Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ribut-Ribut Asap Pembakaran Tebu

30 Oktober 2024   11:11 Diperbarui: 30 Oktober 2024   11:23 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Ribut-Ribut Asap Pembakaran Tebu Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), bulan Oktober di Indonesia khususnya di Pulau Jawa masih memasuki musim kemarau, sehingga cuaca panas dan terasa kering akan terus terjadi setidaknya sampai akhir bulan, padahal seharusnya Oktober sudah mulai turun hujan . 

Meski fenomena kemarau yang tak lazim ini sudah disuarakan, tetap saja ada oknum-oknum yang menganggu kesyahduan musim kemarau seperti oknum petani tebu. Oknum-oknum petani tebu yang ngeyel mencoba mengganggu kesyahduan musim kemarau dengan membakar panen tebu tanpa memperdulikan orang lain yang mencoba mendramatisir penderitaannya di musim kemarau. 

Memang pembakaran tebunya tidak dilakukan disiang hari bolong, melainkan sore hari menjelang maghrib tiba hingga larut malam. Bagi anak senja momen ini mungkin sakral karena mengkolaborasikan warna jingga mentari dan warna merah api yang membara. Cocok sebagai tempat nongkrong dan ngopi senja. 

Tetap saja, pembakaran tebu tidak bisa dinormalisasi sebagai kegiatan yang biasa-biasa saja, meski tiap tahunnya terjadi. Entah, sudah berapa banyak keributan yang terjadi sebagai dampak pembakaran tebu yang kian tak terkendali. 

Di Jombang, fenomena ini sering terjadi saat musim panen tebu di bulan Juli hingga Oktober di setiap tahunnya, jika ingin menyaksikan aurora jingga di malam hari, datang saja ke Jombang di bulan-bulan itu pasti mengasyikkan. Ketahuilah, dampak dari pembakaran tebu, tak semanis air tebu. 

Bayi Sesak Nafas Hingga Hampir Menjemput Ajal

Ini bukan cerita drama atau sinetron azab, ini memang cerita sesungguhnya dari dampak pembakaran tebu. Di suatu desa di Jombang, yang dihimpit oleh perkebunan tebu yang luas, tinggallah keluarga kecil yang sedang bahagia-bahagianya dikaruniai buah hati.

Namun, kebahagiaan itu seketika menjadi tangisan histeris, si buah hati mengalami sesak nafas dan hampir saja meninggal. Menurut penuturan warga, malam itu di kampungnya memang sedang dikepung asap pembakaran tebu.  Di langit kobaran api cukup besar terlihat seperti aurora jingga yang ada di antartika. 

" Apinya berkobar-kobar, asapnya buat sesak nafas, saya saja yang dewasa gak kuat apalagi yang masih bayi" ujar Pak Haji Jono, salah satu tokoh masyarakat di kampungnya. 

Pembakaran tebu selalu terjadi disetiap tahunnya, masyarakat tidak dapat berbuat banyak, karena konon katanya pembakaran tebu dilakukan oleh oknum-oknum petani tebu yang bermodal gede selain itu petani tebu disinyalir tidak memiliki alternatif cara lain untuk memanen tebunya agar cepat dan murah selain dibakar. 

Padahal pembakaran tebu, tidak cukup baik untuk kesehatan, dapat menyebabkan gangguan Inspeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) semacam asma bagi golongan-golongan sensitif seperti Balita dan Lansia. 

Asap Pembakaran Tebu Nyaris Membakar Rumah-Rumah Warga

Tak seperti aurora di Antartika yang justru mengundang detak kagum karena keindahannya, disini jingganya asap pembakaran tebu justru mengundang bentrokan antar kampung. 

Namanya juga api yang susah dikendalikan seperti angin, tidak punya KTP juga domisili. Asap yang berkobar mengikuti arahnya angin membawanya kemana. Tidak melihat sekitarnya, apapun yang dihadapannya siap di lahap. Rumah-rumah warga yang bersebelahan dengan lahan-lahan tebu yang sedang dibakar, setiap waktunya selalui dihantui rasa ketakutan, si jago merah melahapnya tanpa ampun. 

Bagaimana tidak, jarak api dengan atap rumah warga hanya sebatas 1 langkah besar manusia dewasa, jika angin bergerak kejam, pasti ludes hangus rumah-rumah itu.

Padahal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah memperingatkan bahwa pemanenan tebu melalui pembakaran merupakan perbuatan ilegal karena melanggar perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, namun masih saja yang tak menghiraukannya.

Alternatif Selain Pembakaran Tebu 

Di Amerika Serikat residu sisa pembakaran tebu disebut sebagai "Salju Hitam", angin menerbangkan sisa-sisa pembakaran tebu ke udara yang telah menjadi abu, turun ke rumah-rumah warga dan membuat pemcemaran udara hebat. 

Di Jombang, asap pembakaran tebu dianggap sebagai aurora jingga bag di langit antartika, padahal yang menyebutnya belum tentu pernah menyaksikan aurora langsung di antartika. Aurora jingga di langit Jombang saat musim panen tebu tiba, tak secantik dampaknya bagi lingkungan dan kesehatan. 

Pemanenan tebu dengan cara dibakar memang murah dan mudah tetapi dampaknya cukup bahaya. Sebenarnya ada cara lain untuk memanen tebu selain dibakar yaitu dengan menggunakan mesin pemotong tebu (cane harvester) atau menggunakan cara tradisional yaitu menebangnya secara manual menggunakan alat-alat sederhana seperti sabit. 

Ini menjadi pekerjaan rumah bagi perusahaan-perusahaan gula, agar mereka dapat efisien secara ekonomi dan efektif secara teknis pemanen tebu. Tidak berdampak luas bagi kesehatan dan lingkungan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun