"Kulo pesen wedhang uwuh, kalih mie godhok nggeh mas" ucap saya ke mas-mas pelayan.
"Baik pak, ditunggu nggeh", jawab mas-mas pelayan.
Pikir saya malam-malam gini, apalagi badan lagi kurang sehat, menikmati wedhang uwuh pasti terasa hangat di tenggorokan, sedikit mengurangi rasa nyeri di tenggorokan. Apalagi di tambah dengan mie godhok, pasti nikmat.
Sementara rekan kerja saya yang lainnya memesan wedhang uwuh juga dan makanan berkuah lainnya. Suasana tempoe doloe cukup terasa, apalagi interior dan lagu-lagu yang diputar khas tempoe doloe. Meski saya lahir di era krisis moneter (1998), sedikit banyak saya bisa membayangkan suasana tempoe doloe.
Wedhang uwuh, merupakan salah satu minuman hangat atau wedhang khas Jawa kususnya dari Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Menurut cerita sejarah wedhang uwuh merupakan minuman favorit khas Raja-raja Yogyakarta.
Minuman yang berisikan secang, jahe, kapulaga, cengkeh, kayu manis, serai, pala, dan pemanis dari gula putih kristal disajikan hangat-hangat cocok sekali untuk menghangatkan tubuh dan menghilangkan capek-capek di badan.
Tak berhenti hanya di Heritige Batik Keris Surakarta, saya pun melanjutkan wisata kuliner malam saya menuju Omah Londo Angkringan, yang tidak jauh dari tujuan awal.
Semua tempat-tempat kuliner yang dituju ini atas rekomendasi atasan saya, yang kebetulan dulu pernah bekerja di Solo Raya.
Suasana rumah jadoel, pintu dan jendela lebar khas rumah-rumah Belanda, mengingatkan dengan rumah tetangga saya di Jombang, yang mempunyai design bangunan yang sama dengan Omah Londo Angkringan, Surakarta.
Disini, konsepnya prasmanan, saya memilih nasi bakar ampela, telur puyuh tusuk, baso tusuk, dan semacam sosis. Tidak lupa wedhang tetap menjadi minuman wajib yang harus dipesan, saya memesan wedhang ronde.