Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Efek Beras Mahal, Pemerintah Sarankan Masyarakat Kembali Konsumsi Ubi dan Sagu

5 Oktober 2023   09:15 Diperbarui: 5 Oktober 2023   09:30 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ubi Rebus (SHUTTERSTOCK/Uut_Eco.J) 

Sebelum beras menjelma menjadi makanan pokok masyarakat Indonesia, dulu masyarakat Indonesia mengkonsumsi ubi-ubian dan makanan pokok lokal lainnya seperti jagung dan sagu.

Namun sejak tahun 1980-an, konsumsi beras nasional semakin meningkat apalagi setelah diperkenalkannya gerakan revolusi hijau. Dimana produksi hasil panen pertanian seperti padi dan gandum digenjot besar-besaran.

Berdasarkan data BKP Kementan, tahun 1954 konsumsi beras masyarakat Indonesia hanya 53,5 persen dari konsumsi nasional, selanjutnya konsumsi ubi kayu sebesar 22,26 persen, jagung 18,9 persen, dan kentang 4,99 persen.

Namun berdasarkan data terakhir di tahun 2020 oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dalam publikasi Pengeluaran untuk Konsumsi SUSENAS 2020, didapatkan data hampir 100 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi nasi sebagai makanan pokok. 

Ketergantungan pada satu jenis bahan pangan pokok, menyebabkan rentannya ketahanan pangan dalam suatu negara. Terbukti dari data Global Food Security Index (GFSI) pada 2022, indeks ketahanan pangan Indonesia di bawah rata-rata global, yaitu 60,2  dengan rata-rata global 62, 2. Menduduki peringkat ke 69 dari 113 negara di dunia.

Menjadi pertanyaan, negara agraris, dengan tanah yang subur, tetapi indeks ketahanan pangan nasionalnya di bawah rata-rata global, bagaimana bisa?

Mendagri Tito Sarankan Masyarakat Makan Ubi Dan Sagu

Tercatat di pasar lokal Indramayu, Jawa Barat  pada Selasa (3/10), sebagai daerah lumbung padi nasional, harga beras medium menyentuh Rp. 12,000 sampai Rp. 13,000 per kilogram. Masyarakat sebagai konsumen tidak ada pilihan lain, mau tidak mau harus tetap membelinya.

Sekalipun beras SPHP milik pemerintah yang didistribusikan oleh Perum Bulog sudah mulai disebar ke beberapa pasar di daerah, harga beras belum menunjukkan kecenderungan akan turun.

Hal ini menyebabkan inflasi bulan September naik menjadi 0,19 persen dampak harga beras yang tak kunjung turun.

Menyikapi kenaikan harga beras ini, Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, menyarakan masyarakat kembali untuk mengkonsumsi bahan pangan lokal non-beras seperti jagung, ubi, kentang, singkong dan sorgum.

"Itu semua enak-enak itu. Ada ubi jalar, ada sorgum, ada sukun, banyak sekali yang bisa menjadi bahan pokok," kata Mendagri saat ditemui di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (3/10/2023) dilansir dari kompas.com. 

Selain itu, dengan mengurangi ketergantungan pada beras, artinya telah menyelamatkan diri dari bahaya penyakit diabetes karena nasi berpotensi menaikkan gula darah.

Ubi Cilembu rebus cocok untuk sarapan (Dokpri)
Ubi Cilembu rebus cocok untuk sarapan (Dokpri)

Diversifikasi Pangan Naikkan Indeks Ketahanan Pangan Nasional

Global Food Savety Indeks (GFSI) menetapkan 4 indikator yang digunakan untuk mengukur indeks ketahanan pangan suatu negara yakni keterjangkauan harga pangan (affordability), ketersediaan pasokan (availability), kualitas nutrisi dan keamanan makanan (quality and safety), serta ketahanan sumber daya alam (natural resources and resilience).

Melalui diversifikasi pangan, mengurangi ketergantungan pada satu jenis bahan pangan pokok, maka kita sudah mampu menaikkan angka ketersediaan pasokan (availability), karena beragamnya jenis bahan pangan pokok yang tersedia di masyarakat tidak bergantung pada nasi saja.

Selama ini, salah satu yang menjadi permasalahan dalam ketahanan pangan Indonesia adalah ketersediaan pasokan yang tidak diimbangi dengan produksi hasil pertanian yang tinggi, contohnya beras.

Al hasil, kebutuhan konsumsi masyarakat tinggi, sedangkan produksi beras rendah, menyebabkan naiknya harga beras, tidak ada opsi lain selain impor beras. Apalagi dampak el nino yang terjadi di sebagian besar wilayah di Indonesia, menyebabkan banyaknya gagal panen padi.

Sehingga, semangat diversifikasi pangan tidak hanya sekadar semangat untuk mencari bahan pangan alternatif saja, melainkan juga untuk menjaga stabilitas ekonomi dalam negeri. 

Kembali mengkonsumsi ubi, jagung, kentang, sagu, dan singkong seperti yang sudah pernah dicontohkan oleh kakek nenek kita di zaman dulu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun