Majnun dengan Layla-nya. Hanya saja memang sulit untuk menafikan imaji seraut wajah anggun berhiaskan senyum indah saat mendengar frasa lesung pipit disebut. Sungguh, sebuah kata seringkali lebih visual dari pada seribu gambar.
Ini bukan tentang kecantikan. Bukan juga tentangSecara leksikal, lesung pipit adalah lekuk kecil pada pipi yang tampak jika tersenyum. Sementara secara fisiologis lesung pipit malangnya dianggap sebagai deformitas otot wajah. Para ilmuwan menyebutnya sebagai zygomaticus major. Â Sebuah istilah yang boleh jadi bukan pilihan tepat saat kita akan merimakan rasa dalam kata.
Lesung adalah sebuah lumpang, yaitu tempat yang di atasnya ibu-ibu menumbuk padi. Sementara pipit adalah nama umum untuk burung-burung kecil pemakan biji-bijian, termasuk padi tentunya. Lesung pipit (kemudian lebih umum menjadi lesung pipi) memberikan gambaran seceruk kecil yang mana hanya cukup untuk paruh kecil burung pipit. Saya menangkap ada pesan halus dari fenomena di wajah yang kemudian dianggap sebagai pemanis dan pengindah senyuman.
Adakah hubungan pipit dengan sebuah senyum? Saya berharap bisa menjawabnya di akhir tulisan. Â
Burung Pipit
Tulisan kecil sebelumnya yang berjudul Burung-Burung Kearifan masih kuat beresonansi dalam ruang pikir saya. Letupan-letupan kecil dalam mangkuk renungan seputar burung-burung yang fasih berdialektika dan bernarasi masih terus berlangsung. Saat jari-jari tidak lagi bisa mengetikkan kata-kata di atas bilah tuts, saya mencoba untuk menutupi ketidakmampuan bertutur ini dengan mencari kisah tentang burung tetapi yang tidak bercerita. Ia haruslah seekor burung yang tak bertutur. Seekor burung biasa yang tidak akan mempermalukan saya. Burung-burung yang bermusyawarah itu memang benar-benar keterlaluan. Sulit untuk menyembunyikan rasa iri atas kefasihan mereka. Perlu waktu untuk sejenak menyembunyikan rasa ini. Saya harus menemukan kisah burung yang tak bertutur. Itulah gagasan awalnya.
Adalah Al-Mawaa'izh al-'Ushfuriyyah (Nasihat-Nasihat Burung Pipit) karya Syekh Muhammad bin Abu Bakar al-Ushfury. Kitab ini sejatinya berisi 40 hadits yang bertemakan motivasi, kisah-kisah tasawuf dan adab. Hanya saja yang membuatnya istimewa al-Ushfiry mengemasnya dengan kisah dan hikayat sufiyah. Uniknya kisah mengenai burung pipit sendiri hanya ada satu dalam kitab yang kemudian dikenal sebagai Kitab Usfuriyah tersebut. Ke-39 hadits---yang dilengkapi kisah dan hikayat sebagai penjelasannya---lainnya tidak ada satu pun yang berkisah tentang burung pipit.
Nampaknya penamaan Kitab Ushfuriyah sendiri bersandar kepada dua alasan. Pertama, pipit dalam bahasa Arab adalah 'ushfur. Dan pembahasan hadits pertama dalam kitab tersebut, yang bertemakan Mengasihi Sesama Makhluk, mencantumkan kisah Umar bin al-Khattab dengan seeokor pipit. Kedua, Muhammad bin Abu Bakar berasal dari klan 'Ushfuriyah yang pada tahun 1253 memperoleh kekuasaan di bagian timur Arab, termasuk Bahrain sekarang. Jadi Al-Mawaa'izh al-'Ushfuriyah (Nasihat-Nasihat Al-'Ushfury).
Saat Singa Diselamatkan Seekor Pipit
Suatu ketika Khalifah Umar ra sedang berjalan-jalan melewati jalan raya kota. Di sana ia melihat anak kecil yang  memegang burung pipit sambil memainkannya. Melihat demikian itu, Umar ra merasa kasihan dengan burung itu.
Kemudian Khalifah Umar pun membeli burung itu dari si anak kecil. Setelah terbeli, ia pun melepaskannya. Beberapa waktu kemudian, Umar radhiyallahu 'anhu meninggal dunia. Banyak dari kalangan para ulama jumhur memimpikannya. Di dalam mimpi itu, mereka bertanya kepada Umar tentang kabarnya: