Namanya juga api yang susah dikendalikan seperti angin, tidak punya KTP juga domisili. Asap yang berkobar mengikuti arahnya angin membawanya kemana. Tidak melihat sekitarnya, apapun yang dihadapannya siap di lahap. Rumah-rumah warga yang bersebelahan dengan lahan-lahan tebu yang sedang dibakar, setiap waktunya selalui dihantui rasa ketakutan, si jago merah melahapnya tanpa ampun.Â
Bagaimana tidak, jarak api dengan atap rumah warga hanya sebatas 1 langkah besar manusia dewasa, jika angin bergerak kejam, pasti ludes hangus rumah-rumah itu.
Padahal Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah memperingatkan bahwa pemanenan tebu melalui pembakaran merupakan perbuatan ilegal karena melanggar perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, namun masih saja yang tak menghiraukannya.
Alternatif Selain Pembakaran TebuÂ
Di Amerika Serikat residu sisa pembakaran tebu disebut sebagai "Salju Hitam", angin menerbangkan sisa-sisa pembakaran tebu ke udara yang telah menjadi abu, turun ke rumah-rumah warga dan membuat pemcemaran udara hebat.Â
Di Jombang, asap pembakaran tebu dianggap sebagai aurora jingga bag di langit antartika, padahal yang menyebutnya belum tentu pernah menyaksikan aurora langsung di antartika. Aurora jingga di langit Jombang saat musim panen tebu tiba, tak secantik dampaknya bagi lingkungan dan kesehatan.Â
Pemanenan tebu dengan cara dibakar memang murah dan mudah tetapi dampaknya cukup bahaya. Sebenarnya ada cara lain untuk memanen tebu selain dibakar yaitu dengan menggunakan mesin pemotong tebu (cane harvester) atau menggunakan cara tradisional yaitu menebangnya secara manual menggunakan alat-alat sederhana seperti sabit.Â
Ini menjadi pekerjaan rumah bagi perusahaan-perusahaan gula, agar mereka dapat efisien secara ekonomi dan efektif secara teknis pemanen tebu. Tidak berdampak luas bagi kesehatan dan lingkungan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H