang kemudian berujung di simpulan dogmatis Tuhan Maha Adil sehingga muslimah pun pasti akan mendapatkan ganjarannya yang setimpal. Atau, ada yang sedikit menghibur dengan mencari padanan untuk bidadari bagi saudara muslimnya dengan 'tawaran' pangeran sorga. Dan tentu saja ada juga yang berusaha memaknainya berbeda dari kedua jawaban sebelumnya. Saya tertarik dengan jawaban yang terakhir ini. Â Â
Dalam bagian akhir tulisan kecil saya yang berjudul The Eye, saya mengutip nama Lesley Hazleton dengan paparannya di TEDxRainier tahun 2010 lalu yang berjudul judul A Tourist Reads The Koran. Ia menyampaikan hasil bacaan dan risetnya tentang Al-Qur'an. Namun, meskipun demikian, dengan hati-hati tetapi sekaligus jenaka, Hazleton mengungkapkan:
"Saya cukup sadar, bahwa, saya tak ubahnya seorang 'wisatawati' dalam [semesta] Al-Qur'an---sebagai seseorang yang terinformasi, bahkan memiliki pengalaman, akan tetapi tetap sebagai orang luar---seorang Yahudi agnostik yang sedang membaca kitab suci orang lain."
Saya harus mengakui sikap kritis Hazleton dalam bacaannya terhadap Al-Qur'an sungguh menggugah rasa kagum. Cerdas sekaligus hati-hati. Gambaran sikapnya tersebut tersirat dalam kata-katanya berikut:
"Barangkali ini adalah kejutan terbesarnya---betapa fleksibelnya Al-Qur'an, setidaknya bagi kalangan yang benar-benar tidak fleksibel. Al-Qur'an mengatakan, 'beberapa ayat memiliki arti yang jelas (muhkamat) ' [tetapi] ia juga mengatakan bahwa 'ayat-ayat lainnya ambigu (mutasyabihat)'. Seorang yang berhati bengkok akan mencari keambiguan, mencoba membuat perselisihan dengan menentukan makna mereka sendiri. Hanya Tuhan yang tahu arti yang sesungguhnya."