"Dan tidak ada seekor binatang pun yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan semuanya merupakan umat-umat (juga) seperti kalian. Tidak ada sesuatu pun yang Kami luputkan di dalam Kitab, kemudian kepada Tuhan mereka, mereka semua akan dihimpun." (QS Al-An'am: 38)
Bias dalam Membaca Ayat
Sejak kecil saya menggandrungi gagasan ekstraterestrialisme. Sangat mudah bagi saya untuk menerima gagasan bahwa jagat raya ini terlalu luas bila itu untuk dihuni oleh kita sebagai satu-satunya makhluk cerdas di dalamnya. Untuk itu saat membaca ayat ke-38 dari QS Al-An'am di atas, pikiran saya langsung memicu sebuah tanya: Mungkinkah yang dimaksud 'burung' yang terbang dengan kedua sayapnya adalah ungkapan metaforis untuk ras cerdas non-bumi yang mumpuni dalam teknologi penerbangan antarbintang?
Rasa ingin tahu pun semakin menjadi saat membaca akhir dari ayat tersebut yang menggaris bawahinya dengan kata-kata 'kemudian kepada Tuhan mereka, mereka semua akan dihimpun.' Sejak kata yuhsyarun (dikumpulkan atau dihimpun) lazimnya dipergunakan untuk manusia, maka 'burung' dalam ayat ini pun bisa dianggap sama kedudukannya dengan manusia. Terlebih penggunaan kata-kata umamun amtsalakum (umat-umat seperti kalian) semakin menguatkann simpulan bila penggunaan sebutan 'burung' dalam ayat tidak maksudkan sebagai burung pada umumnya.
Ini adalah contoh bias pemahaman saat kita membaca sebuah teks ayat. Saat ini, masa kecil itu sudah jauh tertinggal di belakang. Dan kini saya menggandrungi tasawuf juga sekaligus filsafat. Dua hal yang biasanya berseberangan. Lalu sebuah bias kembali mewarnai saat membaca ayat tersebut.
Ayat ini mengingatkan bacaan sederhana saya atas buku Manthiq al-Thayr karya Fariduddin Attar (1120-1230). Dalam buku yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia ini dikisahkan secara alegoris bagaimana burung-burung berdialog dan berdialektika dalam pencarian Raja mereka, Simurgh atau Simorgh. Di mana 30 burung akhirnya menempuh perjalanan dan pencarian untuk menghadap ke singgasana Raja mereka.  Â
Belajar Kearifan dari Para Burung
Tujuh lembah harus mereka lalui untuk tiba di hadapan singgasana Simurgh. "Lembah pertama adalah Lembah Pencarian. Kedua, Lembah Cinta. Ketiga, Lembah Pemahaman. Keempat, Lembah Kebebasan dan Kelepasan. Kelima, Lembah Kesatuan Sejati. Keenam, Lembah Ketakjuban. Ketujuh, Lembah Kefakiran dan Kefanaan. Di balik itu, tak ada lagi apa-apa," ungkap Attar melalui tokoh utamanya burung Hudhud.
Setelah melalui fase ketujuh, yaitu Lembah Kefakiran dan Kefanaan, ketiga puluh burung tersebut pun akhirnya menyadari bahwa Simurgh tak lain dari hakikat diri mereka sendiri. Dalam bahasa Persia, menurut Hasanul Rizqa dalam Fariduddin Attar dan Memetik Hikmah dari 30 Burung, simorgh merupakan perpaduan dari dua kata, yakni si yang berarti 'tiga-puluh' dan morgh 'burung'. Simurgh atau Simorgh dalam literatur Barat identik dengan Phoenix, burung keabadian.
Jadi ternyata pencarian Simurgh hakikatnya adalah pencarian jati diri masing-masing ketiga puluh burung itu sendiri. Dan burung-burung itu adalah gambaran diri kita dalam mencari Al-Malik. Sebab, terlalu musykil bagi bagi kita untuk menerima burung-burung biasa berdialog sesufistik dan sefilosofis itu. Terlalu sulit bagi kita untuk menerima kenyataan bahkan burung-burung biasa tersebut mengutip romansa sufistik Layla dan Majnun dalam bermantiknya. Â Â