Mohon tunggu...
Dodik Suprayogi
Dodik Suprayogi Mohon Tunggu... Lainnya - Independen

Independen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Enggan Tanam Padi, Petani Muda Lebih Tertarik Hortikultura

11 Juli 2023   06:00 Diperbarui: 12 Juli 2023   13:30 376
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), hingga Februari 2023 jumlah tenaga kerja di sektor pertanian mencapai 40,69 juta jiwa. Jumlah tersebut mencakup semua tenaga kerja yang bergerak di sektor pertanian, tidak hanya petani saja.

Sedangkan jumlah petaninya sendiri, menurut BPS ditahun 2019, mencapai 34,6 juta jiwa. Proporsi umur petani terbesar yakni 90 persen berada di atas 40 tahun, hanya kurang dari 10 persen yang masuk dalam golongan petani muda ( di bawah usia 40 tahun).

Lebih mencengangkan lagi, dalam periode 2017-2018 saja telah terjadi penurunan jumlah petani muda hingga 415.789 jiwa. Semakin diperparah dengan data dari BPS di tahun 2020, yang menunjukkan jumlah petani diproporsi semua umur tinggal 33,4 juta jiwa atau turun sebesar 1, 3 juta jiwa.  Penurunan ekstrim di waktu yang singkat.

Penurunan jumlah petani tiap tahunnya, mengindikasikan gagalnya regenerasi petani di Indonesia. Banyak faktor yang menyebabkan regenerasi petani di Indonesia gagal. Salah satunya adanya stereotip menjadi petani identik dengan kemiskinan. Profesi petani dipandang sebagai profesi berpenghasilan rendah dan dalam strata sosial rendahan.

Berapa Jumlah Petani Muda Di Indonesia?

Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian (BPPSDMP) Kementerian Pertanian pada tahun 2020 merilis data jumlah petani muda di Indonesia kini diangka 2,7 juta jiwa.

"Hanya sekitar 8 persen dari total petani kita 33,4 juta orang. Sisanya lebih dari 90 persen masuk petani kolonial, atau petani yang sudah tua," Kepala BPPSDMP Dedi Nursyamsi pada acara Pengukuhan Duta Petani Milenial (DPM) dan Duta Petani Andalan (DPA) di Jakarta, Senin, 13 April 2020.

Berbagai upaya untuk meningkatkan jumlah petani muda di Indonesia dilakukan, contohnya melalui Duta Petani Milenial dan Duta Petani Andalan begitu juga di Jawa Barat ada program Petani Milenial.

Komoditi Pangan Ditinggal, Hortikultura Cukup Menawan Bagi Milenial

Di beberapa wilayah di Pulau Jawa, tingginya sawah tak layak tanam mencapai 20 hingga 30 % dari total luasan sawah di wilayah tersebut. Contohnya saja, di pesisir Subang, Jawa Barat, hampir 300 hektare sawah yang sudah tak layak untuk di tanam, terutama untuk komoditi padi atau jagung.

Hal ini, mendorong petani yang semula bergerak di komoditi pangan seperti padi, hijrah ke komoditi hortikultura seperti bawang merah. 

Selain itu, adanya stereotip petani kotor dan berpanas-panasan, meningkatkan keengganan petani muda untuk terjun bertani ke sawah.

Melansir dari survei Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) di tahun 2014 silam, survei dilakukan di Tegal, Kediri, Bogor dan Karawang menunjukkan hanya 37 persen anak muda yang mau meneruskan usaha tani orangtuanya yang bergerak di sektor pangan seperti usaha tani padi atau jagung. Sedangkan anak muda yang mau meneruskan usaha tani orangtuanya di sektor hortikultura masih cukup tinggi yaitu 46 persen.

Dewasa ini perkembangan pertanian hidroponik baik sayur-sayuran atau buah-buahan di dalam greenhouse banyak digandrungi oleh petani-petani muda. Menunjukkan sektor hortikultura masih cukup menarik bagi kalangan muda untuk menekuni usaha pertanian.

Terutama bagi anak-anak muda di perkotaan, yang menerapkan sistem pertanian "urban farming". Tingginya permintaan sayuran hidroponik, mendorong petani muda lebih tertarik bertani hidroponik.

Tidak hanya itu, perputaran uang dari usaha tani hortikultura seperti budidaya bawang merah, tanaman obat-obatan, bawang daun, atau buah-buahan, dinilai relatif lebih cepat dengan harga pasar yang relatif stabil. Dibandingkan dengan komoditi pangan seperti padi atau jagung yang membutuhkan banyak biaya budidaya dan harga yang cukup fluktuatif.

Alasan lain, mengapa sektor hortikultura cenderung lebih diminati oleh petani-petani muda, karena rendahnya intervensi pemerintah pada beberapa komoditi hortikultura seperti bawang merah dan cabai. Mekanisme pasar sepenuhnya sangat membentuk harga di pasar. Tidak seperti padi atau jagung yang harganya dibatasi oleh HPP Pemerintah. 

Tidak hanya itu, rantai pasok dan rantai distribusi komoditi hortikultura yang relatif pendek dan singkat menjadi kelebihan dalam melakukan usaha tani di komoditi hortikultura, tidak seperti komoditi pangan yang cenderung panjang dan banyak kaki tangan. Sehingga harga selisih jauh.

Kesenjangan antara usaha tani hortikultura dan usaha tani pangan itulah yang menyebabkan, petani-petani muda enggan tanam padi dan lebih tertarik tanam sayuran tidak sedikit juga yang tertarik ke tanaman buah-buahan, tanaman hias, dan tanaman obat-obatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun