Sabtu adalah hari ketujuh. Hari terakhir dalam putaran hari-hari per minggunya. Setelahnya, urutan hari-hari akan kembali dari Ahad (Minggu) sebagai hari yang pertama dan seterusnya sampai tuntas satu bulan.
Sebuah Pertanyaan Menggoda
Ada sebuah pertanyaan sederhana yang begitu menggelitik tentang hari. Saya hampir yakin sebagian pembaca pernah menjumpainya. Pertanyaannya kurang lebih sebagai berikut: "Mengapa dari Sabtu ke Minggu berjarak satu hari sedangkan dari Minggu ke Sabtu berjarak enam hari? Mengapa tidak sama?"
Barangkali seringkalinya yang ditanyakan adalah jarak dari Minggu ke Senin dan sebaliknya. Akan tetapi karena pada prinsipnya sama, hemat saya penggantian menjadi Sabtu ke Minggu secara esensial akan tetap sama. Adapun alasan pemilihan Sabtu untuk dijadikan pertanyaan karena saat tulisan ini dibuat bertepatan dengan hari tersebut.
Terdapat beragam jawaban berkenaan dengan pertanyaan di atas mulai dari yang logis matematis, pragmatis sampai psikologis. Tentu saja selalu ada jawaban yang super santuy khas warganet. Dan saya tidak akan membahas jawaban-jawaban tersebut satu per satu. Kita bisa menemukannya di Quora, Brainly atau Google secara umumnya.
Deratan hari-hari dalam tiap minggu bersifat sirkular. Seperti halnya deretan angka 1 sampai 12 pada jam. Berputar searah dan melingkar. Tidak linear. Oleh sebab itu, tidak seperti dalam sebuah deret linear---yang mana dari satu titik ke titik lainnya bisa bolak-balik dengan jarak yang sama---dalam deret sirkular ia harus melingkar menempuh satu putaran yang searah dan itu pun hanya untuk tiba di sebuah titik bayangnya. Layaknya dalam sebuah spiral, kita tidak pernah akan kembali ke satu titik yang sama kecuali kita berputar arah. Â
Misalnya hari Sabtu ini. Kita sebut saja, Sabtu di akhir siklus M-2 April (baca: minggu kedua April). Untuk tiba titik Minggu (M-3 April), karena searah dengan putaran hari-hari maka tempuhannya hanya satu hari. Sementara bila kita balik dari Minggu (M-3 April) ke Sabtu (M-2 April), maka itu artinya membalikan arah putaran. Dan itu sama saja artinya dengan kembali ke masa lalu. Sejak kita tidak bisa kembali ke masa lalu dalam siklus mingguan kita, maka artinya kita hanya akan bertemu dengan Sabtu dalam siklus mingguan realtime kita (M-3 April) yang jaraknya 6 hari. Secara matematis sederhana Sabtu-Minggu (a) = 1 hari, sementara Minggu-Sabtu (b) = 6 hari. Jadi, tentu saja a < b.
Itulah mengapa akhir pekan serasa melayang cepat bila dibanding rentangan hari dari Minggu menuju Sabtu. Simpati pada akhir pekan inilah nampaknya yang melahirkan keluhan I don't like Monday.
Di Balik Dua Kaidah yang Berlawanan
Dalam ilmu sejarah ada dua kaidah yang seakan saling meniadakan. Pertama adalah kaidah bahwa sejarah itu berulang. Sementara yang kedua bahwa sejarah itu bersifat unik. Jalan tengah dari kedua kaidah tersebut adalah sejak di dunia ia terlarang adanya keterulangan yang persis sama (einmalig), maka yang ada hanyalah kemiripan atau keserupaan peristiwa (history repeats itself).
Keterulangan mutlak adalah terlarang dalam alam karena bertentangan dengan kemahapenciptaan Tuhan. Dia, Sang Maha Pencipta, memiliki kuasa yang tak terhingga untuk menciptakan sesuatu secara unik. Tidak ada dua ciptaan-Nya yang sama persis. Kebijaksanaan-Nya mewajibkan setiap makhluknya bersifat unik sebab Dia, Allah, adalah Al-Khaliq.
Waktu, sebagai ciptaan Tuhan, dengan tegas melarang keterulangan. Ia akan menebas tanpa ampun setiap upaya makhluk untuk menodai kemahapenciptaan Al-Khaliq melalui keterulangan mutlak. Pesan tersembunyi di balik setiap upaya manusia untuk kembali ke masa lalu atau mengulang waktu adalah upayanya untuk mengakali ketentuan Al-Khaliq. Dan ketentuan-Nya tersebut juga adalah ciptaan-Nya. Dalam posisi ini benarlah ujaran para sufi bahwa waktu adalah pedang. Dan, dalam konteks ini pula, benar sekali perkataan Imam Hasan Al-Bashri---sebagaimana saya kutip dalam tulisan sebelumnya, Tempus Fugit:
"Wahai anak Adam, kamu tidak lebih dari serangkaian hari. Kapanpun satu hari berlalu, maka begitu pun sebagian dari kamu telah berlalu."
Dua kaidah dalam ilmu sejarah menemukan titik rekonsiliasinya.
Menyarungkan Pedang Terhunus
Ramadan mengajarkan kepekaan terhadap waktu. Sebagai Syahrul 'Ibadah (Bulan Ibadah), Ramadan melatih kita untuk memperhatikan ibadah sesuai waktu terbaiknya. Bukan itu saja, bulan yang mulia ini juga mengatur waktu makan, waktu tidur, waktu intimasi dan hal-hal penting lainnya. Bila saja kita secara sadar menjalani dan menafakurinya, maka Ramadan telah menyarungkan pedang waktu yang kapan saja siap menebas nadi kehidupan kita. Sebuah pelajaran teramat berharga yang teramat sayang untuk terluputkan begitu saja.
Hari ini, Sabtu, adalah hari ketujuh baik dalam siklus mingguan maupun penanggalan Ramadan. Mulai besok, Minggu, koinsidensi ini akan berakhir. Sebab, hari Minggu esok urutan hari dalam minggu kembali kepada satu (Ahad) sementara dalam penanggalan Ramadan kita memasuki tanggal yang kedelapan. Tentu tidak ada yang istimewa dengan koinsidensi ini. Akan tetapi bukan berarti tanpa makna sama sekali. Setidaknya untuk menyisakan ruang renungan saat menutup tulisan ini.
Selamat berakhir pekan! Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H