Mohon tunggu...
Dodi Kurniawan
Dodi Kurniawan Mohon Tunggu... Guru - Simplex veri sigillum

Pengajar di SMA Plus Al-Wahid

Selanjutnya

Tutup

Music

Mengintip Kesemestaan Melalui Musik

11 Maret 2022   16:10 Diperbarui: 12 Maret 2022   09:56 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jonas Bronck, pria berkebangsaan Swedia pertama yang tinggal di kawasan yang merupakan bagian dari koloni New Netherland, New York Amerika Serikat sekarang pada tahun 1639. Koloni bangsa Eropa tersebut kemudian menggeser keluar suku asli kawasan tersebut, Lenape pada tahun 1643. Dari nama Bronck inilah kemudian sebutan kota Bronx yang sekarang kita kenal berasal.

Bronx, tepatnya Bronx Selatan merupakan tempat kelahiran genre musik hip hop. Sebuah genre yang oleh Majalah Jet disebut sebagai musik yang akan sepopuler rock 'n' roll.

"Tepat saat Anda mengira semua musik mulai cenderung sama, maka muncullah 'hip hop' sang suara New York, melontarkan seni rap ke tengah pusat perhatian.... [Ia] menjanjikan untuk menjadi bentuk musik paling populer setelah rock 'n' roll." - Jet magazine, May 27, 1985.

Hip hop lebih dari sekedar sebuah genre musik. Ia adalah subkultur. Oleh sebagian orang hip hop bahkan merupakan gaya dan jalan hidup. Di dalamnya tercakup cara berpakaian, tarian, gaya bicara, seni graffiti, musik, beat box dan tentu saja rap. Rap sendiri adalah genre musik asal Amerika yang bercirikan penggunakan rima kata. Hip hop, diyakini para peniliti musik memiliki akar budaya dari Afrika Barat, tepat Mali yang disebut griot.

"Secara tradisi, griot merupakan serupa kasta sosial, sebuah seni dan kedudukan penting dari seni mendongeng yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi keluarga griot. Oleh sebab itu, tidak setiap bisa menjadi seorang griot. Sebagai tambahan, para griot bertanggung jawab untuk mengabadikan [berupa musik dan cerita] semua kelahiran, kematian dan perkawinan sepanjang generasi keluargan dan kampungnya. Mereka mengisahkan kisah-kisah mereka melalui musik dengan empat instrumen utama: kora (seperti sasando dengan 21 dawai yang bunyinya mirip harpa), balafon, ngoni, dan vokal. Dan, bisa jadi tiap keluarga griot fokus pada satu instrumen, yang mereka pelajari cara pembuatannya, memelihara dan mewariskannya kepada keluarga mereka selama beberapa generasi." (Lize Okoh, What Is a Griot and Why Are They Important?)  

Tidak heran bila subkultur hip hop ini lahir dari kalangan Afro-Amerika di Bronx. Secara umum subkultur ini lahir pada akhir tahun 1970an. Uniknya sosok yang didapuk sebagai pelopor hip hop adalah Clive Campbell atau lebih dikenal sebagai DJ Kool Herc adalah seorang keturunan Jamaika. Namun, sebenarnya penyanyi blues sudah lama terbiasa merapalkan kata-kata dengan teknik spoken word (berpuisi tetapi dengan gaya bertutur, seperti bicara hanya beritme). Jejak-jejak memori lamat para imigran kulit hitam akan Afrika terekam dalam tradisi musikal mereka di tanah air baru mereka, Amerika. Blues, jazz---bahkan rock 'n' roll---dan tentu saja, hip hop merupakan genre musik yang berakar dari tradisi orang-orang kulit hitam Amerika. Mungkinkah mereka adalah pewaris DNA griot?

Saat SMA pada tahun 1990-1991, saya mendengarkan lagu Crosstown Traffic Jimi Hendrix melalui kaset yang saya beli di toko kaset Kenari Tasikmalaya. Untuk kali pertamanya berkenalan dengan ritmik hip hop meski dalam balutan utama rock. Lagu ini sendiri ditulis oleh Hendrix pada tahun 1968. Masih pada tahun 1991, saya kembali berkenalan dengan hip hop dan khususnya musik rap saat membeli kaset band heavy metal (kemudian jadi trashmetal) asal New York, Anthrax dari album Attack of the Killer B's 1991. Lagu Bring the Noise yang merupakan cover dari karya Public Enemy sekaligus sebagai penanda kolaborasi metal dan hip hop lengkap dengan rapnya. Sungguh paduan yang mengejutkan. Setelah berkenalan dengan Anthrax baru kemudian mengenal Eminem. Secara pribadi saya menyukai musik hip hop atau khususnya rap. Lebih secara musikal alih-alih pada aspek lirik ataupun konten.

Musik rap, dan khususnya Eminem, membuat saya bertanya-tanya apakah ada seni merapal kata serupa rap tetapi di lingkup yang berbeda?

Akhirnya saya menemukan Rudy Francisco. Seorang spoken word poet. Seorang perapal kata-kata seperti halnya rapper hanya saja dengan rima yang tidak serapat dan semusikal rap. Sebuah puisi yang dibacakan dengan irama yang tidak bernyanyi. Permainan intonasi, infleksi suara dan permainan kata. Puisi favorit saya dari Rudy Francisco adalah Islamophobia yang ia bawakan secara luar biasa bersama Nastaha Hooper dan Amen Ra. Karena Rudy berkulit hitam kembali terbetik dalam pikiran, apakah teknik pembacaan puisi seperti ini juga merupakan warisan dari para griot?

Rambatan pikiran menjalar kemana-mana. Kilasan jejak perjalanan leluhur kita dari benua hitam Afrika dalam filmnya dokumenternya The Journey of Man sukar untuk diabaikan. Sama seperti halnya saat menemukan mutiara dari Tuva, Alash. Trio yang memelihara dengan ketat tradisi throat singing yang kembali bisa dilacak ke tanah Afrika. Tradisi 'main-main' dengan pita suara ada di berbagai tradisi budaya, seperti khoomei di Tuva, yoddeling di kawasan Alpen Eropa atau beluk dalam tradisi Sunda di Nusantara.       

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun