Mencoba bertanya kepada mbah google, apa arti "Anak bau kencur".
Mbah google menjawab, "baru mulai, masih muda dan dianggap baru belajar, masih anak-anak dan masih belum pengalaman, anak ingusan".
Setelah mengetahui arti "bau kencur", pantas saja, mereka menyebut "anak bau kencur".
Apakah ini masuk sebagai praktik ageisme dalam dunia kerja. Apalagi bagi anak lulusan baru yang dinilai masih "bocil (bocah cilik) dan gak tau apa-apa".
Usia muda, belum cukup pengalaman, minim wawasan, mengundang stereotipe bagi "golongan tua" untuk mengerdilkan kehadiran anak bau kencur di tengah-tengah mereka.
Melawan Ageisme
Praktik-praktik ageisme dan mengerdilkan anak bau kencur di lingkungan kerja, perlu disikapi dengan hati yang lapang.
Tidak usah dianggap sebagai ledekan, anggap saja sebagai motivasi.
Komunikasi emosional, tidak hanya sebatas komunikasi personal, komunikasi emosional penting dilakukan untuk menumbuhkan rasa empati dan toleransi, sehingga praktik-praktik ageisme dapat dihilangkan.Â
Jika diantara dua golongan usia saling berinteraksi, dengan mengedepankan komunikasi yang saling memanusiakan, sama-sama saling membutuhkan. Maka, ageisme tidak terjadi, iklim komunikasi menjadi kondusif.
Kerja kolaborasi, apalagi dalam suatu tim kerja atau bermasyarakat. Golongan tua memiliki insting dan pengalaman yang mumpuni, dipadukan dengan wawasan kekinian yang dimiliki anak bau kencur. Pasti membuahkan hasil kerja yang luar biasa.
Saling menekan ego, dan menghilangkan klaim "sok paling tau, sok paling senior, atau sok paling kekinian". Semua jenis "sok-sok" adalah awal mula bibit-bibit ageisme muncul.